Respon Kebijakan Yang Paradoksal

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Fauzi Azis

Fauzi Azis

KEBIJAKAN yang dikeluarkan oleh pemerintah atau yang sering disebut sebagai kebijakan publik dibuat dan ditetapkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang tertentu. Bahkan jika suatu negara mengalami situasi tertentu (misalnya terjadi krisis, di bidang ekonomi maupun di bidang yang lain). Pemerintah negara yang bersangkutan akan meresponnya dengan membuat kebijakan yang tepat untuk mengatasi dampak yang ditimbulkannya agar kerugian yang mungkin terjadi dapat diminimalisir.

Respon tersebut harus dilakukan dengan cepat dan tepat dari segi waktu, sasaran dan pemanfaatan sumber daya yang digunakan. Acuan yang dijadikan pegangan bagi perumus kebijakan dapat berupa konstitusi negara, perundang-undangan yang berlaku dan kepentingan nasional yang harus diutamakan oleh negara yang bersangkutan.

Di bidang ekonomi sebagai contoh, setiap negara memilki berbagai instrumen kebijakan, antara lain: kebijakan moneter dan kebijakan fiskal (sering disebut sebagai kebijakan makro ekonomi) juga dikenal kebijakan-kebijakan lainnya, seperti kebijakan industri, perdagangan, investasi, pembiayaan dan infrastruktur ekonomi.

Semua instrumen kebijakan tersebut dibuat dan digunakan sesuai dengan visi dan misi yang diembannya masing-masing dari setiap kebijakan, tapi tidak boleh berlawanan dengan kepentingan nasional dan bertentangan satu sama lain untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama, bukan untuk keperluan segelintir atau sekelompok orang saja. Pertanyaannya, bagaimana kaitannya dengan judul “Respon Kebijakan Yang Paradoksal” dan apa pula maksudnya?

Penjelasan berikut ini mudah-mudahan dapat menjawab pertanyaan tersebut, yaitu: Pertama, sebuah kebijakan seharusnya bersifat independen dalam pengertian bebas kepentingan, baik yang bersifat internal maupun eksternal, baik yang berdimensi politik maupun non politik. Lebih lanjut, dalam konteks yang lain keindependenan dimaksud bisa mengandung makna bahwa si otorisator dapat menggunakan instrumen kebijakan yang dikuasainya kapan saja dan dengan tool apa saja sepanjang kebijakan tersebut dapat mengatasi/menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Contoh konkritnya adalah kebijakan di bidang moneter. Otoritas moneter, dalam hal ini bank sentral bisa menggunakan intervensi moneter untuk mengatasi naik/turunnya nilai tukar mata uang kapan saja diperlukan tanpa adanya pihak lain yang campur tangan (pemerintah/pemerintah asing atau lembaga internasional seperti IMF) untuk melakukan tindakan intervesi moneter tersebut. Kebijakan ini benar-benar diserahkan kepada Otorisatornya yang berwenang dimasing-masing negara untuk mengeksekusinya.

Kedua, pada kebijakan yang lain seperti di bidang perdagangan masing-masing otorisator disetiap negara hampir tidak memiliki keindependenan seperti yang berlaku pada kebijakan moneter. Kebijakan perdagangan suatu negara harus tunduk kepada aturan WTO. Kalau terjadi gangguan dalam pelaksanaan perdagangan, baik disebabkan karena adanya dumping, subsidi dan sampai pada keadaan di mana neraca pembayaran suatu negara terancam dan menimbulkan kerugian material/injury, setiap negara tidak boleh melakukan respon kebijakan sesukanya, kecuali harus tunduk dan mengikuti kaidah-kaidah WTO, seperti negara hanya boleh melakukan tindakan berupa pengenaan bea impor antidumping, counterviling duty atau bea impor tambahan.

Di luar itu tidak diperbolehkan. Prosedurnya pun tidak sederhana dan bahkan bisa dibilang rumit, harus ada penyelidikan, pembuktian dan pasti memakan waktu dan biaya. Aturan WTO tersebut sepertinya dibuat untuk menjamin terjadinya perdagangan yang fair, tapi kenyataannya tiap negara sangat dibatasi ruang geraknya untuk melakukan manuver/mengintervensi manakala terjadi kerugian material yang mengancam perekonomian nasionalnya. Inilah situasi paradoksal yang dimaksud dalam judul artikel ini. Pada sistem moneter, negara yang bersangkutan memilki otoritas penuh untuk merespon pelambatan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan karena pengaruh negatif dari krisis finansial global.

Tapi pada sisi yang lain, akibat dari diberlakukannya perdagangan bebas yang juga dapat berdampak merugikan perekonomian suatu negara, negara yang bersangkutan tidak dibolehkan melakukan intervensi secara idependen, kecuali harus tunduk kepada aturan WTO. Paradoks yang lain adalah disatu pihak kebijakan perdagangan global dinyatakan sebagai sistem perdagangan bebas hambatan, tapi pada prakteknya banyak aturan main yang diciptakan oleh negara maju untuk mensiasati penerapan sistem perdagangan bebas itu sendiri, yang pada akhirnya dapat mendistorsi praktek perdagangan bebas yang sebenarnya hampir semua negara ingin mengamankan kepentingan nasionalnya.

Melihat kenyataan seperti itu, maka sudah seharusnya kebijakan perdagangan internasional menganut sistem sebagaimana yang berlaku dalam sistem finansial global, di mana otoritas moneter di masing-masing negara memiliki kewenangan penuh dan bersifat independen untuk melakukan intervensi kebijakan guna menjaga sistem finansial dan perekonomian nasionalnya. WTO semestinya bukan lembaga regulator dan juga bertindak sebagai lembaga peradilan kalau terjadi dispute, Seharusnya WTO hanya bertindak sebagai fasilitator saja yang tugas utamanya adalah memfasilitasi negara yang ekonominya mengalami kerugian akibat berlangsungnya praktek perdagangan internasional yang tidak sehat.

Respon kebijakannya diserahkan sepenuhnya kepada negara yang bersangkutan. Yang penting adalah dalam perdagangan internasional azasnya adalah menjamin kelancaran arus barang dan pada saat yang sama tetap memberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan ekonomi domestiknya, bukan azas perdagangan bebas seperti sekarang ini, toh prakteknya tidak terjadi seperti konsepnya.

Dengan demikian barangkali sistem perdagangan internasional kedepanya perlu disempurnakan dan mekanismenya barangkali juga dapat mengadopsi sistem moneter yang tetap memberikan kewenangan penuh otoritas moneter untuk menetapkan kebijakan moneter sesuai kebutuhan masing-masing negara.***

CATEGORIES

COMMENTS