Pakar Hukum; Kasus SPK Fiktif di Kemenperin Harus Dipidanakan

Loading

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Pakar hukum pidana dari Universitas Mulawarman (Unmul), Orin Gusta Andinia, mengatakan kasus SPK fiktif yang terjadi di lingkungan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) jelas merupakan tindak pidana.

‘’Artinya tidak cukup dengan regulasi dan evaluasi secara internal maupun sanksi pemecatan kepada pelaku, tapi harus dipidanakan. Memang paling tepat tidak cukup hanya sanksi administrasi, tapi harus pidana supaya tidak menjadi fenomena gunung es,” ujarnya kepada pers, Selasa (7/5/2024).

Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menambahkan dari sisi penindakan, Kemenperin perlu melaporkan kepada aparat penegak hukum tentang tindak pidana ini.

“Apakah masuk tindak pidana pemalsuan, tindak pidana korupsi, atau tindak pidana lain. Kalau tindak pidana korupsi mungkin bisa dicek di pasal 9 UU Tipikor. Tapi di sana intinya itu pemalsuan data-data, pemalsuan buku catatan. Apakah itu masuk atau tidak, biar aparat penegak hukum yang menentukan,” ungkapnya.

Namun, yang jelas, kata Zaenur, tindakan SPK fiktif ini merupakan satu bentuk tindak pidana. Tinggal nanti tergantung penyidik yang menentukan apakah tindak pidana korupsi, tindak pidana pemalsuan, atau penipuan, tergantung dari kontruksi bagaimana peristiwanya secara utuh.

“Itu nanti akan dipilih kesesuaian perbuatan pelaku dengan rumusan di dalam pasal. Tapi itu syaratnya tadi, kalau korupsi itu harus dokumen pengawasan yang dipalsukan,” ujarnya.

Untuk memberikan efek jera agar kasus serupa tidak terjadi, kata dia, seharusnya memang dilaporkan ke aparat penegak hukum. Jika ada pihak yang dirugikan atau siapapun penyedia barang dan jasa, bisa melaporkan kepada aparat penegak hukum dengan pasal penipuan.

“Saya belum paham tujuan dari pelaku itu apa membuat SPK fiktif ini. Karena artinya tidak ada proyek tidak ada kegiatan dan program, tetapi kemudian membuat perintah kerja kepada penyedia barang dan jasa. Dugaan saya mau nipu orang,” ujarnya.

Tindak Pidana Korupsi

Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, dalam kasus perkara SPK fiktif jika dilakukan para pihak swasta, maka masuknya tindak pidana umum. Sementara jika dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini kementerian, maka masuk dalam tindak pidana korupsi.

“Kalau SPK itu dilakukan pemerintah kementerian, korupsi, karena itu fiktif, memperkaya diri sendiri dan orang lain. Arahnya kan kesana (tindak pidana korupsi),” ujarnya .

Kendati begitu, kata Hibnu, tetap perlu dilihat dulu subjek dan objek perkaranya. Kalau kerugian sudah besar dan tidak bisa ditoleransi, maka bisa dibawa ke pidana pemalsuan. Namun, jika angka kerugian sekitar Rp80 miliar, maka sudah bisa masuk sebagai tindak pidana korupsi. “Makanya tergantung objek SPK-nya, kalau kecil-kecilan, ya, okelah kita selesaikan,” ujarnya.

Tapi, kalau kejahatan sudah luar biasa fiktif kemudian kerugiannya besar, maka sudah seharus diberikan efek jera. Menurutnya, tidak bisa lagi hanya dihukum disiplin. Apalagi SPK merupakan proyek-proyek vital yang tidak boleh dimaafkan dan harus ditindak seberat-beratnya.

Hibnu menambahkan, untuk meminimalkan terjadinya SPK fiktif di kemudian hari, maka pemerintah atau kementerian dan lembaga perlu meningkatkan integritas pada pegawainya dengan melakukan pengawasan secara ketat.

“Ini kan oknum ya, jadi peningkatan integritas para pelaku itu harus nomor satu. Jadi saling melaporkan, tidak ada iri. Begitu ada kecurigaan lapor dan tindak. Harus diungkapkan seperti BUMN-BUMN, itu cukup manjur. Transparansi yang betul-betul terbuka,” jelasnya.

Sementara itu, Orin Gusta menambahkan, selain meningkatkan integritas yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghentikan fenomena gunung es, juga mengedukasi manfaat Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) ke pihak-pihak terkait. Pemerintah juga harus aktif membuka kanal laporan atau aduan, termasuk menyiapkan sarana cek ulangSPK apakah fiktif atau tidak.

Menurutnya, sarana cross check atau cek ulang perlu dilakukan. Karena jika merujuk hanya ke LPSE, bisa jadi ada pembicaraan di belakang mengapa belum dipublikasi pada LPSE. Namun, jika dibuatkan sebuah sistem sebagai sarana untuk melakukan cek ulang akan lebih baik dan bisa dilakukan pemerintah.

“Yang jelas pemerintah harus berupaya untuk meluaskan transparansi SPK supaya masyarakat terhindar dari pemanfaatan jabatan seseorang yang akhirnya melakukan penipuan,” katanya. (sabar)

 

CATEGORIES
TAGS