Sinode Kerja 2024, Quo Vadis HKI ?

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

PARA petinggi Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI), beserta seluruh pendeta dan sejumlah penatua serta perwakilan lembaga-lembaga HKI akan berkumpul selama empat hari (2-5 Juli 2024) di Hotel Labersa, Balige, Kabupaten Toba.

Mereka kumpul-kumpul di hotel yang berada di pinggiran Danau Toba itu bukan tanpa alasan dan bukan pula tanpa tujuan. Artinya, kumpul-kumpul yang dilakukan oleh HKI secara rutin di setiap pertengahan periode itu tujuannya sangat mulia…yakni untuk semakin memperbaiki dan menyempurnakan keberadaan HKI, baik di muka bumi, apalagi di hadapan Tuhan sebagai kepala gereja.

Kumpul-kumpul tersebut sudah pasti tidak gratis dan pasti pula menguras kantong peserta dan kas jemaat yang memberangkatkan kontingen sinode dari gereja asal masing-masing peserta.

Menentukan peserta sinode ini pun bukan gampang, ada masalah  yang harus dipecahkan yakni kebudayaan (kebiasaan) di tubuh HKI yang  secara tersirat mengatakan yang berangkat “haruslah” pejabat A dan pejabat B tanpa ada pertimbangan skil dan kemampuan si calon peserta untuk bersinode.

Kenapa rupanya harus ada skil dan kemampuan ? Karena acara sinode kerja tersebut pada hakekatnya dilaksanakan bukan untuk sekedar ngumpul barang seperti nobar pertandingan bola Indonesia lawan Uzbekistan yang baru saja berlalu.

Sekali lagi bukan ! Tapi acara sinode kerja ini sangat besar artinya dalam melanjutkan perjalanan organisasi gereja HKI tersebut.

Pelaksanaan sinode kerja ini sejatinya untuk membahas berbagai agenda kerja diantaranya mengevaluasi hasil kerja pimpinan HKI periode yang sudah berjalan dan menetapkan program yang akan dikerjakan dalam periode yang sedang berjalan.

Menentukan Langkah

Sinode kerja itu sesuai catatan adalah sebuah sarana komunikasi dari utusan-utusan beberapa gereja di bawah naungan HKI untuk membicarakan, merencanakan dan mengevaluasi apa yang sudah dilakukan, baik secara administrasi atau pengaplikasian unsur pimpinan dalam hal ini Ephorus dan Sekjend.

Sekaligus juga untuk secara bersama-sama menentukan langkah-langkah pelaksanaan pelayanan demi tercapainya tujuan yang ditetapkan dalam suatu periode.

Nah…untuk itu semuanya, diharapkan peserta sinode yang diutus benar-benar memahami dan menjiwai tujuan keberadaannya dalam sinode kerja HKI. Jadi sekali lagi, sinode kerja di HKI bukan hanya sekedar ngumpul barang dan  berdarmawisata.

Melihat peranan peserta sinode pada sidang sinode yang begitu penting, kelihatannya tidak sejalan dengan pemilihan dan penentuan peserta sinode.

Maksudnya, tingkat kemampuan calon-calon peserta sinode tidak disinergikan dengan apa-apa yang mungkin muncul di dalam sinode dan seberapa besar kemampuannya ikut berdiskusi.

Intinya, peserta sinode sejatinya harus yang memiliki kemampuan  berdiskusi dan ketajaman menganalisa setiap paragrap program jajaran pimpinan pusat.

Sinode kerja itu mempunyai makna penting untuk direnungkan dan bertujuan untuk mengevaluasi apa yang sudah dilakukan dan apa yang akan dilakukan ke depan.

Namun apa mau dikata. Yang terjadi selama ini adalah peserta sinode yang dipilih umumnya terdiri dari penatua yang tidak mau terlibat perdebatan dan yang dalam persidangan hanya mengatakan “setujuuuu”.

Tetapi sebenarnya dari kaca mata lain kita melihat percuma juga disiapkan peserta sinode yang energik dan piawai. Pasalnya dalam acara persidangan di sinode, panitia pelaksana sering terlihat tidak fair dan tidak jujur dalam memimpin jalannya persidangan.

Dalam acara tanya jawab saat membahas laporan pertanggungjawaban Eporus misalnya. Durasi yang diberikan kepada pihak yang kritis sangat sedikit dan tidak jarang waktunya-pun dicekal alias tidak diberi kesempatan untuk berbicara.

 Sakit Memang

Padahal, dalam sebuah diskusi apalagi diskusi menganalisa pekerjaan, semua suara wajib didengar, semua pendapat harus ditanggapi. Menganalisa tidak jauh beda dengan mengamputasi. Sakit memang ! Tapi harus dilalui demi masa depan lembaga !

Kalau bisa diberi ilustrasi, seorang petinju yang akan berlaga di pertarungan terbuka, harus dihajar habis-habisan oleh sparing partner agar kelihatan dan ketahuan dimana letak kelemahannya. Soalnya kalau tidak dihajar, tidak akan terbuka kelemahan dan risikonya tidak akan ada perbaikan. Hasilnya ? ya gagal !

Sinode kerja tahun ini adalah sinode kerja yang istimewa. Pasalnya, dalam sinode kerja inilah ditentukan arah perjalanan HKI menyongsong usia 100 tahun HKI. Usia yang tidak muda lagi. Pertanyaan kita, sudah siapkah HKI memasuki usia 100 tahun ? Quo Vadis HKI setelah usianya 100 tahun, apa yang mau dipersembahkan kepada anak cucu dan kepada negeri ini ? Sudah siapkah HKI main di panggung nasional ?

Nah, dalam sinode kerja inilah harusnya dibahas secara bersama-sama apa langkah dan strategi membawa HKI ikut main di panggung nasional sekaligus mempersiapkan HKI go internasional !

Karena itu dalam tulisan ini diimbau kepada seluruh panitia pelaksana sinode kerja HKI 2024 agar tampil professional dan berlaku adil tanpa ada anak kandung dan anak tiri.

Bicara soal professionalisme, seharusnya sebuah lembaga besar seperti HKI sudah sebaiknya dikelola secara professional dan jangan lagi main di tingkat amatiran.

Tenaga Professional

Penulis melihat sudah saatnya para pekerja di kantor pusat HKI, selain Eporus dipegang oleh tenaga-tenaga professional di bidangnya masing-masing.

Sebagai motor sebuah organisasi, Sekretaris Jenderal sudah sebaiknya diserahkan kepada tenaga professional di bidang itu dan tidak lagi harus dipegang oleh seorang pendeta.

Demikian juga bidang lain. Keuangan misalnya. Akan lebih berdaya guna jika bidang keuangan itu diserahkan kepada tenaga-tenaga professional di bidang keuangan. Bidang yang lain juga begitu.

Nah, jika semua bidang sudah dikelola orang-orang professional dan mumpuni di bidangnya, bukan tidak mustahil HKI semakin berjaya di dunia dan juga di muka Tuhan.

Usul ini sebenarnya diilhami dari hasil kunjungan rombongan HKI yang dipimpin Eporus Pdt Firman Sibarani ke gereja Omnuri Korea Selatan. Di kantor pusat Omnuri disebut, seluruh bidang dipercayakan kepada tenaga-tenaga professional non pendeta. Hasilnya ? ya maju! Tidak pernah kesulitan dana bahkan memberikan donasi kepada pihak-pihak yang membutuhkan bantuan di seluruh dunia.

Kalau HKI? Membiayai dirinya-pun sulitnya minta ampun. Kenapa ? Karena dikelola secara amatiran dan tidak dengan professional.

Memasuki usia 100 tahun, HKI bukannya makin maju tapi semakin redup. Permusuhan antar kelompok-pun terus membara.  Di tubuh HKI pernah juga terjadi, Ephorus dengan Sekjen, jalannya sendiri-sendiri tak kompak.

Tentang bisnis ? Sejumlah unit usaha yang berbau bisnis, baik sekolah, kebun sawit maupun percetakan dan lainnya mengarah ke kehancuran. Satu per satu rontok.

Lembaga-lembaga yang ada di tubuh HKI. Sebutlah Punguan Ama (PA), Persatuan Naposo Bulung (PNB) dan PPr (Persatuan Perempuan). Apa saja yang dilakukan punguan ini ? Hanya latihan kor ? dan menunggu undangan nyanyi dari gereja tetangga ?

Mari kita bangkitkan seluruh punguan ini dan kita sejajarkan posisinya dengan ormas-ormas lain di panggung nasional. Bisakah ? Teramat bisa jika dikelola secara professional. OK…mari kita rebut kembali masa jayanya HKI melalui sinode kerja HKI tahun 2024. (penulis adalah penatua HKI Immanuel, Galaxy, Bekasi Daerah XII Pulau Jawa-Lampung)

 

 

 

 

 

 

CATEGORIES
TAGS