Ojo Dumeh Lan Aji Mumpung

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

ORANG tua kita yang bijak selalu bertutur kata manis, menyejukkan, menentramkan dan selalu menyemangati anak-anak dan cucu-cucunya agar menjadi orang yang baik dan pintar, berbudi luhur dan gemar membantu sesamanya. Sebelum mengakhiri tutur katanya, orang tua tersebut menyebut satu kalimat ungkapan Jawa yaitu, “Ojo Dumeh“.

Makna populernya kira-kira adalah mengunggulkan diri, merendahkan orang lain, suka menghina orang lain. Nasehat itu kemudian ditutupnya dengan sebuah kalimat penyemangat yang bersifat sapu jagad, yakni semoga hidupmu berguna bagi nusa dan bangsa, Nasehat orang tua kita tersebut maknanya sangat dalam, dimensinya luas sekali dan memiliki nilai pendidikan yang di sekolahan belum tentu kita peroleh.

Ojo Dumeh, bolak balik kalimat itu diucapkan orang tua kita kepada anak-anaknya terutama yang berasal dari Jawa. Pengulangan itu dilakukannya pasti mengandung makna yang mendalam. Bisa disebabkan karena khawatir kalau anak-anaknya tidak bisa menjalankan nasehat yang baik dan bijak itu dalam kehidupannya sehari-hari, atau bisa disebabkan karena alasan lain, misal menjadi sombong, acuh tak acuh, egois, tidak peduli terhadap omongan/pendapat orang lain dan cuek terhadap hasil kerja yang dilakukan temannya, meskipun sejatinya karya temannya menurut orang lain adalah baik.

Kesimpulannya, sikap Ojo Dumeh itu tidak baik.Sangat feodalistik dan bernilai tidak positif untuk keperluan pembangunan peradaban. Ojo Dumeh akan menciptakan gap antara si kaya dan si miskin semakin melebar karena Ojo Dumeh adalah menjadi semacam “hak eksklusif” yang hanya pantas dimiliki orang-orang yang senang dipantaskan dalam kehidupannya.

Sikap ini dapat menjadi kontra produktif bagi gerakan masyarakat madani yang menghendaki agar semua manusia yang hidup dalam suatu negara yang demokratis memiliki hak dan kewajiban yang sama. Semua berhak maju dan hidup sejahtera tanpa kecuali. Demi masa depan bangsa dan negara dimana kita tinggal dan mencari penghidupan, maka sepantasnya kita dapat bersikap bisa saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

Bahkan bisa saling memberikan pengakuan bahwa pada dasarnya apa yang bisa kita kerjakan dalam ukuran skala apapun harus didedikasikan untuk kemajuan bangsa dan negara. Bayangkan kalau sikap sebagian besar bangsa Indonesia akibat pengaruh globalisasi menjadi berubah secara mendasar ke arah yang salah. Dalam arti sikap itu lebih mendewakan bahwa apa yang dihasilkan oleh bangsa lain lebih baik ketimbang yang dihasilkan bangsa kita sendiri.

Tersirat di dalamnya ada sikap menyepelekan. Yang serba asing dan yang impor itulah yang baik atau paling baik. Inilah sebuah fenomena baru yang lahir ketika masyarakat telah merasa hidup di dalam lingkungan kosmopolitan yang serba modern dan wah. Kalau tidak memakai barang bermerek terkenal buatan luar negeri, dia akan menganggap derajatnya turun. Kalau melihat temannya menggunakan merek lokal diejeknya dengan kalimat ‘’zaman gini kok masih senang memakai produk lokal’’.

Amit-amit nggak levelah. Inilah contoh sikap Ojo Dumeh yang berkaitan dengan sikap meremehkan orang lain. Kita memang tidak bisa menafikkan begitu saja sikap Ojo Dumeh yang masih hidup ditengah-tengah kehidupan masyarakat pada zaman sekarang ini. Yang penting kita lakukan adalah mengubah cara pandang dan gaya hidup yang lebih peduli, ngewongke bukan Ojo Dumeh,atau aji mumpung. Sikap peduli dan ngewongke ini adalah sikap dan modal dasar yang patut terpatri secara kuat dalam setiap insan Indonesia untuk membangun negerinya. Urip ning Indonesia mung sepisan. Apa yang disediakan Tuhan di muka bumi Indonesia adalah miliknya bangsa Indonesia dan kita diperintahkanNya untuk mengolah dan melipatgandakan nilainya untuk kepentingan bangsa Indonesia, bukan untuk keperluan bangsa lain agar uripe podo mulyo lan ora sengsoro.

Mensukseskan progam aku cinta produk Indonesia, bangga terhadap produk dan karya Indonesia mungkin harus dijalankan melalui pendekatan falsafah hidup melalui proses pembelajaran dan pendidikan. Falsafah hidup yang bersifat baik dan positif dan yang hidup di tengah masyarakat di masa lalu maupun di masa kini. Rohnya dimantapkan dulu untuk dimaksimalkan guna mendapatkan hasil yang lebih mengena atas pelaksanaan progam tsb.

Peduli dan ngewongke butuh keteladanan dari para pini sepuh, para tokoh masyarakat dan para pemimpin di negeri ini agar anak-anak dan cucu kita serta generasi muda pada umumnya bisa mencontohnya dan dipraktekkan dalam hidup sehari-hari. Ojo Dumeh dadi wong sugih,jabatane duwur, hidupnya hanya sekedar mung golek wah (gila pujian) dan kemudian lupa membangun negerinya dan lupa memuliakan rakyatnya.

Mumpung dadi wong berpangkat lali karo derajad dan martabat. Izin diobral untuk kepentingan asing karena asing bisa menjadi juru selamat dalam membangun negeri ini. Asing itu nggone wong pinter menguasai teknologi, lha wonge dewe bisone mik mangan turu lan urip kepenak.

Sikap ini, sekali lagi sangat menyesatkan. Karena itu lebih baik kita konsentrasi penuh membangun kemandirian Indonesia di segala bidang baik di bidang pangan, energi, industri manufaktur, industri kecil dan menengah, pariwisata serta seni dan kebudayaan. Kita semua harus peduli dengan itu. Dan kepada para pemimpin jangan bersikap Ojo Dumeh dan aji mumpung.

Memberikan keteladanan untuk hidup sederhana penting dilakukan oleh para tokoh masyarakat dan para pemimpin kita. Rumah kita dan kantor kita harus mencerminkan adanya kesederhanaan itu. Apa yang ada di rumah kita dan di kantor kita dan bahkan di mal-mal megah sebaiknya diisi oleh berbagai macam karya Indonesia yang sudah baik kualitas maupun harganya.

Perabotan seluruh ruangan semua produksi lokal. Karpetnya hanya bertikarkan lampit rotan atau purun yang enak dipandang. Mobilnya Kijang Inova tidak ada Lamburgini, Ford Mustang atau merek wah lainnya. Dadi wong gede lan sugih akeh godaane. Bagaimana tidak, semua bisa dibeli dengan kekayaan yang dimilikinya.

Rumah mewah besi dibeli,mobil, perlengkapan rumah yang serba wah semua bisa dibelinya. Tabungannya cukup berjibun tersimpan di berbagai bank. Ibaratnya tidak akan habis sampai tujuh turunan. Astaga. Karena itu jadilah role model bagi kehidupan yang bersahaja, sederhana dan selalu memberikan contoh bahwa menghargai karya orang lain adalah bentuk kepedulian yang paling nyata kalau para pemimpin kita akan membawa negeri ini berperadaban.

Kita abaikan saja sikap Ojo Dumeh lan aji mumpung. Kita lebih baik melakukan konsolidasi total membangun negeri ini. Membangun dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang kita miliki. Kita bangun dan kita muliakan Indonesia dengan seluruh karya yang sudah dihasilkan. Karya untuk modal membangun dan karya untuk bisa dipakai dan digunakan langsung oleh kita maupun oleh masyarakat dunia. Hari depan dan masa depan Indonesia akan banyak ditentukan oleh faktor yang berasal dari dalam.

Jika tidak, maka seterusnya akan menjadi bergantung dari luar, termasuk barang dan bahan yang kita butuhkan. Good by Ojo Dumeh dan aji mumpung dan welcome peduli Indonesia dan karya-karyanya. ***

CATEGORIES
TAGS