Bisnis Properti Global di 2024 Diperkirakan Mengalami Ketidakpastian
JAKARTA, (tubasmedia.com) – Selama 2023, kondisi sektor properti global belum memperlihatkan tanda-tanda pemulihan secara signifikan. Setidaknya, hal tersebut terlihat dari perkembangan harga properti global yang tidak mengalami pertumbuhan signifikan. Bahkan, harga riil properti global masih dalam zona pertumbuhan negatif selama 2023.
Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip, melihat bahwa rendahnya pertumbuhan harga properti global tersebut mencerminkan bahwa demand terhadap properti global masih rendah.
Hal tersebut antara lain dipengaruhi oleh kinerja ekonomi global yang memang tidak mengalami pertumbuhan secara signifikan selama 2023.
Dalam keterangan pers yang diterima redaksi dari the Indonesia economic inteligence, Selasa, Sunarsip melihat bahwa prospek sektor properti global di 2024 diperkirakan diwarnai ketidakpastian, seiring dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang masih berjalan lambat. Sejumlah lembaga internasional, seperti IMF dan World Bank dan lembaga lainnya telah mempublikasikan outlook-nya pada tahun 2024 ini.
Hasilnya, sebagian besar memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi di 2024 lebih rendah dibanding tahun lalu. IMF, misalnya, pada 30 Oktober 2023 lalu memperkirakan pertumbuhan ekonomi global di 2024 mencapai 2,9% lebih rendah dengan perkiraan tahun 2023 yang mencapai 3,0%. Perlambatan pertumbuhan tersebut antara lain dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi di Amerika Serikat (AS), Eropa dan China.
Seiring dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang melambat, diperkirakan hal tersebut akan mempengaruhi kinerja sektor properti.
Bahkan di China, kinerja sektor properti yang buruk akibat berbagai kasus kebangkrutan yang menimpa beberapa korporasi besar di bidang properti dalam beberapa tahun terakhir ini justru menjadi sumber perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Perlambatan pertumbuhan dalam investasi properti telah berdampak pada seluruh perekonomian, sehingga menurunkan investasi di berbagai sektor.
Hal ini terjadi karena kuatnya keterkaitan ke belakang (backward linkage) sektor properti dengan sektor ekonomi lainnya, terutama manufaktur bahan konstruksi, produk logam dan mineral, mesin dan peralatan, dan lain-lain.
Sunarsip melihat bahwa pemulihan sektor properti di China diperkirakan memang akan terjadi pada tahun ini, namun terbatas. Pemulihan korporasi properti terutama akan dialami oleh korporasi yang berstatus sebagai badan usaha milik negara (BUMN).
Sementara itu, korporasi properti swasta diperkirakan masih akan menghadapi tekanan (pressure) akibat keterbatasan sumber keuangan dan akses pendanaan.
Pemerintah China telah turun tangan untuk memulihkan kondisi sektor propertinya. Pemerintah China, misalnya, telah mengeluarkan berbagai kebijakan baik dalam rangka memperbaiki kinerja keuangan korporasi di sektor properti maupun meningkatkan daya beli masyarakat.
Pemerintah China telah menerapkan langkah-langkah untuk mendukung sektor properti, termasuk mendukung pengembang dan pembeli rumah secara finansial, memperluas akses pendanaan, termasuk upaya untuk mengendalikan aksi spekulasi properti.
Namun demikian, Sunarsip berpendapat bahwa berbagai kebijakan tersebut belum serta merta akan mendorong kinerja sektor properti di China. Sunarsip memperkirakan bahwa penjualan properti di China masih akan mengalami kontraksi selama 12 hingga 18 bulan ke depan.
Properti di Indonesia
Sementara itu disebut, meskipun kinerja sektor properti global kurang baik namun hal tersebut relatif tidak berpengaruh terhadap kinerja sektor properti di Indonesia.
Hal ini antara lain disebabkan pasar properti kita belum terkoneksi (not interconnected) dengan pasar properti global. Pasar properti kita relatif masih “tradisional” yang belum melibatkan instrumen keuangan yang global wide.
Seperti misalnya, pasar properti di Indonesia belum memanfaatkan instrumen real estate investment trusts (REITs) yang dapat diperdagangkan di pasar global.
Disebut bahwa relasi korporasi properti di Indonesia dengan korporasi offshore juga masih terbatas, sehingga krisis keuangan korporasi properti di luar negeri sejauh ini tidak berdampak bagi korporasi properti di Indonesia.
Namun demikian, disebut bahwa kinerja sektor properti kita selama 2023 belum terlalu kuat. Hal tersebut terlihat dari kinerja pertumbuhan sektor ekonomi yang terkait dengan sektor properti, seperti sektor Konstruksi dan Real Estate.
Termasuk pula, bila dilihat dari PDB sisi pengeluaran dimana Konsumsi Rumah Tangga untuk Perumahan serta Investasi Bangunan masih mengalami pertumbuhan terbatas selama 2023. Kinerja sektor properti yang masih relatif terbatas tersebut juga tercermin dari pertumbuhan harga riil yang terbatas pada properti residensial maupun properti komersial. (sabar)