Industrialisasi dalam Lingkaran Global Capitalism

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

 

PERTAMA, membahas soal industrialisasi kita harus bisa melihat fakta, sejarah dan proses. Dan jejak rekamnya dapat kita catat bahwa revolusi industri terjadi di negara-negara maju yang asetnya dikapitalisaasi sebagian di negara-negara berkembang.

Seluruh capital gain yang dihasilkan, mereka bawa pulang ke induknya. Negara-negara yang ketempatan sebagai basis produksi “dipaksa” membuat regulasi yang memberikan kebebasan seratus persen kepada mereka agar dapat mentransfer dan merepatriasi seluruh capital gain yang dihasilkan dalam berbagai bentuknya.

Saat proses ini berjalan, maka saat itu pula nilai tukar mata uang negara bersangkutan akan melemah akibat terjadi capital outflow secara alamiah dan dilindungi oleh undang-undang.

KEDUA, karena itu negara-negara emerging economy harus bisa melawan arus besar yang bersifat kompleks untuk mengubah diri menjadi negara industri maju baru, karena yang dihadapi adalah pemain dunia yang telah menguasai jaringan luas bisnis industri yang telah bercokol dalam sistem kapitalisme global.

Kekuatannya maha dahsyat dan dengan itu, mereka dapat mengubah aset nasional menjadi aset global melalui proses akuisisi, merger dan memberikan dukungan investasi pada perusahaan-perusahaan start-up industri yg prospektif.

Dibuat Bangkrut

Mereka dipaksa menjadi besar melalui proses valuasi aset yang tidak masuk akal agar segera masuk kelas unicorn, padahal fondamental bisnisnya belum terlalu kuat. Yang terjadi kemudian adalah mereka menikmati manfaat dari valuasi aset dan di lain pihak pemilik perusahaan starup industrinya “dibuat” bangkrut, yang kemudian diakuisisi dengan harga per lembar saham yang murah meriah.

KETIGA, fakta itu yang kita catat sebagai tantangan dan sekaligus ancaman bagi sebuah negara yang sudah mendeklarasikan dirinya untuk menjadi negara industri maju baru di dunia saat ini dan ke depan. Fakta ini pula menjadi tantangan bagi para analis kebijakan industri dan para decession maker yang memiliki tanggung jawab secara fungsional untuk membuat perancangan strategis dan menyiapkan seperangkat kebijakan statregis untuk menempatkan posisi penting industri nasional yang kita bangun dengan susah payah dengan menggunakan sumber daya nasional agar bisa hidup dalam jaringan global industry yang hidup secara koheren dalam sistem global capitalism.

Mengapa industri nasional bergantung pada sekitar 70% bahan baku impor, tergantung pada modal dan teknologi yang juga kita impor, bahkan tenaga kerjanya dihadirkan di negara tujuan. Jawabannya sangat mudah dan sederhana, yaitu karena pabrik-pabrik industri manufaktur yang berproduksi di Indonesia telah menjadi bagian dari global industry dan mereka saling teruntai seperti sarang laba-laba yang hidup dalam sistem global capitalism.

Menurut Soros, praktek global capitalism ini masuk ke negara-negara periferi melalui instrumen kredit, investasi portofolio dan melalui FDI yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Dari kebutuhan strategis, apa yang harus kita kerjakan menghadapi realitas seperti itu?

Apakah harus bersikap realistik atau bersikap idialistik? Jika ini sebagai pilihan, maka penulis memilih dua-duanya dalam kancah politik ekonomi industri. Pada paragrap keempat, mari kita  coba urai selintas tentang kedua pilihan dimaksud.

KEEMPAT, pilihan untuk bersikap realistik adalah bahwa industri nasional yang kita bangun harus masuk dalam global value chain dengan kontribusi yang optimal agar skala efisiensi produksi tercapai  dan bisa untung. Pada pilihan yang bersifat idialis, kita harus menentukan cabang -cabang industri tertentu yang bisa kita tetapkan dapat menjadi market leader dan meningkat nilai portofolio industrinya sehingga ia bisa hidup dalam jaringan global industry.

Lupakan dulu soal pendalaman struktur dan kita ubah menjadi pendalaman teknologi. Kita dorong local content menjadi bagian penting dalam jaringan industry global sehingga misi utama P3DN adalah menjadikan local content menjelma menjadi local leaders dalam setiap klaster-klaster industri pada jaringan global. Inilah sejatinya paradigma globalisasi adalah lokalisasi.

Dengan pendekatan strategis seperti itu, maka sesungguhnya perusahaan-perusahaan industri global yang telah terikat dalam jaringan global capitalism bisa juga bersikap realistik. Artinya mereka juga memberi ruang tumbuh bagi localize leader yang ada di berbagai dunia untuk menjadi mitra strategis dalam industri dan perdagangan global. Peran IKM berbasis teknologi menjadi penting sebagai pilihan kebijakan yang harus dikembangkan. Small is beautiful. Naisbit dalam bukunya yang sangat terkenal “Megatrend” sudah meramalkan bahwa sektor IKM yang justru akan lebih eksis di era teknologi informasi yang memulai dengan membangun star up industry.

KELIMA, positioning yang harus kita ambil berarti bahwa Indonesia dapat melakukan exit policy dengan menempatkan negeri ini menjadi tempat persemaian yang subur bagi tumbuhnya advanced manufacturing yang menjelma menjadi brilliant factory yang bisa melakukan prediksi, adaptasi dan mampu bereaksi lebih cepat.

Obyek Globalisasi

Lahir small and medium factory berbasis IT di berbagai daerah, utamanya di desa-desa yang hanya butuh sambungan internet. Fungsi pengaturan, pembinaan dan pengembangan industri yang menjadi portofolionya Kemenperin bisa melakukan exit policy ke arah itu.

Tanpa memilki localize leader yang handal dan tidak membuat exit policy, maka negeri ini selamanya hanya akan menjadi obyek globalisasi yang secara idiologis dikontrol oleh sistem kapitalisme global.

Tidak hanya itu, Indonesia harus mampu mewujudkan pandangan Paul Samuelson, peraih Nobel Ekonomi, yakni Indonesia harus bisa menjadi salah satu negara di dunia yang mampu membuat produk dan layanan dengan value added yang tinggi.

Industri-industri besar bisa dibangun mengolah sumber daya alam untuk menghasilkan bahan baku. Proses transformasinya harus dimulai dari sekarang dan bergerak ke arah yang tidak hanya sekedar menyesuaikan diri dengan kondisi perdagangan global dewasa ini, tapi harus bisa mengubah kondisi perdagangan global itu sendri.

China sudah bisa meraih posisi itu dan Indonesia dengan semangat incorporated harus bisa mengejar ketertinggalan tersebut. Together yes we can. (Penulis adalah pemerhati ekonomi dan industri tinggal di Jakarta).

CATEGORIES
TAGS