Sektor Tradable Dalam Kerangka Kerja Kebijakan Industrialisasi

Loading

Oleh : Fauzi Aziz

PERTAMA, judul tersebut merupakan penalaran politik ekonomi dan sekaligus politik industri yang sifatnya holistik. Jika kita sering membaca data BPS, maka kita akan menjumpai data ekonomi menurut lapangan usaha. Dari situ kita mengenal dua kelompok besar lapangan usaha yang disebut sektor tradable (sektor penghasil barang), dan sektor non tradable (sektor jasa).

Kedua, sektor tradable ada 3 kelompok besar yaitu, penghasil tambang dan bahan galian ; pertanian dalam arti luas (termasuk perkebunan, peternakan dan perikanan) dan Industri pengolahan. Jika kita baca sebagai sistem ekomomi, maka sektor tradable ini menjadi penyumbang PDB dari sisi produksi barang.

Dan bila kita baca dari perspektif sistem industri, maka seperti telah direncanakan bahwa ketiga sektor tradable tersebut harus tumbuh dalam satu ekosistem pengolahan yang sifatnya koheren. Seperti juga telah menjadi hukum alam, ketiga sektor tradable tersebut dituntun untuk memilki saling keterkaitan hingga dapat menghasilkan output yang bernilai tambah tinggi.

Saling keterkaitan itu seperti telah ditakdirkan agar dikelola dengan baik dan bertanggung jawab untuk membangun fondasi dan struktur ekonomi dan industri yang kuat dan kokoh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Prinsip keterkaitan ini, tidak hanya antar sektor, tetapi juga antar wilayah.

Ketiga, jika kita sepakat dengan framework tersebut, maka panduan politik industri sudah ditegaskan dalam pasal 33 UUD 1945 bahwa untuk itu perlu dibangun cabang – cabang produksi yang penting untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran seluruh rakyat.

Seiring dengan itu, maka politik industrinya yang tepat adalah menyelenggarakan proses industrialisasi. Hilirisasi menjadi bagian tak terpisahkan dari proses industrialisasi. Karena itu, sebenarnya tidak perlu ada narasi hilirisasi dalam konteks kebijakan publik. Yang perlu adalah kebijakan industri sebagai induk dari proses industrialisasi, yang dalam hal ini adalah proses industrialisasi di hulu, antara, dan hilir. yang berbasis sumber daya alam.

Pengkaplingan antara hilirisasi dan industrialisasi menjadikan rancu dan cenderung melahirkan terjadinya konflik kebijakan karena menjadi terjebak pada persoalan arogansi sektoral. Padahal kerangka kerja konseptual dan operasionalnya adalah bahwa proses industrialisasi bersifat lintas sektor dan lintas wilayah.

Pembangunannya bisa dimulai dari sektor hulu, antara maupun hilir. Semua tergantung dari pilihan kebijakan pemerintah karena berkaitan dengan alokasi sumber daya.

Keempat, kerangka kerja konseptual dan operasional industrialisasi sesungguhnya tidak mengenal konsep hilirisasi karena kegiatan di sektor hulu, antara dan hilir berada. Dalam satu alur keterkaitan dalam rangka mewujudkan pola hubungan industrial yang efisien agar terbentuk local value chain antara industri hulu, antara dan hilir Mindset policy maker menjadi terganggu akibat istilah hilirisasi dimunculkan sebagai isu Policy sehingga terbangun narasi kebijakan “Hilirisasi dan Industrialisasi” sebagai isu policy yang seakan terpisah. Padahal mestinya tidak karena hilirisasi menjadi bagian tak terpisahkan dari industrialisasi

Kelima, kita rapikan lagi mindset kebijakan industri berbasis sumber daya alam yang rencana pengembangannya sudah dipandu oleh RIPIN. Belajar dari negara lain, devisa hasil ekspor sumber daya alam sebagian dikonversi menjadi sumber dana investasi.

Dananya bisa dipakai untuk membangun industri prioritas, utamanya di sektor industri hulu atau antara. Arahnya bisa untuk pendalaman struktur maupun untuk mengurangi ketergantungan impor.

Langkah ini dapat untuk mengobati penyakit dutch desease syndrome akibat sumber daya alam diekspor dalam bentuk mentah Re orientasi kebijakan ini yang kita butuhkan, semoga industrialisasi dapat dipandu oleh kerangka kerja yang terukur baik dalam kerangka kerja konseptual maupun kerangka kerja operasional.

Fauzi Aziz, Pemerhati Ekonomi dan industri.

CATEGORIES
TAGS