Penyelenggara Negara Terlibat KKN, Diancam Pidana Penjara

Loading

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Setiap penyelenggara negara wajib hukumnya bersih dan bebas dari KKN dan bagi mereka penyelenggara negara yang terlibat KKN, diancam pidana penjara. Hal itu diatur dalam hukum positif Tap MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN dan UU No.28 Tahun 1999, Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN.

‘’Hukum positif itu secara tegas melarang dan mengamcam dengan pidana penjara setiap penyelenggara negara yang melakukan nepotisme,’’ kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus dalam diskusi yang dilakukan TPDI dan Pergerakan Advokat  Nusantara dengan temah “Dinasti Politik Dan Nepotisme Jokowi Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Dampaknya Kepada Pilpres 2024” di Jakarta, Rabu.

Selain Petrus Selestinus, panitia menampilkan narasumber Carrel Ticualu, SE, SH, MH (Koord. Pergerakan Advokat Nusantara) dan Julius Ibrani (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia dan HAM Indonesia – PBHI) dengan moderator, Davianus Hartoni Edy, SH.

Oleh karena itu kata Petrus, putusan No. 90/ PUU-XXI/2023, 16 Oktober 2023, karena bermuatan dinasti politik dan nepotisme Joko Widodo, secara hukum, moral dan etika menjadi cacat konstitusi.

‘’Karena selain telah memperkosa prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dijamin oleh pasal 24 UUD 1945, juga putusan MK No.90 itu menjadi tidak sah atas kekuatan ketentuan pasal 17 ayat 5 dan ayat 6 UU No.48 Tahun 2009,’’ katanya.

Petrus Selestinus menyebut diskusi dengan tema “Dinasti Politik dan Nepotisme Presiden Jokowi dari perspektif hukum positif dan dampaknya terhadap Pilpres 2024”, merupakan bagian dari peneguhan sikap Para Advokat TPDI dan Perekat Nusantara untuk meningkatkan tempo permainan.

Pasalnya, somasi yang disampaikan TPDI dan Perekat Nusantara, 6/12/ 2023 yang lalu kepada Presiden Jokowi tidak dijawab dan tidak ada satupun tuntutan yang dipenuhi.

‘’Untuk itu tempo permainan akan ditingkatkan ke tahap gugatan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Penguasa ke Pengadilan PTUN Jakarta,’’ jelasnya.

Gibran Kebal Hukum

Mengapa ? Karena semua daya upaya melalui mekanisme biasa baik itu kritik, saran, protes dan sebagainya oleh sebagian besar anggota masyarakat agar nepotisme di dalam Putusan MK No.90 dihentikan.

Dampak lainnya pasca Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, 16/10/2023 telah memberi imunitas kepada Gibran Rakabuming Raka dan kroninya yang bebas melakukan apa saja seperti membagi-bagi uang di Pesantren di masa kampanye, namun tidak ditindak.

Begitu juga Prabowo Subianto dan Gibran bertemu perwakilan Perhimpunan Kepala Desa meminta dukungan, Aiman Witjaksono memberi informasi kepada Polri soal netralitas Polri, dilaporkan ke Polisi dan diperiksa.

Butet Kertaredjasa juga diminta tidak menampilkan acara bernuansa politis, Agus Rahardjo yang bercerita pernah diintervensi malah dilaporkan ke Bareskrim.

‘’Tindakan-tindakan tersebut merupakan ancaman terhadap demokrasi dan sangat berbahaya dalam kelangsungan hidup bangsa dan negara ini,’’ katanya.

‘’Fakta-fakta di atas, menunjukkan bahwa suara rakyat berupa kritik dan kontrol sebagai bagian dari partisipasi masyarakat dalam pembangunan tidak didengar oleh oleh Presiden Jokowi,’’ sambungnya.

Bahkan kritik yang dibuat melalui somasi Advokat TPDI dan Perekat Nusantara dengan tuntutan agar Presiden Jokowi mengembalikam situasi kepada keadaan normal, yaitu Polri netral, Aparatur Negara lain juga netral agar demokrasi berjalan secara sehat, tidak juga digubris.

Pada sisi yang lain, Presiden Jokowi seakan-akan merasa bahwa Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 telah melegitimasi dinasti politik dan nepotismenya yang telah melembaga dalam pemerintahannya sejak putranya Gibran jadi Walikota Solo dan menantunya Bobby Nasution ‘’

‘’Di sini nampak jelas bahwa Presiden Jokowi sesungguhnya telah memusatkan seluruh kekuatan sosial politik berada di bawah kendalinya, sekaligus memperkokoh dinasti politiknya hingga pada supra struktur kekuasaan lintas lembaga negara,’’ tambahnya.

Sementara itu, Julius Ibrani dalam pandangannya menyatakan Putusan MKMK No. 02/MKMK/L/11/2023 membuktikan telah terjadi conflict of interest dengan basisnya adalah Anwar Usman dan Gibran Rakabuming Raka, memiliki hubungan keluarga.

Keanehan terjadi karena pemohon uji materil (Almas) mengajukan Gibran sebagai legal standing-nya, maka dalam hal demikian, pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan Permohonan Uji Materil ke MK.

Ini menegaskan bahwa Pemohon sebenarnya adalah proxy Gibran, karena dalam legal standing pemohon, yang dibahas adalah tentang Gibran Rakabuming Raka dan suksesnya membangun Kota Surakarta.

Semua hal terkait penyimpangan dalam proses Uji Materiil Perkara No. 90/PUU-XXI/2023, terungkap lewat sidang MKMK, antara lain terungkap bahwa MK telah membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses persidangan MK 90/PUU-XXI/2023.

Penyimpangan lain yang dilakukan Hakim Konstirusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah menambahkan klausa “pernah/sedang menduduki jabatan publik”, yang sebelumnya tidak ada dalam Pasal 169 hurf q, juga di dalam Permohonan Uji Materiil itu tidak ditandatangani oleh pemohon tetapi diproses.

Pelanggaran etik melalui mekanisme yudisial dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 ketika disinkronkan dengan hubungan kekerabatan Anwar Usman dan Gibran, menghasilkan dugaan adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai yaitu pencawapresan Gibran Rakabiming Raka.

‘’Ini membuktikan telah terjadi pelanggaran yang keras terhadap konstitusi Negara (constitutional hard ball), termasuk terjadinya penyelundupan hukum dalam Putusan MK 90/PUU-XXI/2023,’’ kata Julius.

Julius menegaskan, Pemilu 2024 hanya menjadi agenda yang sia-sia atau rekayasa dari sesuatu yang kita sudah kita ketahui, mengalami kekuasaan despotik, memperkuat nepotisme Jokowi merusak citra anaknya sendiri (Gibran) sekaligus merusak demokrasi.

Malapetaka

Carrel Tikualu menyebut, putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dilihat dari perspektif Hukum Acara MK dan Hukum Tata Negara, menjadi kontroversi karena ternyata Almas, Pemohon Uji Materiil, tidak memiliki legal standing, hanya karena ia mengidolakan Gibran Rakabuming Raka, Walikota Surakarta yang sukses.

Uji materi menjadi malapetaka, ketika yang memeriksa perkara No.90/PUU-XXI/2023, adalah salah satu keluarga Jokowi, yaitu Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang menurut UU No. 48 Tahun 2009, tentang kekuasaan kehakiman, diwajibkan harus mundur dari persidangan.

Selain itu kata Carrel, gugatan ini tidak bertentangan dengan UUD, karena pembatasan usia capres dan cawapres tidak diatur dalam UUD tetapi diatur dalam UU Pemilu, maka Pasal 169 Huruf q, tidak bertentangan dengan UUD 1945, namun dikabulkan, bahkan Anwar Usman ikut sebagai hakim pemutus uji materil.

Meski banyak terdapat kontroversi, namun gugatan Almas dikabulkan oleh MK  dengan  Anwar Usman sebagai Ketua saat itu, sehingga diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK oleh MKMK, sementara Putusan MK No.90/PUU-XXI/ 2023, tetap dilaksanakan sebagai konsekuensi dari sifat putusan MK yang final dan mengikat, meskipun cacat hukum

Oleh karena itu, DPR dan Presiden diharapkan segera merevisi sifat final and binding dari putusan MK agar diseleraskan dengan ketentuan pasal 17 UU No.48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman. (sabar)

CATEGORIES
TAGS