Indonesia, Ranking Ketujuh di Asean

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

DUA hari terakhir kita disuguhi informasi terbaru yang dirilis Bank Dunia bahwa peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia turun dari peringkat 116 menjadi 120. Di antara negara-negara Asean, Indonesia berarti berada pada peringkat ke tujuh.

Urutannya adalah Singapura (1), Malaysia (6), Thailand (18), Brunei (59), Vietnam (99), Filipina (108), Indonesia (120) disusul Kamboja (137), Laos (159), Timor Leste (172) dan Myanmar (182).

Peringkat ini penting. Suka tidak suka harus diakui bahwa sistem pelayanan publik untuk memberikan kemudahan berbisnis di negeri ini belum baik. Hal yang demikian terjadi, baik di pusat maupun di daerah. Negeri yang diniatkan untuk menjadikan dirinya sebagai pusat produksi dan distribusi berkelas dunia di kawasan, masih jauh dari harapan.

Secara fisik, lokasi-lokasi yang disiapkan masih rata dengan tanah. Belum ada yang berstatus ready for sale yang siap huni bagi para investor yang akan menanamkan modalnya. Secara administratif, sistem pelayanan publik untuk berbagai keperluan perizinan usaha memang masih tersekat-sekat baik di pusat maupun di daerah, di berbagai instansi.

Sistem pelayanan satu atap baru sebatas mitos. Public image dan public satisfaction masih rendah. Satu atap tapinya mejanya tetap banyak. Kalau peta kekuatan sistem pelayanan publiknya dianalisa, maka peluang Indonesia untuk bisa berjaya di Asean harus kerja keras untuk berbenah.

Masalah yang terjadi di lapangan adalah cermin dari masalah yang terjadi pada tataran kebijakan/regulasi. Para petugas di lapangan bekerja atas dasar perintah kebijakan/regulasi. Seperti sudah banyak dikeluhkan bahwa salah satu penyebab buruknya pelayanan publik di negeri ini adalah karena para petugas harus bisa mengamankan regulasi di luar sektornya.

Contoh soal impor daging sapi, hotikultura harus diurus oleh Kementan, Kemendag, Kemenperin dan Kemenkeu. Begitu juga yang terjadi di Ditjen BC dalam hal pelayanan barang impor banyak aturan titipan dari intansi lain agar DCBC dapat ikut mengamankan pelaksanaan kebijakan sektor lain meskipun bukan tupoksinya.

Yang terjadi akhirnya bukan tambah lancar tapi sebaliknya malah menghambat proses clearancenya. Padahal sistem single window sudah dijalankan. Sistem pelayanan publik yang belum efisien juga berdampak tidak langsung terhadap inflasi.

Kementrian/lembaga pemerintah sekarang ini berlomba-lomba membuat undang-undang yang kalau dikaji secara substansial banyak aspek yang justru membangun basis kewenangan pada masing-masing institusi tanpa memperhitungkan dampaknya apakah akan makin memperlancar pelayanan publik atau sebaliknya malah menghambat karena aturannya berpotensi tumpang tindih dengan regulasi di sektor lain.

Melihat kenyataan ini maka tidaklah heran kalau peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia belum bisa naik kelas, padahal FTA Asean sudah di depan mata. Kalau kita lihat realitasnya saat ini terkesan Indonesia termasuk yang belum siap seratus persen, jika dibandingkan dengan negara Asean lainnya. Jika serius akan memperbaiki peringkat, maka hal yang paling mendesak diperbaiki adalah faktor kerangka kebijakan dan kerangka regulasi agar tercipta harmonisasi.

Infrastruktur tidak dapat segera dibangun karena hambatan regulasi. Penyediaan listrik, gas tidak lancar karena regulasi. Begitu pula insentif pajak untuk investasi tidak bisa cepat dieksekusi karena regulasi. Pemerintah yang akan datang mudah-mudahan dapat membenahi masalah ini dan pekerjaan rumahnya yang paling banyak adalah memperbaiki sistem regulasi nasional maupun daerah. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS