Ekonomi Indonesia Lamban Karena Dijebak “Lampu Merah”

Loading

Alasan-Kenapa-Lampuuuuuuuuu

Oleh: Fauzi Aziz

TRIWULAN II tahun 2016, pertumbuhan ekonomi menurut BI diperkirakan berada pada kisaran 4,9-5%. Menggenjot pertumbuhan nampaknya memang berat di negeri ini, meskipun pemerintah telah bekerja keras melakukan berbagai terobosan kebijakan, termasuk deregulasi.

Kalau mau mencari alasan pembenar yang cukup bisa dipertanggungjawabkan memang kondisi eksternal cukup memberi pengaruh. Ekonomi global menurut Bank Dunia hanya akan mampu tumbuh sekitar 2,4% tahun ini.

Tumbuh menjadi sekitar 5% lebih sepertinya harus memakan energy dan presiden harus turun gunung berkali-kali mengecek kondisi di lapangan. Apa yang bisa kita baca dari fenomena ekonomi di negeri ini memang aneh. Keanehan paling clear adalah ekonomi formal malas tumbuh tetapi ekonomi non formal di tingkat akar rumput selalu ramai dan persaingannya sangat sengit.

Coba kita lihat di dunia kuliner di berbagai daerah, kegiatannya sangat ramai. Manakala musim liburan, wisata domestik berdatangan, aktivitas bisnis kuliner kian ramai. Semua laku laris manis. Ini hanya contoh kecil. Dan memang jika layanan infrastruktur makin banyak, kegiatan ekonomi di dalam negeri akan menggeliat dengan sendirinya.

Ini tak terbantahkan karena belanja konsumsi masyarakat selalu tampil menjadi penyelamat pertumbuhan ekonomi dengan menyumbang rata-rata 50% per tahun dalam satu dasawarsa lebih. Ibarat kata, menteri- menteri bidang ekonomi tidak bekerjapun ekonomi konsumsi dan wisata domestik serta kegiatan UKM/IKM akan bertumbuh karena infrastruktur semakin lengkap.

Ekonomi kecil berbasis kerakyatan dan tumbuh dalam semangat kearifan lokal silih berganti bermunculan. Ekonomi riil bersifat formal justru malas tumbuh. Kalaupun dikatakan ada geliat akan tumbuh, hanya tercatat dalam statistik pendaftaran/perizinan saja yang sangat sedikit terealisasi dalam kegiatan investasi dan produksi.

Fenomena ini persis yang terjadi di DPR, yang  tercatat dalam daftar hadir lengkap, tetapi yang benar-benar hadir dalam sidang tidak pernah lengkap. Jika pemegang izin tersebut bisa ditanya satu persatu jawabnya lihat-lihat dulu melihat cuacanya bagaimana. Hal ini terjadi sektor investasi portolio maupun di sektor riil.

Di sektor portofolio diramaikan oleh aktifitas trading dan spekulasi. Yang benar-benar melakukan investasi barangkali tidak lebih besar nilainya karena mereka mengharapkan imbal hasil dan capital gain yang besar. Di sektor riil dihantui oleh banyaknya lampu merah yang dilalui sejak awal mau berinvestasi sampai saat akan melaksanakan produksi komersial.

Lampu merah ini geraknya tidak sinkron antar lampu merah yang satu dengan lampu merah berikutnya. Di satu lampu merah ada pelaporan dan pencatatan. Masuk lampu merah berikutnya ada pelaporan dan pencatatan, begitu seterusnya.

Fenomena ini persis yang terjadi di jalan tol karena masing-masing pengelola jalan tol membuka lapak sendiri-sendiri. Ekonomi lampu merah yang prosedural menghasilkan dua kenikmatan. Pertama, kenikmatan pejabat birokrasi karena menjadi pejabat kalau tamunya tidak banyak yang datang rasanya seperti belum bekerja dan jika tidak ada tamu yang datang malah stres.

Bila banyak yang datang meminta izin, rekomendasi dan konsultasi atau keperluan lain, apalagi ada hadiahnya, mereka sangat menikmatinya dan bisa “sakau”. Kalau tertangkap tangan KPK, kenikmatan tersebut langsung pudar. Kedua, kenikmatan dinikmati para broker dan calo tanah ketika ekonomi lampu merah dan prosedural makin sulit diprediksi apakah benar sesudah aturannya dipangkas semua menjadi lancar.

Dalam beberapa hal tidak ada jaminan menjadi lancar, sehingga broker dan calo tanah masih mengais rezeki dari praktek ekonomi lampu merah ini. Inflasi di Indonesia relatif tinggi disebabkan terjebak ekonomi lampu merah. Pembebasan lahan lama karena terjerat oleh ekonomi lampu merah. Pengiriman sapi dari NTB/NTT ongkosnya lebih mahal dibanding kalau didatangkan dari Australia karena terjebak ekonomi lampu merah.

Konon biayanya bisa mendekati dua pertiga dari harga sapi. Sapi lokal kalau mau dikirim dari daerah tersebut lebih banyak makan ongkos daripada makan rumput sehingga begitu sampai tujuan beratnya turun banyak. Karena itu, tidak bisa langsung dipotong karena selama di jalan sapinya lebih banyak makan ongkos, sehingga harus digemukkan lagi.

Dalam menyusun dan melaksanakan APBN/APBD juga dijebak  lampu merah. Mau mendapatkan WTP “konon” ada jebakan lampu merahnya. Kalau mau pakai bahasa yang lebih vulgar dan kasar, ekonomi Indonesia berjalan tapi banyak “tukang begalnya”. Ini masalah serius, semoga deregulasi  yang akan segera terbit jilid ke XIII dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia dari berbagai jebakan batman.

Ibarat sebuah rute perjalanan, setiap kota yang dilewati minta disinggahi. Dan supaya disinggahi dibuatlah aturannya. Sebagai saran, ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan pemerintah dan DPR untuk menata ulang aturan main berekonomi di negeri ini dengan memastikan mana yang benar-benar dibutuhkan tetap perlu dibuat regulasinya.

(1), Mana yang tetap ada aturannya, tetapi bersifat longgar, ini sesuai semangat deregulasi (2) dan ada yang sama sekali tidak perlu diatur sama sekali karena urgensinya memang tidak ada sama sekali jika diatur (3). Jangan main babat habis, nanti malah tidak baik seperti ribuan perda akan dibatalkan. Republik ini memang perlu melakukan penataan ulang seluruh sistem kelembagaannya agar terbebas dari jebakan lampu merah yang kelewatan. Now just do it. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

 

CATEGORIES
TAGS