Reformasi Hanya Berputar di Awan

Loading

images.jpggggggggg

Oleh: Fauzi Aziz

 

TUBASMEDIA.COM telah menurunkan opini berjudul “Re-writing the rules” yang kira-ki ra maknanya menata kembali aturan main. Indonesia lebih sering menggunakan istilah “Reformasi”. Gaung reformasi di negeri ini timbul tenggelam. Kalaupun ada, reformasi tidak pernah membumi.

Reformasi masih hanya sekedar wacana. Terkesan tidak serius, karena boleh jadi, reformasi adalah tindakan yang paling tidak disukai oleh pejabat publik sebab kehidupan mereka terusik. Karenanya mereka lebih nyaman, enak dan aman hidup dalam zona status-quo ketimbang melakukan perubahan.

Sulit rasanya reformasi atau re-writing the rules jika progamnya hanya diserahkan kepada keputusan yang bersifat birokratik karena sistem birokrasi akan sulit melakukan langkah besar perubahan pada dirinya karena birokrasi adalah pelaksana sistem admi nistrasi negara yang merupakan produk politik.

Oleh sebabitu, reformasi birokrasi, reformasi pajak atau reformasi di bidang yang lain tidak akan pernah bisa dilaksanakan jika hanya diserahkan kepada pejabat birokrasi setingkat menteri, meskipun menteri adalah sebagai jabatan politik.

Reformasi maknanya juga menata ulang. Langkah ini hanya bisa dilakukan dengan keputusan politik tingkat tinggi yakni keputusan pada level negara. Bahkan penulis berpendapat harusnya ditetapkan melalui TAP MPR.

Sayangnya, lembaga MPR dibuat “mandul” oleh hasil reformasi politik yang terjadi tahun 1998. Reforma struktural di Indonesia sudah sangat mendesak. Negeri ini tengah melangkah untuk melakukan berbagai upaya memperbaiki keadaan menuju Indonesia yang lebih baik dan lebih hebat.

Tapi langkahnya tertatih-tatih karena sistem nasional yang terbentuk melalui langkah politik tahun 1998 hanya baru melahirkan sistem kelembagaan yang bersifat formal. Sistemnya terbentuk, tapi langkahnya kaku akibat di setiap sub sistem kelembagaan yang dibangun, melahirkan raja-raja kecil yang memegang kendali kewenangan dalam menjalankan sistem administrasi pemerintahan/administrasi negara.

Artinya reformasi tahun 1998 hanya sekedar “simbol” karena faktanya Indonesia tidak menjadi lebih baik. Praktek sogok, suap, korupsi, pencucian uang dan kejahatan kerah putih lainnya, seperti penyelundupan fisik dan administrasi makin marak dan berkecambah di negeri ini.

Reformasi masa lalu hanya melahirkan Indonesia yang “korup”. Reformasi di tahun 1998, hanya menyenangkan negara lain karena Indonesia telah berhasil mengimpor demokrasi dalam keadaan seutuhnya seperti mengimpor mobil dalam keadaan CBU.

Reformasi masa lalu menegaskan ekonomi Indonesia makin terbuka dan makin liberal, sehingga modal asing sangat leluasa menguasai sumber daya ekonomi nasional. Tahun 2017, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,2-5,6%. Target ini sebenarnya masih bersifat moderat saja.

Penulis yakin jika tatanan ekonomi Indonesia baik, birokrasinya efisien dan kebijakannya tidak saling berbenturan atau saling “mengunci’, BI barangkali akan berani memasang target pertumbuhan ekonomi pada kisaran 6-7% per tahun.

Akselerasi atau kebangkitan ekonomi Indonesia sejatinya dihambat sistem kelembagaan yang saling “menelikung”. Melihat sektor hanya dari kacamatanya sendiri bukan dilihat dari perspektif yang lebih luas.

Coba kita telaah secara sederhana, sektor tradable digerakkan tiga sektor utama, yakni pertanian, pertambangan dan industri pengolahan.

Kalau mau mencapai target pertumbuhan ekonomi antara 6-7% per tahun, maka pertum buhan sektor tradable-nya harus mencapai 7-8% per tahun. Faktanya hanya mampu tumbuh rata-rata 4.% per tahun. Solusinya adalah, industrialisasi dari tiga kekuatan sektor tersebut.

Namun apa lacur, sistem kelembagaan yang ada justru menjadi “penghambat’ pelaksanaan industrialisasi di negeri. Di sektor tradable pendekatan pembangunannya harus industrialisasi. Pertumbuhan ekonomi bisa diharapkan tumbuh tinggi jika sistem rantai nilai ekonominya tidak terganjal oleh sistem kelembagaan yang bersifat sektoral dan kaku.

Dengan demikian disadari atau tidak, sistem ekonomi nasional masih banyak mengalami masalah sehingga geraknya untuk tumbuh lamban. Sistem ekonomi nasional di sisi input masih berbiaya mahal, sehingga wajar nilai tambah ekonomi yang terbentuk tidak maksimal. Output-nya besar dan nilai input-nya juga besar alias boros.

Yang paling berbahaya jika nilai input-nya lebih besar dari nilai output-nya, berarti ekonomi Indonesia mengalami kontraksi. Oleh sebab itu, memperbaiki kenerja ekonomi Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan cara ad-hoc, seperti misalnya dengan menerbitkan UU tentang Tax Amnesty.

Kebijakan ini bisa dianggap ad-hoc karena pemerintah sebenarnya mengalami kelangkaan likuditas di sisi penerimaan, sementara di pos belanja, khususnya untuk membangun infrastruktur, tiap tahun butuh biaya besar.

Mengapa bersifat ad hoc karena tax amnesty hanya akan berlaku hingga Maret 2017. Rasanya tepat jika ada keputusan politik yang dilakukan bersama oleh empat lembaga negara yang mempunyai otoritas melakukan reformasi, yakni pemerintah, MPR, DPR dan DPD.

Tanpa peran empat lembaga negara tersebut, sulit reformasi akan dapat berjalan. Dan reformasi tahap pertama sebaiknya fokus pada “Reformasi Struktural di bidang ekonomi’.(penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri)

CATEGORIES
TAGS