Pembubaran KPK Hanya Soal Waktu

Loading

Laporan: Redaksi

Ilustrasi

JAKARTA, (TubasMedia.Com) – Pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya soal waktu saja. Sebab menurut praktisi hukum Luhut MP Pangaribuan, KPK harus dibubarkan bila memang tugasnya sudah selesai. Karena sesuai dengan undang-undang lembaga ad hoc penegakan hukum ini adalah temporer dan tidak ditentukan sampai kapan berlakunya.

Walau pun Luhut tidak merinci sampai kapan pembubaran ini, namun ditegaskan, KPK bisa dibubarkan kalau memang korupsi di Indonesia sudah bisa diatasi. “Kalaupun tidak ditegaskan kapan KPK dibubarkan, tetapi sebaiknya korupsi selesai dululah diberantas,” katanya kepada tubasmedia.com, Rabu (8/8) di Jakarta.

Sesuai dengan era reformasi, diharapkan KPK menjadi salah satu tumpuan wujud reformasi untuk perubahan di Indonesia. Namun karena berbagai kepentingan dan lain-lain, justru KPK menjadi sorotan dan perdebatan di negara ini. Malah akibat dari berbagai masalah tersebut, beberapa politisi seperti Fahri Hamzah pernah melontarankan agar membubarkan KPK.

Ini dicetuskan dengan alasan KPK dan Polri serta Kejaksaan dalam memberantas korupsi tidak kompak. Padahal, KPK dibentuk untuk bersama dengan kepolisian dan kejaksaan memberantas korupsi. Tapi kenyataannya, ada ketidakkompakan yang sangat dahsyat seperti yang terjadi saat ini perseteruan antara kepolisian dengan KPK yang masih menjadi sorotan publik.

Pernyataan tentang pembubaran KPK masih terus bergulir dan mengundang kontroversi, ada yang setuju, tetapi banyak yang juga mencela dengan tuduhan anti pemberantasan korupsi. Termasuk Ketua DPR, Marzuki Alie juga pernah sependapat bahwa KPK lebih baik dibubarkan dengan alasan bila orang-orang yang duduk di lembaga ad hoc penegakan hukum ini tidak kredibel.

Hal yang sama juga dikatakan pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti bahwa lembaga ad hoc ini masih kurang dipercaya dan kenyataannya, hingga saat ini belum membawa perubahan juga. “Jadi, lebih banyak manuver politik daripada memberantas korupsi,” katanya kepada tubasmedia.com, Rabu (8/8) di Jakarta.

Dalam situasi seperti sekarang ini menurut Rangkuti, dengan berbagai dinamika politik mutakhir termasuk dalam lingkaran Partai Demokrat, kepentingan bersama yang perlu dikawal serta memastikan KPK tidak terseret pada tarik-menarik politik di tubuh partai politik.

Semua harus mengawal KPK agar tidak terpengaruh dengan dinamika politik internal partai manapun dengan cara memastikan bahwa siapa saja yang nyata-nyata dan terang terlibat tindak pidana korupsi haruslah dimintai pertanggungjawaban. Jika tidak ada bukti cukup keterlibatan seseorang dalam kasus tertentu, KPK tidak perlu memaksakan diri menjeratnya dengan pasal-pasal anti korupsi.

Selanjutnya Luhut mengakui bahwa dana yang dipergunakan KPK untuk satu kasus hingga pengadilan sangat besar bila dibandingkan dengan penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan. “Yah apa yang dikatakan orang bahwa dana yang dipergunakan KPK masih jauh perbandingannya dengan hasil yang telah dikerjakan,” katanya.

Seandainya dana yang dipergunakan oleh penegak hukum lainnya sama dengan yang dihabiskan KPK, kemungkinan masing-masing bisa membuahkan prestasi yang sama. Namun, yang pasti dikatakan, KPK saat ini sudah mampu mengebor tembok-tembok sehingga sanggup menjebloskan pejabat-pejabat yang korupsi termasuk menteri.

Uang yang di korupsi memang besar. Biaya yang telah dikeluarkan untuk mengurus kasus korupsi dan hasil dari pengeluaran biaya tersebut belum sebanding. Seperti diketahui, KPK akan menangani kasus korupsi minimal 2 milyar. Kalau APBN mengeluarkan 500juta perkasus, maka biaya pengurusan bongkar kasus saja sudah 1/4 dari nilai kasus ditambah dengan gaji KPK (Ketua 70j/bln, anggota 60j/bln. Jadi cukup besar juga biaya membongkar satu kasus.

Dari segi anggaran, sejak tahun 2004, kenaikan anggaran KPK sangat signifikan. Sampai-sampai ada anggaran pembentukan opini untuk citra baik KPK untuk terwujudnya citra positif sebesar KPK Rp12 miliar. Selain itu, KPK juga memiliki mata anggaran pembentukan komunitas antikorupsi. Untuk 31 komunitas, KPK menyediakan dana hingga Rp10 miliar. Padahal anggaran supervisi dan koordinasi relatif kecil dibandingkan anggaran tersebut. Sejak tahun 2004 hingga 2011, anggaran tahunan KPK dimulai sekitar Rp100 miliar dan kini menjadi Rp800 miliar.

Untuk dana penyelesaian kasus, KPK jauh meninggalkan Kepolisian dan Kejaksaan. Dengan kasus Wali Kota Bekasi non aktif, Mochtar Muhammad yang divonis bebas Pengadilan Tipikor Bandung membuat Golkar mendesak DPR agar melakukan audit kinerja KPK. Sebab menurut Bambang, DPR selalu meningkatkan anggaran untuk KPK. Tahun 2011 KPK mendapat dukungan anggaran maksimal yakni Rp575 miliar. Jumlah itu naik tinggi dibandingkan 2010 yang hanya Rp398 miliar. Sedangkan untuk tahun 2012 naik lagi menjadi Rp635 miliar.

Bambang menjelaskan, khusus untuk penanganan perkara 2011, KPK diberi anggaran Rp170 miliar atau rata-rata perkasus Rp400 juta. Tahun 2012 disetujui peningkatan biaya perkara KPK menjadi Rp736 juta per kasus mulai lidik (penyelidikan), sidik (penyidikan) sampai penuntutan.

Sangat jauh bila dibandingkan dengan anggaran penanganan korupsi di Polri yang hanya Rp37,8 juta per kasus untuk 2011 dan Rp 68 juta per kasus untuk 2012, serta Kejaksaan Rp 48,6 juta per kasus untuk 2011 dan Rp81 juta per kasus untuk 2012.

Seperti diketahui, data 2010 menunjukkan, dari 50 kasus yang dilidik KPK hanya 24 kasus yang disidik dan hanya sembilan kasus yang masuk pengadilan. Kasus korupsi yang dilidik Polri, dari 43 kasus 22 kasus disidik dan 15 kasus masuk pengadilan. Di kejaksaan, dari 66 kasus korupsi yang dilidik, 66 kasus disidik dan 28 masuk pengadilan. Sementara itu kasus besar seperti skandal Century tidak jelas hingga saat ini. (aru)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS