Pembinaan UMKM Kacau, Terlalu Banyak Nakhoda

Loading

Laporan: Redaksi

Ilustrasi

Ilustrasi

JAKARTA, (TubasMedia.Com) – Apa jadinya jika dalam satu kapal ada lebih dari satu nakhoda? Satu nakhoda minta layar dikembangkan, nakhoda lain minta putar haluan ke kiri dan nakhoda yang lain lagi, mungkin minta merapat sebentar ke dermaga terdekat. Perintah ganda tersebut, tentu malah mendatangkan kebingungan bagi awak kapal yang akan mengeksekusi perintah.

Kondisi seperti itulah yang terjadi di antara para pemegang kebijakan yang berfungsi membina dan mendorong usaha kecil menengah (UMKM) di negara kita ini. Ada enam kementerian/lembaga yang mendapat tugas menjadi pembina UMKM, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Perdagangan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Keenam instansi pemerintah ini bergerak di bawah komando Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Meski sudah mencetuskan diri sebagai pembina UMKM, sejumlah kalangan menilai kelompok pembina ini belum maksimal menjalankan perannya. Tak ada sinergi program satu dengan program yang lain, menyebabkan masing-masing kementerian dan lembaga berjalan sendiri. Bahkan, terjadi tumpang-tindih kebijakan.

Deputi Kepala BPPT Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi, Tatang Akhmad Taufik membenarkan kekacauan tersebut. Kalau pun ada keterkaitan program, jumlahnya tak banyak. Namun, dia beralasan, itu terjadi karena keterbatasan biaya. BPPT, misalnya, harus mengeluarkan biaya sendiri hingga Rp 5 miliar tahun lalu untuk mendanai inkubator bisnis (inbis) bernama Balai Informasi Teknologi (BIT).

Dana tersebut jelas minim, mengingat UMKM tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Akibatnya, jangkauan BIT terbatas. Menurut Tatang, semestinya ada sinergi program yang dijembatani dengan program nasional. Jadi, semua tugas dan kewajiban setiap kementerian dan lembaga, bisa terpetakan dengan jelas.

Direktur Eksekutif Small and Medium Enterprise Development Center Universitas Gadjah Mada (SMEDC UGM), Gatot Murdjito menilai, akibat kerja yang tidak sinergis, beberapa pembiayaan untuk UMKM tidak tepat sasaran. Contoh, UMKM yang sudah besar justru mendapat suntikan dana, sedangkan yang masih berkembang justru tidak. “Kalau bisa saling mempunyai data yang bagus, perguruan tinggi juga bisa membantu ikut memeratakan pembiayaan tersebut,” kata Gatot.

CEO UMKM Center Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Nining I. Soesilo mengatakan, selama bergerak membina UKM, lembaganya tak mendapati sedikit pun peran pemerintah. Pemerintah tak memberikan ruang gerak yang luas bagi UMKM untuk menggelar dagangan, meski untuk pasar dalam negeri.

Nining mencontohkan, untuk wilayah Jakarta saja, UMKM hanya diberi ruang di tempat yang tidak strategis. Sebut saja, gedung Small Medium Enterprise Company (SMESCO) yang sepi pengunjung. Sementara, jika ingin mengajukan diri memasukkan produk di tempat strategis, seperti mal besar atau hotel, lebih banyak ditolak.

Buntut dari peran pembina yang tak optimal, kualitas UMKM dalam negeri tiarap dibandingkan dengan negara tetangga. Kepala Pusat Inkubator Bisnis dan Pengembangan Kewirausahaan Institut Pertanian Bogor (IPB), Memen Surahman berkisah, ketika berkunjung ke Thailand, ia melihat pemerintah Negeri Gajah Putih itu memberi perhatian besar bagi UMKM.

Sepanjang tahun 2013 sampai 2015, Thailand bakal membiayai lima juta UMKM melalui lembaga inbis. “Mereka bilang, dari jumlah segitu kalau bisa sukses menjadi UMKM berkualitas sebanyak 10% saja alias 500.000 UMKM, maka sudah bisa bersaing ke ASEAN,” tutur Memen.

Bandingkan dengan pemerintah kita yang hanya menargetkan 25 inbis dengan masing masing beranggotakan 40 UKM. Itu berarti, tiga tahun lagi hanya akan menghasilkan sekitar 5.000 UKM. Memen menambahkan, di Thailand, satu UMKM mendapat pembiayaan sebesar Rp 300 juta dengan bunga hanya 2% per tahun. Thailand juga optimistis dan tak khawatir dengan risiko kredit macet.

Penilaian kualitas UMKM kita yang minim, juga tercetus dari Ketua Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali), Levita Supit. Dia menganggap UMKM tanah air masih punya banyak kekurangan dari sisi kualitas dan pengetahuan legalitas membuka usaha.

Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Kementerian Perindustrian, Euis Saedah menambahkan, UMKM kita juga masih lemah terhadap akses permodalan, hak kekayaan intelektual, deregulasi, dan fasilitas ekspor. Kelemahan lain dari UMKM Indonesia, terletak pada manajemen usaha dan kontinuitas pasokan bahan baku.

Lantaran kualitas minim, tak heran nada pesimistis bahwa Indonesia sebenarnya belum siap membuka keran globalisasi ASEAN pun muncul. Sebelum membuka pasar bebas, pemerintah mestinya mengupayakan dulu UMKM lokal mencari pasar di dalam negeri. Ambil contoh, dengan membuat kebijakan yang mewajibkan mal-mal besar memberikan ruang bagi UMKM memajang produknya.

Namun, tak semua pihak kompak mengakui kelemahan UMKM dalam negeri. Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UMKM Kementerian Koperasi dan UMKM, I Wayan Dipta memastikan, UMKM kita siap tempur. Ia juga meyakinkan, pemerintah sudah melakukan upaya maksimal, mulai dari membina UMKM hingga menemukan pasar. Ini terjadi tatkala pemerintah mengajak para UMKM untuk pameran di beberapa negara. Dia juga menampik anggapan miring soal tak ada sinergi antara pembina UMKM di kalangan pemerintah. (anthon)

TAGS

COMMENTS