Kewenangan Dibagi-bagi, Tapi Indonesia Tak “Bergerak”

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

JUDUL ini menyoroti sistem kelembagaan pemerintah sebagai regulator dan pelayanan publik. Seluruh komponen bangsa telah bertekad bulat bahwa setelah 68 tahun merdeka Indonesia harus berhasil membangun dirinya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Berhasil pula untuk dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di segala bidang, sebagai negara yang berdaulat, sehingga tidak “terjajah” kembali.

Pemerintah diberi mandat dan kewenangan untuk mengatur dan melayani seluruh kebutuhan masyarakat agar tujuan tersebut dapat tercapai. Tapi, banyak catatan kritis yang perlu disampaikan di seputar masalah berbagi-bagi kewenangan ini. Apakah kewenangan yang dibagi habis tersebut telah membuat Indonesia dapat bergerak maju atau hanya maju-mundur, atau malah maju kena mundur kena. Fenomena “hipotesis” ini sengaja dilemparkan agar kita mendapatkan perspektif tentang apa yang sejatinya terjadi dengan bagi-bagi kewenangan ini.

Catatan kritis yang pertama adalah bagi-bagi kewenangan ini bersumber dari proses politik di DPR, yakni tatkala sebuah produk undang-undang dirancang (oleh pemerintah/DPR), dibahas dan disahkan. Secara indikatif, substantif, dan administratif, kewenangan pangkal suatu kementerian/lembaga, baik di pusat maupun daerah pada umumnya, dalam undang -undang yang bersangkutan sudah dinyatakan secara eksplisit. Mekanisme dan tata kerjanya biasanya akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Dengan urut-urutan standar yang seperti itu, maka lengkaplah suatu kementerian/lembaga pemerintah di republik ini akan melayani kebutuhan masyarakat, sesuai dengan kewenangan. Akan diimplementasikan seperti apa, tata caranya melayani masyarakat sangat bergantung pada kebijakan institusi yang bersangkutan,termasuk apakah akan “dipersulit” atau “dipermudah” urusannya.

Kedua, tidak semua urusan dapat diselesaikan dalam satu kementerian/lembaga, karena kewenangan untuk itu, berdasarkan undang-undang ditangani oleh kementerian/lembaga yang berbeda. Maka, berdasarkan mekanisme dan tata cara yang berlaku di institusi tersebut ada sejumlah urusan yang harus dikerjakan untuk melayani masyarakat. Mau “dipersulit” atau “dipermudah” sistem pelayanannya juga sangat bergantung pada kebijakan instansi yang bersangkutan.

Standar Pelayanan

Ketiga, akibatnya, sebagai contoh, jika seorang investor akan berinvestasi di sektor industri pengolahan jagung, maka urusannya tidak akan segera beres hanya di satu kementerian/lembaga, misalnya, Kementerian Perindustrian, tetapi yang bersangkutan harus berurusan dengan kementerian/lembaga terkait di pusat/daerah yang sudah barang tentu standar pelayanannya berbeda satu sama lain.

Misalnya, izin untuk pengembangan tanaman jagung adalah kewenangan Kementerian Pertanian. Untuk izin pemanfaatan lahan harus ada izin dari daerah. Izin untuk bisa mengimpor jagung, karena produksi dalam negeri tidak cukup, harus ada izin dari Kemendag. Jika investasinya harus mendapatkan tax holiday maka kewenangannya ada di Kementerian Keuangan.

Begitulah gambaran sekilas tentang konsep bagi-bagi kewenangan yang berlaku di negeri ini. Beberapa waktu yang lalu kita dapat melihat sendiri ketika Indonesia mengalami kekurangan pasokan bahan pangan, proses keputusannya, apakah harus segera diimpor, tidak dapat dengan cepat diputuskan, karena sebagian kewenangannya berada di Kementan dan sebagian lagi di Kemendag.

Akibatnya sudah kita rasakan, inflasi akibat kenaikan harga bahan pangan menjadi “liar”, karena proses eksekusinya terlambat. Jika prosesnya berjalan normal mungkin tidak begitu masalah, tapi kalau kewenangannya menjadi ada yang tumpang-tindih, pelayanan kepada masyarakat pasti akan menjadi masalah.

Problemnya adalah Indonesia sudah membuka diri untuk menjadi lahan yang subur untuk investasi. Sudah menempatkan diri sebagai pusat produksi dan distribusi produk manufaktur di dunia. Tetapi, pelaksanaan pelayanan masyarakat masih menjadi hambatan akibat kewenangan itu sudah sedemikian “terbagi habis di berbagai kementerian/lembaga menurut undang-undang, yang tidak bisa diubah, kecuali undang-undangnya harus diubah.

Pertumbuhan ekonomi, akselerasi penciptaan nilai tambah ekonomi terhambat oleh regulasi dan kewenangan yang berlapis di pusat maupun di daerah. Kemajuan Indonesia terganjal sendiri oleh sistem kelembagaan yang dibangunnya. Jadi, pergerakan pembangunan ekonomi di Indonesia lajunya seperti siput alias bergerak lambat.Sektor riilnya tumbuh lambat, tapi sektor jasanya tumbuh relatif cepat. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS