Kemenperin Harus Menjalankan Fungsi Marketing dengan Baik

Loading

IMG_0009

Oleh: Fauzi Aziz

DALAM 20 tahun mendatang, (2015-2035), Indonesia berketetapan menjadi negara industri tangguh. Ambisi yang sangat luar biasa dan semoga realistik. Gambaran makronya tahun 2035, pertumbuhan sektor industri non migas diproyeksikan mencapai 10,5%. Capaian tahun 2015 adalah 5,04% yang berarti pertumbuhan yang diproyeksikan tahun 2035 hanya dua kali dari pertumbuhan tahun 2015.

Sebagai perbandingan, selama periode 1965-1980 industri tumbuh 12% (di atas pertumbuhan ekonomi 7%) dan naik menjadi 12,7% pada periode 1980-1989, di atas pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%. Tanpa harus dianalisa lebih jauh, nampaknya pemerintah menyadari bahwa melaksanakan industrialisasi pada dewasa ini tantangannya tidak ringan, sehingga target pertumbuhan yang dipatok cenderung bersifat moderat.

Mencapai target dua digit disadari memerlukan energi besar untuk meraihnya. Oleh sebab itu pelaksanaan industrialisasi harus terpimpin dengan baik. Terpimpin strateginya dan terpimpin pula kebijakan dan progamnya, serta pelaksanaannya. Terpimpin berarti memerlukan manajemen dan kepemimpinan yang kuat.

Sesuai dengan amanat UU nomor 3 tahun 2014 tentang perindustrian pasal 5, kepemimpinan pelaksanaan pembangunan industri oleh presiden didelegasikan kepada Menteri Perindustrian. Menteri diberi kewenangan pengaturan, pembinaan dan pengembangan sektor industri di Indonesia.

Makna penugasan ini bersifat mendalam dan bersifat strategis karena industri diharapkan menjadi penghela pertumbuhan ekonomi. Di tingkat taktis dan operasional berarti di tangan Menteri Perindustrian, proyek-proyek industri prioritas nasional harus dibangun. Tanpa ada realisasi pembangunan pabrik baru dalam berbagai skala usaha, maka sulit diharapkan target pertumbuhan tercapai.

Tim organisasi dan manajemen di Kemenperin memikul tanggungjawab yang berat dalam merealisasikan proyek-pro yek industri. Presiden sebagai pemberi delegasi hanya berharap kepada Menteri Perindustrian selaku Chief Operational Officer (COO) dapat menjalankan mandatnya dengan baik.

Manajemen dan kepemimpinan dalam pelaksanaan industrialisasi berarti menempatkan Kemenperin bertindak sebagai lokomotif penggerak perbaikan kebijakan dan regulasi yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah. Secara strategis dalam konteks kepemimpinan berarti Kemenperin harus bertindak sebagai “Influ encer” atau menjadi pemimpin perubahan karena hakekat industrialisasi adalah melaksanakan perubahan.

Ini tantangan tidak mudah yang harus dilalui karena karakter dasar pembangunan industri hakekatnya harus dilaksanakan secara by design dan tidak bisa dilaksanakan dengan melepaskan pada mekanisme pasar. Kemenperin berarti bertindak sebagai driver dan memerlukan sejumlah co-driver yang bisa berperan sebagai jangkar dalam mengawal pelaksanaan pembangunan industri di berbagai wilayah atau di berbagai koridor ekonomi.

Organisasi dan manajemen di lingkungan Kemenperin di bawah kepemimpinan menteri sebagai COO harus menjalankan fungsi marketing dengan baik yang mempunyai misi utama memasarkan RIPIN dan KIN agar bisa berubah menjadi pabrik-pabrik baru di berbagai wilayah tanah air.

Banyak Pilihan

Sekarang yang diperlukan memasarkan dan menjual RIPIN dan KIN kepada para pengembang industri, baik di dalam negeri maupun di kawasan regional dan global. Upaya ini yang kita sebut sebagai upaya by design. Mengapa harus demikian strategi marketingnya? Hal ini disebabkan karena para investor mempunyai banyak pilihan untuk melakukan investasinya.

Para investor cenderung memilih investasi yang yieldnya tinggi dengan resiko yang relatif rendah. Sementara itu, investasi di sektor industri memerlukan dana yang tidak kecil, resiko relatif tinggi dan returnnya relatif lama. Mereka lebih memilih bersikap wait and see jika iklimnya tidak bersahabat, kepastian hukumnya tidak terjamin.

Pilihan-pilihan ini harus difahami pemerintah. Menarik investasi di sektor industri berarti konsumen utamanya adalah industriawan, bukan pedagang. Kalau industriawan pasti akan mau membangun pabrik. Jika pedagang yang ditawari, maka dia pasti akan bertanya dimana lokasinya kalau membangun pusat logistik berikat.

Industrialisasi nampaknya perlu semacam wilayah tax heaven. Kawasan industri tertentu nampaknya patut dipertimbangkan menjadi kawasan tax heaven seperti Malaysia mengembangkan di Labuhan di negaranya. Industrialisasi memerlukan inovasi kebijakan sehingga kemampuan sumber daya manusia untuk menjadi analis industri dan analis kebijakan menjadi keniscayaan.

Kepemimpinan dalam industrialisasi memang memerlukan tokoh berkarakter sebagai “Influencer”, bukan sekedar administratur. Paradigmanya adalah aktif dinamis dan adaptif. Bandul ekonomi telah bergeser dari supply driven menuju demand driven. Karena itu, kebijakan industri harus pro pasar. Pabrik-pabrik baru yang didirikan sebaiknya tidak perlu lagi dibedakan wilayah pasarnya, apakah dalam negeri atau luar negeri.

Industri yang dibangun harus berskala dunia (world wide) agar efisiensi internalnya bisa dicapai karena kapasitas produksinya besar. Industrialisasi yang dilaksanakan harus diarahkan agar bisa bergabung ke dalam jaringan produksi global sebab kalau tidak masuk ke dalam sistem tersebut, biaya investasi dan biaya operasionalnya akan mahal.

Industri dikembangkan sejatinya bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk berkolaborasi dan beraliansi. Industrialisasi lebih mengenal konsep division of labour dari pada mengambil sikap lonely. Jadi, dalam kawasan Asean yang perlu didorong adalah kerjasama industri (industrial cooperation) yang konsep dasarnya tunduk pada prinsip pembagian kerja internasional (international division of labour).Langkah ini hanya bisa dilakukan bilamana pelaksanaan industrialisasi di negeri ini benar-benar terpimpin. (penulis adalah pemerhati masalah ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS