Kebijakan Publik Tidak Boleh Dibongkar Pasang Seenaknya
Oleh: Fauzi Aziz
Fauzi Aziz
INI sebuah catatan pendek bagi para pembuat kebijakan publik di negeri ini, baik yang berkecimpung di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Visi dan misi setiap kebijakan publik harus bersifat clear and clear dilihat dari kepentingan bangsa dan negara dan kepentingan publik itu sendiri.
Secara ideal, tidak boleh ada sedikit pun unsur kepentingan yang bersifat ganda (double standard). Faktor code of conduct harus selalu terakomodasi secara inheren dalam proses dan hasilnya agar outcome dan dampaknya tidak menimbulkan persoalan baik secara politik, sosial, ekonomi, budaya dan keamanan.
Perspektif tinjauannya harus luas dan dalam, baik ditinjau dari geopolitik dan geostrategik. Para penyusun kebijakan publik harus berpengetahuan dan berwawasan luas. Secara akademik, secara politik dan hukum, produknya harus benar-benar teruji. Manakala diimplementasikan, tidak menimbulkan komplikasi dan bias politik, hukum dan tatanan kehidupan publik yang akan berujung merugikan, bahkan bisa fatal bagi kepentingan bangsa dan negara saat ini dan ke depannya.
Oleh sebab itu, para perumusnya wajib memahami aspek kesejarahan, kekinian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta kondisi ke depannya dalam jangka panjang (10-50 tahun), meski pun dalam dunia sekarang menghadapi fenomena bahwa yang pasti itu adalah ketidakpastian. Cerdas, bijaksana dan cermat dan berintegritas tinggi merupakan syarat minimal yang harus dipenuhi para pembuat kebijakan publik.
Seenaknya
Tidak boleh kebijakan publik dibongkar-pasang seenaknya demi kepentingan tertentu atau bahkan tidak memiliki tujuan yang jelas. Alasan pembenarannya yang sering kita dengar adalah; “apa yang tidak bisa diubah, kecuali Alqur’an dan Alkitab”. Kampungan!!! Konyol alasan seperti ini untuk dijadikan pembenaran dan sangat tidak prudent, pragmatis dan banyak kecerobohan baik sengaja maupun tidak desengaja.
Contoh terakir yang lagi ramai soal isu jual beli pulau. Menurut Bambang Pranowo, guru besar UIN Jakarta (Gatra 3 Oktober 2012), bahwa menjual pulau berdasarkan Undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau kecil “dimungkinkan”.
Kalau benar pengaturannya seperti itu, maka harus cepat di-judicial review oleh Mahkamah Konstitusi. Kalau benar semangat pengaturan seperti itu betul terjadi, ini namanya blunder konstitusional. Rasanya hal yang serupa bisa saja terjadi dalam peraturan perundangan yang lain yang proses penyusunannya tidak prudent dan tidak steril atau bebas kepentingan.
Tidak Bermartabat
Sangat tidak bermartabat dan tidak berperadaban kalau semangat membuat kebijakan publik yang landasannya sempit, dangkal dan tidak steril dari kepentingan sempit yang arogan dan sarat dengan kepentingan yang bersifat transaksional.
Rencana DPR untuk merevisi Undang-Undang tentang KPK adalah juga contoh lain betapa DPR sebagai lembaga yang memiliki kewenangan legislasi, berfikir seenaknya sendiri tanpa pernah berfikir sehat dan jernih bahwa korupsi itu sudah menjadi kehendak seluruh warga bangsa sebagai perbuatan melanggar hukum dan etika yang harus ditindak tegas tanpa pandang bulu.
Astagfirullah, menyakitkan sekali kalau kualitas anggota dewan masih seperti itu meskipun tidak semuanya berkualitas KW. Nista sekali sikap politiknya. Semoga mereka semua sadar dan kembali ke jalan yang benar. Ada baiknya MK bersama pemerintah dan DPR ke depan melakukan kerja besar untuk meneliti dan mengkaji kembali seluruh peraturan perundangan nasional, baik yang nyata-nyata ditemukan materi dan substansinya dibuat dengan cara yang ceroboh, maupun yang potensial bisa diindikasikan dirumuskan dengan cara yang sama.
Oleh sebab itu pula, adanya gagasan untuk melakukan revisi terhadap UUD 1945, sebaiknya yang punya syahwat politik untuk merevisi konstitusi dapat mengurungkan niatnya. Maka dari itu, jangan grusa-grusu dan bersifat ceroboh dalam membuat kebijakan publik di negeri ini. Kita masih ingin hidup 1.000 tahun lagi di negeri ini. ***