Isu dan Kontra Isu Dikapitalisasi Melalui Sosmed

Loading

index2

Oleh: Fauzi Aziz

 

NEGERI ini lagi mabuk kepayang menjadi korban globalisasi, demokratisasi dan digitalisasi. Manfaat dan mudla-rat tercampur aduk sampai warna dan bentuk aslinya menjadi tidak jelas. Kebebasan menjadi “liar”. Indonesia sebagai negara hukum diguncang tsunami pelanggaran hukum yang masif dan terjadi dimana mana di bergai bidang kehidupan.

Tata krama komunikasi dan interaksi publik kacau balau. Tata krama dilanggar habis-habisan, tidak bisa direm. Penggorengan isu terjadi 24 jam melalui sosmed. Begitu pula kontra isunya “tak kalah liar” muncul secara vulgar di sosmed juga pada saat bersamaan.

Luar biasa negeri ini dibuat terbulance yang saban hari terjadi silih berganti. Isu dan kontra isu menjadi trending to pics. Rating media akan naik, bila mau ikut menggoreng isu. Wajar kalau Komite Penyiaran Indonesia mengingatkan kepada media mainstrem, koran, majalah dan televisi tidak terpancing untuk mengkapitalisasi isu yang sumbernya tidak jelas dan bergerak liar di sosial media.

Efek bola salju terus bergulir merambah ke sudut- sudut kesadaran manusia Indonesia di seluruh pelosok tanah air. Isu kontra isu telah terkapitalisasi tanpa kendali. Bursa paling ramai pengunjung adalah bursa isu kontra isu yang difasilitasi oleh sosial media.

Kapitalisasi pasarnya bisa mengalahkan kapitalisasi pasar di pasar modal dalam negeri. Isu picisan dan murahan sampai isu yang berbobot karena suka dibumbui dengan kalimat informasinya A1, maka semakin tinggi kapitalisasinya makin tinggi.

Inilah sisi-sisi kehidupan yang tidak tertangani dengan baik oleh penyelenggara negara ketika “di pasar” terjadi “perang isu”. Padahal di pasar yang sebenarnya, perang dagang atas barang dan jasa sudah jarang terjadi karena ada kesadaran bersama bahwa jika dibiarkan akan bisa terjadi perang fisik atau perang senjata.

Karena itu, lembaga WTO dibentuk. Forum seperti APEC, G-20 dan se bagai diselenggarakan untuk bisa menjaga stabilitas ekonomi dunia.

Indonesia mengalami anomali luar biasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politiknya dinamis, tapi tak pernah terkonsolidasi. Hukumnya masih distigma oleh suara hantu tumpul di atas dan tajam di bawah. Perilaku sosialnya sedang bergejolak dan bergerak menuju ruang maya berperang isu dan kalau dibaca satu persatu sangat mengerikan isinya. Kebebasan menebar isu sepertinya “dilindungi” oleh para pihak yang terlibat.

Ilustrasi mengenai Indonesia dari sisi gelapnya adalah bahwa negeri ini tengah diselimuti awan gelap karena ecosyistemnya terganggu dan rusak. Awan gelap ini, kini melanda lingkungan sosial, karena masyarakat atas, menengah dan bawah terlibat langsung dalam pergosipan nasional di ranah politik, hukum dan ekonomi, dan alat utama yang digunakan adalah sosmed untuk memproduksi isu dan para produsennya berharap terjadi kontra isu.

Asyik bermain isu, akhirnya menjadi maniak untuk memproduksi isu, apalagi di balik itu ada bohirnya. Sebagian besar isu yang beredar di sosmed selain mengerikan dan kontra produktif, ini menjadi pembuka jalan perpecahan. Tidak usah jauh-jauh takut pecahnya NKRI. Perpecahan kecil di lingkungan keluarga jauh lebih menakutkan. NKRI pilarnya adalah keutuhan di lingkungan keluarga dan yang bertanggungjawab adalah kepala keluarga, bukan negara/pemerintah. Penguasa tunggalnya adalah kepala keluarga. Sehubungan dengan itu, hal yang muncul di sosmed ada faktor keisengan, penjahilan, bermain- main dan karena keseringan akhirnya berhasil menjadi produsen isu yang handal.

Ekses ini yang perlu dicegah jangan gunakan sosmed sebagai alat propaganda murahan ,penebar fitnah, gosip dan isu. Mari kita redam sama-sama jika kita mendambakan kedamaian dan perdamaian. Perang isu harus dihentikan karena bisa menjadi barometer di tataran strategis dan taktis untuk menghancurkan Indonesia karena struktur sosial masyarakatnya rapuh.

Alutsista boleh modern, tapi kalau fondamental dan struktur sosialnya rapuh dan rusak, maka menghancurkan Indonesia tidak perlu dilakukan dengan perang militer, cukup dengan mengalahkannya melalui perang di dunia maya. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).

CATEGORIES
TAGS