Saatnya Merekonstruksi Kebijakan Ekonomi

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

SUDAH sangat urgent dan mendesak, negara perlu melakukan upaya sistematis dan fondamental merekonstruksi kebijakan ekonominya agar bangsa ini bisa keluar dari belenggu paradoks pertumbuhan, yang secara politis banyak “digugat” karena dinilai sangat liberal, tidak dibangun berdasarkan grand design.

Tidak mengapa gugat menggugat dimunculkan di ranah publik asalkan pada akhirnya bisa mengkristal dan mengerucut pada satu kondisi, dimana seluruh komponen bangsa menyadari dan rela membangun konsensus dan kesepakatan untuk merekonstruksi kebijakan ekonomi nasional.

Kalau terus kita perdebatkan pasti tidak pernah akan menghasilkan apa-apa karena sudut pandangnya pasti akan selalu berbeda prespektifnya, baik secara obyektif maupun subyektif, sehingga diperlukan konsensus dan kemufakatan baru. Isu kebijakan tidak pernah berbicara soal benar atau salah, tapi setiap kebijakan dituntun harus dapat menjawab dan sekaligus mengkoreksi hal-hal yang selama ini dinilai belum menghasilkan output maksimal yang bisa membuahkan outcome dan dampak maksimal dari aspek perubahan yang menjadi sasaran dan tujuan kebijakan pada kurun waktu tertentu.

Dalam konteks kebijakan ekonomi Indonesia, output ekonomi yang dihasilkan selama ini bisa saja kita nilai “melenceng” karena secara umum belum mampu menghasilkan kemandirian ekonomi, ketahanan dan daya saing perekonomian serta kesejahteraan sosial.

Merekonstruksinya harus tetap mengacu UUD 1945. Implementasinya adalah harus menghasilkan sebuah bangunan ekonomi Indonesia yang secara fondamental strukturnya kuat. Kebijakannya harus bisa menghasilkan output ekonomi yang seimbang antara sektor tradable dan sektor non tradable.

Pasal 33 UUD 1945 memang secara eksplisit tidak mengarahkan agar terjadi titik keseimbangan itu, tetapi secara tersirat pesan politiknya sangat mendorong agar sektor-sektor produksi dikembangkan, dikapitalisasi sumber daya alamnya secara efisien agar bernilai tambah tinggi di dalam negeri dan manfaatnya dipergunakan mensejahterakan dan memakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Dalam bahasa ekonomi pembangunan secara mudah dapat dikatakan bahwa output ekonomi yang dihasilkan oleh negara ini belum bisa mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan. Publikasi BPS tentang capaian kinerja ekonomi tahun 2012 bisa menjadi bukti bahwa kebijakan ekonomi Indonesia perlu di design ulang.

Maksudnya agar bisa menjawab pesan politik yang diamanatkan dalam pasal 33 dan 34 UUD 1945 dan sekaligus mencapai tujuan bernegara yang landasan utamanya adalah demokrasi ekonomi. Tahun 2012, sektor pertanian, perikanan, kehutanan dan perikanan hanya tumbuh 3,97%. Sementara itu, bangsa ini berobsesi mau membangun kedaulatan pangan dan tidak bergantung impor barang dan bahan pangan.

Pertambangan dan penggalian tumbuh hanya 1,49%. Obsesinya mau membangun kedaulatan energi. Industri pengolahan tumbuh 5,73%, obsesinya mau menjadi negara industri maju baru yang tangguh.

Ketiga capaian kinerja sektor tradable itu sendiri juga terjadi paradoks, yakni antara cita-cita dan kebijakan yang dihasilkan tidak seiring dan sejalan. Dalam proses merekonstruksi kebijakan ekonomi Indonesia, khususnya agar pembangunan sektor ekonomi tradable dapat tumbuh mengesankan nampaknya pilar kebijakannya harus by design.

Artinya dirancang secara khusus, dimanajemeni dengan efisien, efektif dan terpimpin secara kuat. Ketiga sektornya harus terkoneksi dalam satu proses rantai nilai yang panjang dan untuk menghasilkan nilai tambah yang makin besar. Pesan ini memberikan indikasi bahwa kebijakan di sektor tradable di samping harus berada dalam satu rantai nilai kebijakan di antara ketiganya, juga harus berada dalam satu jalur rantai nilai kebijakan di sektor investasi, perdagangan dan infarstruktur fisik dan non fisik.

Semoga bermanfaat untuk lahirnya Indonesia baru yang makin dewasa, maju dan bermartabat. Di bidang ekonomi, tunas bangsa menghendaki agar kebijakan ekonomi perlu direkonstruksi. ***

CATEGORIES

COMMENTS