Cilaka Dua Belas Jika Indonesia tidak Punya Industri Maritim
Laporan: Redaksi

Ir. Soerjono, MM
JAKARTA, (TubasMedia.Com) – Jika Indonesia sampai tidak memiliki industri maritim yang mapan dan mandiri, itu keterlaluan. Bahkan saya katakan cilaka dua belas. Ingat, negara kita ini negara kepulauan yang dihubungkan oleh laut, bukan dipisahkan ya, tapi dihubungkan. Artinya, laut sebagai penghubung antar pulau harus kita urus.
Demikian diungkapkan Ir. Soerjono, MM, Direktur Industri Maritim, Kedirgantaraan dan Alat Pertahanan, Ditjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT) Kementerian Perindustrian kepada pers di Jakarta, Kamis.
Alat penghubung menurutnya, bisa jembatan besi tapi juga bisa kapal laut dan untuk mengadakan kapal laut harus dipastikan oleh kebijakan para pemangku kepentingan di negeri ini, apakah kapal impor atau kapal buatan Indonesi\a. ‘’Ini yang belum ada dan belum jelas kebijakannya,’’ lanjut Soerjono.
Kalau Indonesia harus mengoperasikan kapal impor, ya silakan tapi harus melalui kebijakan yang pasti. Tapi ingat, katanya, kalau kita operasikan kapal impor, kita juga harus siapkan sarana untuk perbaikan. ‘’Jangan lagi kita sevis ke luar negeri, ini pemborosan,’’ tegasnya.
Namun dia sebut, jika Indonesia yang negara kepulauan ini mengoperasikan kapal impor sebagai alat transportasi laut, adalah aneh dan untuk seterusnya akan menuai kerugian, baik dari segi finansial maupun sisi penguasaan teknologi.
Untuk itu dia sebutkan, lagi-lagi dengan pertimbangan bahwa Indonesia ini sebagai Negara kepulauan, harus memiliki industri maritim, membuat kapal sendiri dan hentikan impor kapal apalagi kapal bekas.
‘’Kalau mengoperasikan kapal impor lebih cilaka lagi sebab umurnya sangat terbatas ditambah lagi kemajuan teknologi yang tidak mungkin kita kejar,’’ katanya.
Saat ini kapal dagang yang beroperasi di Indonesia sebanyak 10.200 unit tapi 50 persen di antaranya sudah termasuk usia tua antara 35 sampai 40 tahun. Kalau itu tidak diperbaharui melalui pembuatan kapal sendiri, sekitar 10 tahun lagi, kapal itu akan menjadi beban bagi negeri ini.
Untuk itu dia sebut tidak ada jalan lain selain membangun industry kapal di dalam negeri. Stigma yang menyebut membuat kapal di Indonesia biayamya mahal, mutunya rendah dan delivery-nya terlambat, kata Soerjono, harus disingkirkan.
‘’Stigma itu terus dikembangkan karena kita belum pernah diberi kesempatan membangun kapal Coba diberi kesempatan, saya yakin Indonesia bisa berbuat yang terbaik memenuhi kebutuhan kapal untuk menghubungkan pulau,’’ katanya.
Menjawab pertanyaan sekitar rencana Kadin Indonesia yang ingin mengimpor 2.500 unit kapal, Soerjono terkejut dan heran apa alasan Kadin memikirkan rencana impor kapal sebanyak itu. Namun lanjutnya, jika memang harus diimpor dan benar kita butuh 2.500 unit, silakan tapi impor cukup 1.500 unit dan yang 1.000 unit lagi dibuat di Indonesia.
‘’Kalau itu kebijakannya, kami pekerja di sektor maritim akan menyatakan setuju yakni 1.500 impor dan 1.000 dibuat di Indonesia. Tapi kalau sepenuhnya impor, kami akan katakan stop,’’ tegasnya.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan mengembangkan klaster industri perkapalan nasional melalui pemberian insentif bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP) untuk bahan baku kapal nasional.
“Selama ini, impor kapal secara utuh tidak dikenakan bea masuk dan bagi sektor industri nasional sangat tidak menguntungkan. Sedangkan impor bahan baku kapal masih dikenakan bea masuk,” demikian pernah diutarakan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenperin, Anshari Bukhari di Jakarta.
Untuk mengembangkan klaster industri perkapalan nasional, menurut Anshari, Kemenperin akan mengusulkan pemberian BMDTP bagi bahan baku kapal yang belum bisa diproduksi di dalam negeri.
“Insentif BMDTP mampu meningkatkan investasi dan peningkatan produksi kapal di industri dalam negeri. Sektor hulu pada industri galangan kapal memerlukan investasi tinggi dan memerlukan analisa yang baik,” paparnya.
Soerjono menambahkan bahwa BMDTP itu memiliki kelemahan sebab proses pengeluaran bahan baku kapal dari pelabuhan bisa memakan waktu lama sementara BMDTP belum cair. Mana lebih untung insentif BMDTP dibanding biaya penumpukan barang di pelabuhan (demorid).
Bisa-bisa katanya lebih mahal biaya demorid sambil menunggu pencairan BMDTP. Beda dengan China, biaya yang sudah dikeluarkan pengusaha langsung dibayarkan pemerintah. (sabar)