Produksi, Stok dan Perilaku Dagang Bahan Pangan

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

BEBERAPA bulan terakhir ini kita disibukkan oleh naiknya harga bahan pangan pokok di pasar. Hukum pasar hanya bisa mengatakan, jika permintaan lebih besar dari penawaran, maka harga akan cenderung naik. Namun, jika fenonema harga naik itu kita telusuri dalam dunia nyata, kita akan selalu dapat mencermati apa yang sesungguhnya terjadi?

Yang jelas ada proses mata rantai yang umum kita pahami, yaitu mulai dari produksi, stok, distribusi, sampai kondisi pasarnya itu sendiri, termasuk di dalamnya faktor perilaku dagangnya. Pada sisi produksi, kita tahu kalau diambil contoh produknya, cabai, bawang, beras, kedelai, jagung, maka yang menghasilkan adalah petani.

Angka produksi kita hanya tahu dari satu sumber, yaitu Kementerian Pertanian, dan pada umumnya Kementan mengambilnya juga data dari BPS. Dan yang kita tahu pula, angka-angka yang dirilis pada dasarnya adalah data hasil survei yang diolah. Tidak tertutup dilakukan juga window dressing untuk berbagai tujuan.

Berapa produksi dan berapa kebutuhan, kita hanya tahu berdasarkan data resmi yang dikeluarkan pemerintah, cq Kementan/BPS. Bahkan, dalam hal menyatakan posisi stok cukup atau tidak cukup, instansi yang sama yang menyampaikannya kepada publik.

Lagi-lagi kita harus mempercayainya, meskipun tidak dilarang untuk mengatakan bahwa angka-angka produksi dan stok masih bisa diuji validitasnya. Stok bahan pangan pokok umumnya sudah tidak lagi diurus oleh petani, tetapi sudah dikuasai oleh para distributor/pedagang. Hanya saja publik tidak semuanya paham bagaimana sistem manajemen stok di tingkat pedagang itu dilakukan, karena bahan pangan pokok seperti cabai, bawang, dan daging bukan barang tahan lama untuk disimpan.

Penanganan Pascapanen

Sejauh mana penanganan pascapanen sudah berhasil dilakukan, hingga saat ini kita juga tahu. Programnya sendiri sepertinya sudah tidak terdengar lagi. Yang pasti, hampir seluruh kegiatan pascapanen sudah dikuasai oleh pedagang. Di tangan para pedaganglah akhirnya stok, kebutuhan dan harga lebih banyak ditentukan. Perilaku dagangnya agar dapat mengapitalisasi keuntungan yang optimal di saat tertentu sangat ditentukan oleh mereka.

Posisi dan peran para pedagang (tidak termasuk pedagang di pasar ritel) sangat dominan untuk memengaruhi dinamika pasar. Merekalah yang pada umumnya menentukan berapa harga yang pantas ditawarkan di pasar pada saat tertentu. Merekalah yang lebih bisa bersuara keras bahwa di pasar sedang terjadi tren naiknya permintaan bahan pangan, sementara pasokan dari dalam negeri terbatas dan dalam situasi seperti ini pasti membuka ruang untuk menaikkan harga, termasuk kemungkinan terjadinya spekulasi.

Pada saat yang sama, mereka pulalah yang mengatakan bahwa pemerintah perlu membuka keran impor bahan pangan pokok jika stabilitas pasokan dan harga dikehendaki normal kembali. Fenomena ini telah mengakibatkan posisi konsumen terpaksa tidak punya pilihan lain, kecuali harus menerima apa adanya. Posisi tawar petani juga kurang lebih sama, yaitu tetap tidak bisa ikut menikmati setiap terjadi gerak harga yang naik di pasar. Pemerintah dibuat kalang kabut ketika terjadi anomali pada perilaku pasar, yang cenderung merugikan masyarakat konsumen, khususnya golongan kelas menengah ke bawah, karena memang tidak memilki alat yang dapat segera digunakan untuk merespons pasar yang bergejolak.

Melihat pengalaman ini, maka ada beberapa catatan yang dapat disampaikan untuk menjadi perhatian bersama. Pertama, dalam perdagangan bahan bahan pokok di dalam negeri “ada kecenderungan” bersifat “oliogopoli”. Boleh jadi level tier satu dan duanya telah dikuasai oleh sejumlah pemain, yang seterusnya ke bawah menjadi kendalinya langsung.

Pada perdagangan kedelai perilakunya seperti itu. Kedua, intervensi pemerintah mutlak diperlukan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga melalui sistem yang lebih permanen melalui dua cara, yaitu menerapkan kontrol harga dan mekanismenya diatur melalui UU. RUU perdagangan sudah masuk dalam agenda pembahasan di DPR, mudah-mudahan anggota dewan dapat memasukkannya di RUU tersebut.

Ketiga, mengembalikan peran dan fungsi Bulog sebagai lembaga pemerintah non-kementerian sebagai stabilisator bahan pangan pokok yang dianggap penting bagi hajat hidup orang banyak. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS