Prestasi Sebagai Legitimasi

Loading

Oleh: Fauzi Azis

ilustrasi

ilustrasi

KITA sebagai individu maupun kelompok pasti mempunyai cita-cita yang sama, ingin menjadi individu atau kelompok yang berprestrasi di bidang kita masing-masing. Tanpa pernah berprestasi jangan berharap banyak akan mendapatkan legitimasi. Jarang dan hampir tidak pernah terjadi seseorang yang selalu berprestasi tetapi tidak mendapatkan legitimasi.

Untuk itu dalam konteks ke Indonesiaan jadikan diri kita sebagai sosok yang selalu bekerja untuk menghasilkan prestasi yang gemilang agar apa yang menjadi tujuan, sasaran dan target hidup kita tercapai dan bermanfaat bagi sesama. Menjadi apa saja di negeri ini diharapkan harus bisa membuat prestasi kalau tidak mau di delegitimasi.

Sebagai contoh yang baik dapat dicatat bahwa pemimpin China tidak pernah dipilih melalui cara demokrasi barat. Legitimasinya diperoleh melalui prestasi. Kepemimpinan China sangat ditentukan oleh konteks. Para pemimpinnya pecaya pada proses yang benar, pintar menyesuaikan dengan perubahan, memproses informasi lewat interaksi, menyatupadukan langkah dalam bekerja dan melaksanakan gagasan mereka melalui rakyat. (John &Doris Naisbitt,china megatrends).

Bandingkan dengan Indonesia. Presiden/gubernur/bupati/walikota mendapatkan legitimasi melalui cara yang demokratis, tetapi soal prestasinya banyak yang mempertanyakan, karena banyak pandangan bahwa para pemimpin kita lebih sibuk dengan dunianya sendiri sampai lupa menghasilkan prestasi yang gemilang, apakah di bidang pelayanan publik maupun prestasi di bidang pembangunan.

Sepak bola nasional U-19 memperoleh legitimasi dari para pendukungnya karena mereka dapat memberikan prestasi tebaiknya di Asean sehingga pantas kalau harapan dibebankan kepada mereka agar prestasinya dapat dipertahankan dan ditingkatkan sehingga bisa menjadi tim kesebelasan nasional yang kuat di Asia.

Dalam konteks yang demikian tidak berarti bahwa pilihan untuk menjadi negara demokrasi seperti Indonesia itu salah atau tidak tepat dan kemudian lebih baik kita kembali ke sistem yang otoriter. Yang perlu ditekankan justru ketika seorang pemimpim telah mendapatkan legitimasi kepemimpinan yang demokratis, harusnya langsung tancap gas untuk mengejar legitimasi keduanya melalui penciptaan-penciptaan prestasinya yang gemilang di bidang pelayanan dan pembangunan, bukan malah tancap gas bersama kroninya membangun dinasti politik melalui KKN.

Bayangkan kalau pada periode 5 tahun pertama pada jabatannya berhasil mengukir prestasi yang luar biasa, rakyat pasti akan senang karena rakyat banyak memperoleh manfaatnya akibat prestasi para pemimpinnya. Berarti sang pemimpin mendapatkan legitimasi dari rakyatnya dua kali, yakni satu kali saat dipilih dan kedua kali saat pemimpin mampu menghasilkan prestasi.

Pada periode kedua hampir dapat dipastikan mereka akan mendapatkan legitimasi kembali untuk dipilih menjadi pemimpin bagi rakyatnya tanpa harus keluar ongkos politik yang nilainya sangat fantastik, tanpa harus menyuap Ketua MK.

Perjalanan 15 tahun lebih hidup di era demokrasi nampaknya ada beberapa catatan kritikal yang kalau boleh disimpulkan bahwa rakyat tetap menginginkan jalan hidupnya terpimpin dan bersedia untuk dipimpin. Hanya saja rakyat dalam menentukan pilihannya mempunyai syarat yang tidak berlebihan, yakni mampu memimpin, amanah dan bertanggungjawab, serta mampu berprestasi untuk kepentingan rakyat. Jika yang demikian dapat diwujudkan, maka kita kembali harus mengakui bahwa harmonisasi dan interaksi antara masyarakat dengan pemerintahnya di tingkat manapun harus bisa terjadi dan landasan utamanya adalah prestasi agar legitimasinya kokoh. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS