Pertumbuhan Ekonomi Dikapitalisasi Orang Kaya dan Pemodal

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

 

KABINET kerja yang dipimpin Jokowi-JK kini memasuki tahun ketiga. Dalam buku berjudul “Menatap Indonesia 2016”, “Merawat Harapan, Menuntut Kohesivitas” yang salah satu artikelnya berjudul “Transformasi atau Mati”, terdapat sepenggal pernyataan menarik.

Kalimat lengkapnya adalah bahwa belajar dari sejarah, Indonesia telah mengalami sejumlah titik balik dari situasi ekonomi yang sulit. Namun polanya selalu sama, yakni titik balik itu lebih sebagai limpasan situasi perekonomian global ketimbang perencanaan jangka menengah-panjang.

Bisa dikatakan nihil prinsip pro-aktivitas di dalamnya. Akibatnya, Indonesia hanya berkutat pada situasi jangka pendek. Indonesia tidak pernah bisa memanfaatkan keuntungan pada saat era untuk kepentingan jangka menengah-panjang.

Yang terjadi adalah ketika era berganti, Indonesia selalu melalui dari nol. Tahun ini, pemerintah menyadari bahwa masalah ketimpangan antara si kaya dan si miskin masih lebar. Dengan patokan angka gini ratio 0,41, memberikan gambaran bahwa pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati orang kaya atau kita sebut saja para kapitalis/pemilik modal.

Fenomena ini bukan kali ini terjadi, tapi bagaimanapun di era ini, pemerintah harus bisa melakukan tindakan nyata untuk menurunkan angka gini ratio tersebut. Di dalam tulisan Transformasi atau Mati, ada data menarik, yakni bahwa menurut laporan Bank Dunia, konsumsi oleh 10% warga terkaya di Indonesia pada tahun 2002 setara dengan 42% warga termiskin.

Pada tahun 2014, konsumsi 10% warga terkaya sudah setara dengan 54% warga termiskin. Kondisinya makin jomplang. Dan sebab itu, pemerintah merasa risau.

Kita lihat sekilas postur kebijakan pemerintah selama dua tahun yang paling menonjol. Ada dua seingat penulis yang selalu terngiang dalam ingatan, yakni: 1).Transformasi ekonomi dari berbasis konsumsi menuju semakin berbasis investasi dan produksi.2). Ada tiga isu kebijakan yang selalu presiden sampaikan, yaitu pembangunan infrastruktur; deregulasi dan debirokratisasi; dan pengembangan sumber daya manusia.

Kalau ditelisik ke arah outcome economic-nya, sasaran dari dua kelompok kebijakan tersebut adalah bersifat pro-growth.

Tahun 2017 ini, pemerintah sedang mempersiapkan strategi dan kebijakan untuk mengatasi ketimpangan. Instrumen yang umum dipakai adalah berkisar pada pada penggunaan instrumen kebijakan moneter, fiskal dan administratif yang banyak dikelola oleh berbagai Kementrian/lembaga.

Kita belum tahu apakah kebijakan subsidi akan dimunculkan lagi atau ada bentuk-bentuk afirmasi yang bersifat spesifik untuk makin memperkuat sektor UMKM sebagai penggerak utama ekonomi nasional.

Satu hal perlu dicatat bahwa seperti telah banyak disampaikan pemikiran oleh para ahli ekonomi pembangunan antara lain kalaupun prospek perekonomian Indonesia sangat menjanjikan, apakah dengan sendirinya kesejahteraan sosial juga memiliki prospek?

Secara normatif dalam keadaan normal semestinya setiap prospek dan kinerja ekonomi dengan sendirinya berpotensi peningkatan kesejahteraan sosial. Namun dalam kondisi paradoks, perbaikan prospek kinerja ekonomi tidak dengan sendirinya meningkatkan peningkatan kesejahteraan sosial.

Dan faktanya kini, Indonesia menghadapi problem ketimpangan yang jika tidak diatasi akan menimbulkan masalah sosial yang berpotensi memproduksi konflik. Pemerintah sudah mempunyai KUR dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memperkenalkan sistem keuangan inklusif agar sistem keuangan dan perbankan mampu melakukan penetrasi kepada kelompok masyarakat bawah.

Langkah tersebut sangat positif dan nampaknya apa yang dilakukan ini adalah sebagai respon atas berbagai kondisi seperti diungkap oleh A.Prastyantoko dalam satu tulisannya berjudul “Paradoks Ekonomi dan Agenda Kesejahteraan Sosial” yang mengutip data Bank Dunia 2009  menggambarkan kondisi sebagai berikut: 1).Hampir 50% penduduk Indonesia tidak memiliki akses perbankan yang memadai, baik dari sisi kredit maupun penempatan modal (deposito).

Data LPS tahun 2011, mengkonfirmasi bahwa sebanyak 51% dari simpanan deposito senilai Rp 1.700 triliun hanya dimiliki oleh 0,13 % nasabah. 2). Sebanyak 31 % penduduk Indonesia masih dilayani oleh sektor keuangan informal yang membebani bunga sangat tinggi. 3). Hanya 17 % penduduk Indonesia yang memiliki akses kredit ke lembaga formal, sedangkan 40 % penduduk sama sekali tidak memiliki akses kredit.

Dari berbagai kondisi yang ada, menata kembali kebijakan ekonomi di Indonesia menjadi keniscayaan. Apa yang sudah dilakukan pemerintah tidak salah karena Indonesia memang memerlukan pertumbuhan ekonomi.

Tetapi sebagai emerging economy yang sistem ekonominya diatur oleh konstitusi, para pembuat kebijakan ekonomi perlu merumuskan strategi dan kebijakan yang lebih sesuai dengan semangat Bab XIV UUD 1945, yaitu,”Perekenomian dan Kesejahteraan Sosial”.

Dengan demikian, kebijakan ekonomi dan kebijakan sosial harus dikembangkan bersamaan secara seimbang. Indonesia dengan demikian adalah bukan sebuah negara liberal, tetapi negara kesejahteraan (walfare state).

Intervensi pemerintah diperlukan sebagai perangkat untuk mencapai kesejahteraan sosial. Upaya ini penting difahami oleh para pembuat kebijakan ekonomi bahwa sistem yang berbasis pada kekuatan pasar tidak bisa melakukan fungsi distributive dan sebab itu, negara harus berperan aktif menjalankan intervensinya dengan menjalankan kebijakan sosial untuk menjangkau kebutuhan kelompok masyarakat yang kurang beruntung.

Pola kebijakan seperti ini yang harus diwujud kan oleh Indonesia ke depan, sehingga pertumbuhan ekonominya tidak hanya dikapitalisasi oleh orang kaya/pemodal, baik asing maupun dalam negeri, tetapi juga dapat dikapitalisasi oleh ekonomi rakyat yang produktif dan sektor UMKM yang semakin berdaya saing.(penulis adalah pengamat sosial ekonomi).

CATEGORIES
TAGS