Masa Depan Angkutan Kota Jakarta
Oleh: Efendy Tambunan
ANGKUTAN kota (angkot) pernah menjadi primadona trasnportasi umum di Jakarta. Sekarang, angkot dianggap menjadi bagian dari masalah transportasi. Keberadaan angkutan kota di jalan raya dituding menjadi salah satu penyebab kemacetan.
Dalam ilmu transportasi, yang digolongkan sebagai angkutan kota (public bus) adalah bus berukuran besar. Angkutan kota ukuran kecil diijinkan beroperasi di Indonesia karena lebar jalan lokal dan kolektor hanya sekitar 3-5 meter. Di negara-negara maju, lebar jalan lokal dan kolektor sekitar 6 meter.
Pengelolaan transportasi umum tanpa campur tangan pemerintah menuai banyak masalah, seperti rendahnya tingkat kenyamanan dan keamanan, waktu tempuh lebih lama dan mahalnya biaya transportasi. Masalah ini menyebabkan para komuter (penglaju) berpindah ke kendaraan pribadi.
Di kota megapolitan seperti Jakarta, pemerintah wajib menyediakan transportasi umum melalui pola kerjasama pemerintah-swasta (public-private partnership). Terbatasnya dana pemerintah untuk menyediakan angkutan umum dimanfaatkan oleh pihak swasta untuk mengelola angkutan umum.
Sekarang ini, jumlah armada angkutan umum tidak seimbang dengan jumlah penumpang. Pada jam tidak sibuk, jumlah penumpang berkurang drastis. Pengemudi angkutan umum akan berupaya menambah jumlah penumpang dengan cara memperlambat laju kendaraan, menunggu penumpang di pinggir jalan dan menjaga jarak antar angkot (headway). Gerakan angkot ini menyebabkan efek kartu domino pada arus lalu lintas.
Pada umumnya, para komuter (penglaju) naik-turun angkot berkali kali. Alhasil, waktu tempuh dan biaya perjalanan bertambah. Sepeda motor menjadi moda alternatif ke tempat kerja karena harganya terjangkau, biaya operasionalnya lebih murah, fleksibilitas dalam memilih jam berangkat dan rute, dan aksesibitasnya tinggi.
Untuk kelas menengah atas, kendaraan roda empat juga menjadi pilihan menarik karena alasan kenyamanan dan keamanan. Mereka semakin tergantung pada kendaraan pribadi karena lokasi pertumbuhan permukiman tidak sesuai dengan sistem transportasi Jakarta.
Berdasarkan data direktur Lalu lintas Polda Metro Jaya, jumlah total kendaraan di Jadetabeka (Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Karawang) tahun 2011 mencapai 13.347.802 unit. Jumlah kendaraan tersebut terdiri atas mobil penumpang sebanyak 2.541.351 unit (19 persen), mobil muatan beban mencapai 581.290 unit (4,4 persen), bus sebanyak 363.710 unit (2,7 persen) dan sepeda motor berjumlah 9.861.451 unit (73,9 persen).
Pada umumnya, angkutan umum yang dikelola swasta menggunakan sistem setoran. Para pengemudi harus berjuang keras untuk meraih target setoran harian. Karena mengejar target, mereka berlomba lomba mencari penumpang di jalan raya tanpa mengindahkan kenyamanan dan kemanan penumpang dan pengendara lain.
Lemahnya penegakan hukum dan maraknya pungutan liar dari oknum Polantas menyebabkan tingkah laku pengemudi angkot sulit dikendalikan. Badan jalan di beberapa lokasi berubah menjadi pangkalan dan terrminal bayangan. Menaik turunkan penumpang di sembarang tempat, munculnya terminal bayangan di badan jalan dan menunggu penumpang di sejumlah persimpangan menyebabkan tersendatnya pergerakan arus lalu lintas.
Penurunan arus lalu lintas menyebabkan tingkat pelayanan jalan (level of service) di DKI Jakarta menurun. Bahkan, pada jam sibuk, tingkat pelayanan jaringan jalan semakin menurun hingga ke batas level terendah. Kondisi lalu lintas pada jam sibuk semakin padat dan merayap sehingga menambah waktu tempuh dan emisi gas buang.
Tingkat pelayanan jalan dapat diperbaiki dengan menambah kapasitas jalan melalui pengembangan geometrik jalan dan penambahan jalan baru. Tetapi karena terkendala oleh tingginya hambatan samping dan terbatasnya lahan, pelebaran dan penambahan jaringan jalan sulit dilakukan.
Performa jaringan jalan juga dapat ditingkatkan dengan rekayasa lalu lintas, pembatasan mobil dengan sistem ganjil-genap, electronic road price, electronic traffic law enforcement dan pembangunan persimpangan jalan tidak sebidang (flyover atau subway). Untuk mengurangi kemacetan, selain meningkatkan performa jalan, penataan angkutan kota juga harus menjadi prioritas.
Untuk mengatasi carut marut masalah angkot, Pemprov DKI Jakarta membuat suatu terobosan. Salah satu gebrakan dari Gubernur DKI Jakarta Jakowi adalah meremajakan kendaraan umum yang sudah tua dengan moda baru dibawah manajemen perusahaan. Pemprov DKI Jakarta membatu pengadaan angkot melalui pola kerjasama swasta-pemerintah.
Dengan campur tangan pemerintah, Pemprov DKI Jakarta akan lebih mudah melakukan pengawasan dan pengendalian operasional angkot dalam bentuk penetapan harga, kenyamanan dan keamanan. Pengawasan operasional dan pengendalian harga akan memberikan multiplier effect buat warga Jakarta.
Angkutan kota (mikrolet) lebih ideal kalau diarahkan untuk mengangkut penumpang dari permukiman ke jalan raya utama. Dalam hal ini angkot dapat difungsikan sebagai pengumpan (feeder) yang menghubungkan permukiman ke halte angkutan massal. Artinya, angkot tetap eksis tetapi tidak lagi melayani penumpang di jalan raya utama melainkan hanya beroperasi dari permukiman ke jalan raya utama.
Sistem transportasi angkutan massal (kereta api, monorel, transjakarta) dirancang untuk membawa penumpang di jalan raya utama dalam jumlah banyak. Sistem ini tidak boleh lepas dari campur tangan pemerintah. Bentuk campur tangan pemerintah, antara lain membangun infrastruktur transportasi massal dan mensubsidi biaya operasional angkutan massal. Subsidi pemerintah dalam transportasi massal akan meringankan beban warga DKI Jakarta.
Bila harga tiket angkutan massal terjangkau, kenyamanan serta keamanannya terjamin dan aksesibilitasnya tinggi, diharapkan terjadi migrasi penumpang kendaraan umum (mikrolet dan minibus) dan kendaraan pribadi ke transportasi massal. (penulis adalah Dosen Teknik Sipil UKI dan direktur Toba Borneo Institute)