Berat Melaksanakan Pasal 33 UUD 1945
Oleh: Fauzi Aziz
PADA ayat (1) UUD 45 dikatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Ayat (2) berbunyi, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat (3)-nya menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mengapa dikatakan berat. Alasannya beragam. Pertama; ketiga ayat tersebut ditafsirkan seperti tidak ada “alkitabnya” untuk bisa dibaca dan difahami tafsirnya. Kalaupun ada, mungkin bersifat “subyektif” dan hal ini bisa muncul di setiap UU seperti pada UU migas yang sudah sempat di-yudicial review oleh MK, UU penanaman modal yang juga sempat di yudicial review dan UU minerba serta sejumlah UU yang lain.
Kedua, perintah ayat (5) pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi ketentuan lebih lanjut pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Opini ini mengatakan belum pernah dibuat. Bisa jadi proses legislasi nasionalnya menterjemahkan perintah ayat (5) tersebut langsung disikapi dalam masing-masing UU yang bersangkutan seperti disebutkan di atas dan tidak harus dibuat dalam UU tersendiri.
Namun opini ini tetap berpendapat bahwa semestinya perintah ayat (5) pasal 33 UUD 1945 dimuat dalam UU tersendiri. Misal UU tentang Sistem Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial seperti judul bab XIV UUD 1945, sebagai UU payung.
Ketiga, dalam tataran implementasi ternyata banyak masalah dan hambatan yang muncul, baik karena faktor regulasi dan juga karena faktor hambatan pendanaan dan soal perjanjian. Contoh paling terkini adalah soal kasus Bumi PLc dan soal pengelolaan blok Mahakam yang kontrak bagi hasilnya akan berakhir pada tahun 2017.
Kedua contoh kasus itu adalah campur aduk antara masalah pengamanan kepentingan nasional (sangat politis) di satu pihak dan masalah kemampuan finansial di pihak lain ketika dalam kasus pengelolaan blok Mahakam, pemerintah mengharapkan Pertamina yang takeover, tapi dari aspek pendanaan, nampaknya ada masalah. APBN boro-boro bisa sharing, untuk membiayai subsidi BBM saja sudah amat berat bebannya.
Ketiga hal itu yang membuat berat melaksanakan pasal 33 UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Menjalankan perintah ayat (2) dan (3) kalau begitu memerlukan adanya konsensus dan kesepakatan seluruh komponen bangsa agar ketika dilaksanakan, tidak melanggar konstitusi.
Keterbatasan dana dan kemampuan nasional tidak bisa dinafikkan begitu saja ketika investasi dan kegiatan bisnis sumber daya alam di negeri ini dijalankan. Hanya karena alasan ini, kita korbankan pengelolaan aset bangsa dilakukan oleh pihak asing.
Freeport sebagai contoh mau kita apakan kalau misalnya bangsa ini harus mendivestasi asetnya. Divestasi Newmont saja urusannya ribet. Soal Inalum juga panjang urusannya untuk mengambil alih kepemilikannya dari Jepang yang perjanjiannya akan berakhir tahun ini. Apapun harus ada jalan keluarnya karena sistem ekonomi nasional harus tunduk dan patuh kepada konstitusi.
Dan konstitusi secara eksplisit memerintahkan harus ada campur tangan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam nasional. Dan pemerintah harus taat azas melaksanakannya. Apapun alasannya, tidak bisa mengambil jalan pintas, agar tidak disalahkan dan ditanggung gugat.
Oleh karena itu, semuanya harus berpulang kepada ikhtiar bersama bagaimana melalui proses konsensus dan kemufakatan membuat UU tentang sistem perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial sesuai amanat ayat (5) pasal 33 UUD 1945 sebagai payung hukum lex specialist.
Pemerintah sebagai perumus kebijakan publik, ke depan harus cukup berhati-hati terutama dalam pengelolaan sumber daya alam nasional dan menyiapkan regulasi nasionalnya. Sebaiknya izin usaha di bidang pengelolaan sumber daya alam dilakukan terpusat. Hal yang demikian diperlukan karena dalam rangka pengamanan kepentingan nasional.
Hanya beralasan kita tidak punya cukup dana dan teknologi, maka pemerintah lantas mengambil sikap pragmatis bahwa pengelolaan sumber daya alam dapat diserahkan kepada pihak asing dengan melakukan “rekayasa” regulasi.
Semoga yang kita anggap berat dalam melaksanakan pasal 33 UUD 1945 dapat menjadi ringan karena ada konsensus dan kesepakatan baru,tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional. ***