Manajemen Ekonomi Global yang Gagal

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

PERNAH mencuat pertanyaan besar, apakah globalisasi itu mitos atau kenyataan? Pertanyaan lain yang dapat diajukan adalah, apakah globalisasi itu hanya embusan angin surga yang dikarang-karang oleh para invisible hand atau para pelaku homo homini lupus, yang ingin melampiaskan nafsu serakahnya untuk menguasai sumber daya ekonomi dunia dengan berlindung di balik kemajuan teknologi informasi?

Yang pasti, kita semua sangat percaya bahwa globalisasi itu ada. Dan kemudian bangsa dan negara di dunia rela dengan sadar melucuti dirinya untuk mengikuti ritme kehidupan ekonomi global yang mengagungkan liberalisasi dan perdagangan bebas. Rela mengikatkan diri secara mandatori dalam sistem yang dirancang oleh IMF, WTO, dan Bank Dunia. Dan yang paling gila adalah rela untuk “melepaskan” baju dan asesoris kepentingan nasionalnya.

Kenyataan sekarang, ekonomi dunia sakit. AS, yang disebut sebagai “mbahnya” liberalisme dan penganjur perdagangan bebas, ekonominya lumpuh terserang parkinson. Zona Eropa kena flu berat, ekonominya juga tidak bertenaga. Akibatnya tentu menular ke mana-kemana. China sakit, Brasil sakit, India sakit, Indonesia sakit.

Pertanyaannya, siapa yang mengobati? Tentu bukan lagi IMF atau Bank Dunia, atau WTO. Masing-masing mengobati dirinya sendiri. Melakukan mitigasi risiko dengan cara masing-masing, dan Indonesia mencoba mengobatinya sendiri dengan menetapkan paket kebijakan ekonomi beberapa waktu yang lalu dan obatnya belum bisa menyembuhkan.

Manajemen ekonomi global yang sering kongko-kongko di G-20, APEC, atau WEF, hanya talking-talking, curhat keprihatinan, takut bangkrut, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya ucapan klasik yang sering diungkapkan, yaitu agar semua negara tidak menerapkan kebijakan proteksi, meskipun praktiknya semua melakukannya.

Indonesia aneh, malah melakukan relaksasi impor bahan pangan. Ada obat program Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri atau P3DN, yang tidak diminum, hanya dianjurkan saja untuk diminum. Manajemen ekonomi global tampaknya tidak punya kesanggupan untuk menyelesaikan penyakit ekonomi yang wabahnya berasal dari satu atau beberapa negara besar yang sakit. Tidak mampu memberikan bantuan stimulus ekonomi apa-apa, kecuali hanya bersabda agar masing-masing yang terkena dampak cari obatnya sendiri.

Tsunami Ekonomi

Manajemen ekonomi global telah gagal melakukan tugasnya. Bagaimana sanggup, kalau ekonomi suatu negara terkena tsunami ekonomi yang dampak kerugian materialnya sangat besar bisa dibantu proses mitigasinya. Mungkin bisa, tapi syaratnya ketat, karena likuiditas untuk memberikan bantuan juga cekak.

Kongko-kongko para pengurus dalam manajemen ekonomi global di forum G-20, APEC, dan WEF akhirnya hanya “ketawa-ketiwi”, main golf, dan bicara ngalor-ngidul apa yang masih bisa “diproyekkan” pada proyek ketahanan pangan dan energi. Selain itu, proyek-proyek lingkungan hidup akibat efek gas rumah kaca yang makin memprihatinkan dan perubahan iklim. Oleh sebab itu, menjadi menarik seperti yang dikatakan oleh Syamsul Hadi, G-20 dan Ketidakpastian Global (Kompas, 14 September 2013). Beliau menyampaikan bahwa langkah yang diambil banyak negara dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global saat ini membenarkan pendapat bahwa kepentingan nasional setiap negara menjadi sesuatu yang sangat diutamakan.

Jepang dan China melakukan upaya untuk menonjolkan spirit domestic economy first. Uni Eropa, yang didera krisis berkepanjangan, juga telah mengumumkan rencana membatasi keterlibatan pihak di luar Eropa dalam tender pengadaan belanja pemerintah guna mendorong dunia usaha di Eropa bangkit lagi.

Dengan perkataan lain, negara-negara tersebut sekarang ini mengambil posisi save our domestic economy. Mengutamakan kepentingan nasional demi dan atas nama negara berdaulat. Indonesia sekali lagi punya kebijakan yang baik, yaitu P3DN. Tapi, sayang tidak dikelola dengan baik. Hanya dipakai untuk proyek APBN. Padahal, kekuatan belanja konsumsi domestiknya cukup besar. Untuk belanja pemerintah saja dapat menyumbang PDB sekitar 8,89% atau sekitar Rp 732 triliun pada 2012.

Sementara itu, pengeluaran konsumsi rumah tangga menyumbang 54,56% atau senilai Rp 4.400 triliun lebih terhadap PDB nasional. Suatu captive market yang besar untuk mendorong industri dalam negeri bangkit dan tetap dapat beroperasi. Tampaknya sudah saatnya sistem ekonomi global ditata kembali yang lebih prokemanusiaan dan keadilan, karena manajemen sistem ekonomi global telah gagal menjalankan tugasnya dengan baik.

Hegemoni politik globalnya yang lebih menonjol bekerja ketimbang mengelola sistem ekonomi globalnya. Jangan salahkan bunda mengandung kalau kemudian negara-negara di dunia sudah kembali sadar bahwa bumi tempat mereka berpijak adalah kedaulatannya. Karena itu, tidak salah kalau pada akhirnya masing-masing negara menyelamatkan diri untuk menyembuhkan ekonominya. ***

CATEGORIES

COMMENTS