Hantu-hantu Pemegang Kunci Gembok Ada di Tubuh Birokrasi
Oleh: Fauzi Aziz
REZIM ekonomi biaya tinggi di negeri ini belum berakhir dan akibatnya daya saing ekonomi Indonesia lemah. Ekonomi biaya tinggi di Republik ini seperti hampir tidak bisa diselesaikan. Pada era orde baru isu ini sudah ada dan sudah coba diatasi melalui progam deregulasi dan debirokratisasi. Hasilnya ada tetapi keluhan adanya ekonomi biaya tinggi tetap saja muncul.
Di era reformasi, kita bayangkan segala macam bentuk sumbatan diharapkan sudah terkubur habis, sehingga Indonesia bisa tampil dengan sosoknya yang baru sebagai negara yang berhasil mengelola sistem ekonomi menjadi berbiaya rendah alias efisien.
Nyatanya tak kunjung beres dan kita tetap bisa mendengar dan melihat bahwa ekonomi dalam negeri tetap high cost. Ketika zaman SBY, pemerintah menggelar progam debotlenacking yang tujuannya sama, mengurangi berbagai hambatan dan sumbatan yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Hasilnya pasti ada, tetapi nyatanya pada periode Jokowi, persoalan yang sama muncul lagi sehingga pemerintah mengambil langkah seribu dan cepat membuat paket kebijakan ekonomi dan deregulasi yang masif.
Arah dan tujuannya juga sama, yakni agar ekonomi dalam negeri makin efisien dan produktif. Hasilnya seperti apa, belum bisa kita potret. Tapi ketika jelang puasa dan lebaran tahun ini, harga bahan pokok naik. Sama seperti yang sudah-sudah. Fenomena ekonomi biaya tinggi di Indonesia seperti hantu. Selalu menggoda.Tidak senang kalau kegiatan ekonomi di dalam negeri berjalan lancar tanpa hambatan.
Hantunya sebelumnya kita tidak tau ada dimana. Selidik punya selidik ternyata hantu itu ada di kalangan birokrasi, baik di pusat maupun di daerah. Di birokrasilah hantu- hantu yang pegang kunci gembok. Ada yang pegang kunci gembok besar ada yang kecil. Darimana mereka mendapatkan kunci gembok tersebut ? Jawabnya dari berbagai peraturan perundangan yang menurut Jokowi jumlahnya sekitar 43.000.
Karena itu, pemerintah mencoba mengurangi dan membuang ribuan kunci gembok tersebut yang dimiliki birokrasi melalui deregulasi dan debirokratisasi. Apakah berhasil. Mudah-mudahan. Namun perlu dicatat, para pemegang gembok ini tidak pernah mati langkah. Ketika deregulasi dilakukan, mereka cari akal. Mereka memoles peraturan yang harus dideregulasi. Contoh paling sederhana adalah izin disederhanakan, tetapi diciptakan persyaratan baru dalam versi yang baru sebagai pengganti persyaratan sebelumnya yang sudah dihapus.
Jadi selain memoles juga berkelit. Alasannya adalah perintah undang-undang. Memang benar alasan ini karena disetiap undang-undang selalu akan menghasilkan regulasi baru yang ketika berbagai peraturan turunannya dibuat di situ muncul lagi sistem dan prosedur baru, yang substansinya tidak disemangati oleh deregulasi dan debirokratisasi.
Semangatnya tetap melakukan regulasi. Semangat mereka tidak “rela” kalau kunci-kunci gemboknya dipreteli. Mereka masih menganggap dan berparadigma lama, yakni apalah artinya menjadi birokrat dan menjadi pejabat publik kalau tidak memegang kunci gembok alias kewenangan. Memegang kunci gembok memang perlu sepanjang untuk kepentingan keamanan dan ketertiban.
Yang menjadi masalah para pemegang kunci gembok ini menganggap dirinya seperti dewa penyelamat. Mereka lebih senang menjadi pemegang kunci gembok, meskipun gajinya kecil yang penting sabetannya gede. Bagi pemegang gembok besar, kelakuannya juga sama. Mereka seringkali ngobyek dengan memanfaatkan kewenangan yang ada pada dirinya. Mereka dapat gratifikasi dari mana-mana yang tiap bulan hasilnya bisa jauh lebih besar dari gajinya.
Apalagi hadiahnya berupa saham kosong, maka kita tahulah rezekinya ngocor tiap bulan di luar gaji. Jadi, deregulasi tidak sepenuhnya mampu mengatasi masalah ekonomi biaya tinggi. Hal ini terjadi akibat deregulasi hanya melahirkan regulasi baru dan pemegang kunci gemboknya tidak berkurang signifikan, malahan bisa bertambah. Masalah di Republik ini sejatinya bukan soal koordinasi, tapi lebih dominan disebabkan karena terlalu banyak pemegang kunci gembok.
Rapat koordinasi bisa dilakukan tiap hari, tapi begitu pemegang kunci gembok mengatakan tidak bisa, koordinasi menjadi tidak punya makna sama sekali. Oleh sebab itu, yang perlu dilakukan oleh Indonesia bukan deregulasi atau debirokratisasi, tetapi Reformasi yang mencakup perubahan fundamental dalam struktur kelembagaan secara menyeluruh dan sistemik, termasuk revolusi mental birokrasi dan para pembuat undang-undang.
Biang keroknya ada di situ. Dan meskipun Indonesia mengatakan tahun 1998 adalah awal reformasi, tetapi yang terjadi awal kebangkitan terciptanya pemegang-pemegang kunci gembok versi baru. Jumlah kunci gemboknya sekarang ini jauh lebih banyak dibandingkan pada zaman orba. Bayangkan peraturan perundangannya saja mencapai 43.000. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).