Brexit Sebuah Pembelajaran

Loading

index.jpgggggggggggg

Oleh: Fauzi Aziz

 

INGGRIS resmi menyatakan keluar dari kebersamaannya dengan 27 negara di Eropa yang selama ini hidup berdampingan secara damai dalam Uni Eropa(UE).

Kebersamaan mereka dibangun dengan susah payah dan memerlukan proses yang sangat panjang. Kini Inggris telah menjadikan dirinya seperti sediakala yakni ingin hidup “menyendiri” di benua Eropa sebagai negara berdaulat penuh dan tidak terikat pada keputusan apapun dari UE.

Kebersamaan itu telah berlalu begitu saja. Mengutip apa yang disampaikan Menteri Keuangan Finlandia, Alexander Stubb, bahwa Brexit bukan sebuah kebangkrutan, tetapi hanya pengurangan anggota UE yang semula 28 negara, kini tinggal 27 negara saja.

Tapi karena sudut pandang politik dan ekonomi selalu menjadi barometer, maka kabar Brexit menjadi berita dunia. Di dunia ini memang tidak ada yang abadi. Sekian lamanya bisa dalam kebersamaan tapi dalam tempo sekejab bisa berpisah.

Yang jelas karena ukurannya adalah politik dan ekonomi yang nota bene pangkalnya adalah “kepentingan” Brexit adalah hal yang bisa terjadi dan dapat menimpa siapa saja kalau ngomongin soal keluar dan masuk atau soal perceraian dan kebersamaan.

Kalau masalah kepentingan apalagi ada perbedaan menyolok dan prinsipil dalam soal politik dan ekonomi, ujungnya adalah “perpisahan” atau jika mau dikeraskan adalah bisa jadi yang semula kawan berubah menjadi lawan, atau yang semula damai bisa berubah menjadi peperangan.

Kerjasama di bidang apapun yang dilakukan negara-negara di dunia selalu dibungkus dengan hiasan ungkapan kalimat indah, misal demi perdamaian abadi dan peningkatan kesejahteraan umat manusia sedunia, maka dengan pertimbangan politik dan ekonomi, kita bersatu dalam satu kesatuan ekonomi membangun kemakmuran bersama.

Padahal di balik itu ada sejumlah titik dan simpul yang berpotensi  mengubah kalimat “satu kesatuan ekonomi” menjadi ancaman kesatuan ekonomi karena ada kepentingan politik dan ekonomi masing-masing negara.

Jadi bersatu dan berpisah sifatnya kondisional. Dalam bahasanya orang bijak dikatakan di dunia ini tidak ada yang abadi, kecuali kepentingan. Gejolak dan konflik bisa datang dan pergi setiap saat. Stabilitas dan distabilitas bisa terjadi kapan saja. Semua tergantung dari apakah perbedaan kepentingan bisa dijaga masing-masing pihak yang bermitra.

Dalam keluarga bisa saja terjadi perceraian karena perbedaan kepentingan, apalagi dalam hubungan antar negara. Hidup di alam dunia ini memang akan selalu ada tantangan, gangguan dan ancaman. Dan ada ukuran lain yang dipakai ketika kerjasama dilakukan, yakni ukuran kebendaan terkait soal untung rugi.

Kalau menguntungkan, lanjut dan jika merugikan, maaf kita harus berpisah. Jadi melihat fenomena Brexit ini tidak ada yang luar biasa. Brexit bisa dilakukan oleh siapa saja yang menghendakinya karena kerjasama antar negara di dunia ini hanya mengusahakan agar berbagai perbedaan kepentingan dapat disatukan dalam satu ikatan kesatuan politik, ekonomi dan budaya.

Pidato ini indah, tapi jangan berharap bisa bersifat permanen karena di samping di dunia ini tidak ada yang abadi, selagi di balik setiap kerjasama dibangun atas dasar kepentingan, maka koalisi, kolaborasi bisa “pecah” dan bercerai.

Tapi jangan lupa mereka tetap bisa berteman baik pada forum yang berbeda disebabkan karena ada kepentingan yang akan dibangun dalam kerangka kerjasama yang berbeda. Inilah tabiat manusia. Ada kalanya merindukan cinta kasih, persahabatan dan persaudaraan.

Tapi karena nila setitik rusak susu sebelanga, cinta kasih dan sebagainya bisa sirna dalam tempo sekejab. Para politisi dan ekonom sibuk membuat prediksi tentang dampak politik dan ekonomi dari Brexit ini. Tapi apapun analisanya, janganlah membuat kita risau karena kejadian di muka bumi ini arsiteknya adalah manusia yang bertaburan di benua Amerika, Afrika Eropa dan Asia.

Dunia adalah panggung penuh sandiwara. Dunia penuh intrik dan nafsu. Jadi Brexit adalah peristiwa politik dan ekonomi biasa. Mungkin Inggris keluar dari UE malah bukan karena pertimbangan politik atau ekonomi.

Boleh jadi karena alasan lain karena bagaimanapun dia pernah berjaya dan selalu menjadi sekutu AS. Kalau ngomong soal Barat, maka kita akan ingat Inggris dan AS. Dia barangkali sudah jenuh dan bosan hidup dalam sangkar kehidupan UE yang banyak aturan.

Sedangkan Inggris adalah liberal dan kepingin “menyendiri” dan mencoba uji nyali menghadapi situasi politik dan ekonomi regional dan global dari kacamatanya sendiri.( penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS