Alat-alat Pertanian Produk IKM Sitampurung, Kesulitan Pemasaran

Loading

Hovbes Lubis memperlihatkan egreg produk Sitampurung yang disulap menjadi produk Malaysia

SIBORONG-BORONG, (tubasmedia.com) – Para pelaku Industri Kecil Menengah (IKM) Pandai Besi khususnya yang memproduksi alat-alat pertanian di Desa Sitampurung, Siborong-borong, Tapanuli Utara mengharapkan uluran tangan pemerintah di bidang pemasaran.

Pasalnya, pemasaran alat-alat pertanian dan perkebunan yang mereka produksi, sejak dulu hingga sekarang masih harus melalui tangan para tengkulak atau dikenal dengan sebutan pengumpul.

Demikian benang merah dari obrolan wartawan dengan Marihot Lubis, satu dari seratusan lebih pandai besi di desa tersebut, pekan silam. Saat ditemui, Marihot didampingi putranya, Hovbes Lubis bersama beberapa karyawan.

inilah workshop pandai besi Sitampurung

Kendati kehadiran para pengumpul sudah membantu pemasaran alat-alat pertanian dan perkebunan produk mereka, namun Marihot mengatakan kalau kehadiran para tengkulak itu, sejatinya sangat merugikan mereka.

Saat ditanya kenapa ? Marihot menyebut kalau alat-alat pertanian dan perkebunan itu dibeli para tengkulak dari mereka dengan harga yang sangat rendah dan jauh dari harga standar.

Dia sebut misalnya, harga egrek, alat perkebunan sawit, mereka jual seharga Rp 90.000 per unit sementara harga ecerannya di toko-toko material bisa sampai Rp 250.000 per unit.

Merek Malaysia

Produk-produk tersebut, lanjutnya, diproduksi tanpa merek. Namun setelah produk-produk itu pindah ke tangan para tengkulak, produk itu berubah menjadi barang impor dari Malaysia karena sudah ditempel merek dagang produk buatan Malaysia.

‘’Jadi di toko-toko material, produk kami itu diberi cap barang impor dari Malaysia yang kemudian dijual dengan harga mahal,’’ jelasnya.

Nah, untuk mengatasi permasalahan pemasaran, Marihot meminta kesediaan pemerintah untuk dapat menggantikan posisi para tengkulak sehingga harga produk tersebut dapat mereka jual dengan harga yang lebih memadai.

Marihot Lubis memperlihatkan egreg dan dodos produk Sitampurung dengan mutu internasional

‘’Itu harapan kami, kiranya pemerintah mau dan bersedia menjadi penampung produk-produk kami sehingga kami dapat lepas dari cengkraman tengkulak,’’ jelasnya.

Untuk diketahui, Isaha Kecil Menengah (IKM) maupun industri rumah tangga (home industri) di Desa Sitampurung, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara sudah digeluti secara turun-temurun, bahkan kegiatan tersebut sudah berlangsung sejak 200 tahun silam. Mereka umumnya memproduksi alat-alat pertanian dan perkebunan berbahan baku logam atau per mobil.

Para pengrajin pandai besi itu memproduksi produknya dengan mesin apa adanya, akan tetapi mutu produk, kata Marihot tidak diragukan dan siap bersaing dengan produk impor.

Oleh karena itu lanjutnya, guna peningkatan kualitas, dibutuhkan kehadiran peralatan yang lebih bagus. Modernisasi menurutnya bisa dimulai dengan pelatihan dan peningkatan standar mutu, agar mampu bersaing dari segi produksi dan kualitas barang yang diproduksi.

Menyinggung soal pelatihan, Hovbes menyebut agar pelatihan dari pemerintah benar-benar diselenggarakan dengan serius dan jangan hanya slogan saja.

‘’Kami melihat perhatian pemerintah kepada kami sangat kurang bahkan bisa disebut tidak ada. Kalaupun ada staf pemerintah yang datang berkunjung kesini, sifatnya hanya sekedar jalan-jalan pura-pura tanya sana tanya sini tapi tidak ada manfaatnya bagi kami,’’ jelas Hovbes.

Gibson Siregar

Mencari Solusi

Sementara itu di tempat terpisah, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Tapanuli Utara, Gibson Siregar membantah tuduhan yang menyebut respon pemerintah kurang.

Pemkab Taput melalui Kadis Perindag katanya terus mencari solusi dan tidak tinggal diam. Ia menyebut, disamping bantuan modernisasi peralatan dan modernisasi dengan konsep membangun kawasan industri masih terus dimatangkan.

Pemkab Taput melalui Disperindag, sudah sering melakukan sosialisasi agar desa Sitampurung dapat menjadi kawasan industri atau sentra industri. Akan tetapi masih ada kendala yang dihadapi, termasuk soal ketersediaan lahan untuk relokasi dan juga permodalan.

‘’Kalau mau menjadi kawasan industri harus ada lahan yang luas dan jika ingin menjadi sentra, harus ada pemilik modal,’’ katanya menambahkan lahan yang dibutuhkan belum ada untuk dibangun sebagai kawasan industri karena minimal setengah hektar. Bisa saja pemerintah yang akan menyediakan dengan cara membeli dari warga. ‘’Dengan catatan, para pengrajin mau menerima dan bersedia dengan konsep yang akan kita bangun,” kata Gibson.

Selain itu tambah Gibson, jika ingin memodernisasi desa Sitampurung, diperlukan komitmen dan profesionalitas dari para pengrajin. Artinya para pelaku usaha pandai besi harus menggeluti usahanya secara serius dan konsisten.

Sementara itu, situasi di lapangan sangat beda. Sifatnya industri rumah tangga sehingga dilakoni dengan gaya yang kurang profesional.  Padahal, kalau modernisasi industri, seluruh pengrajin akan ditempatkan pada satu kawasan. Padahal saat ini para pengrajin dalam menggeluti usahanya di rumah masing-masing sehingga relokasi dikhawatirkan akan sulit diterima. (sabar)

 

 

CATEGORIES
TAGS