Solidaritas dan Kesetiakawanan Tak Boleh Runtuh

Loading

Oleh : Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

BERSATU kita teguh bercerai kita runtuh, inilah peribahasa yang diajarkan tatkala kita belajar di SD pada tahun 60 – 70-an. Peribahasa itu tentu mengandung nilai solidaritas dan kesetiakawanan. Artinya, segala upaya yang kita kerjakan, jika dilakukan dengan semangat solidaritas dan penuh nilai kesetiakawan, barangkali di negeri ini tidak ada lagi kemiskinan.

Pada saat yang bersamaan, kerukunan antarsesama kita juga akan terjadi di strata kehidupan mana pun. Rasa persatuan dan kesatuan sebagaimana diajarkan oleh falsafah Pancasila harusnya dapat menjadi perekat bangsa pada saat negara ini memerlukannya untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman dan tantangan pada zaman globalisasi.Tapi, antara pandangan hidup dan realitasnya tidak selamanya bisa terwujud dalam kehidupan sehari-hari.

Solidaritas dan kesetiakawanan sosial telah menjadi barang langka. Bersatu kita teguh dan bercerai kita runtuh, juga hanya menjadi pepatah-petitih yang tidak menjadi pola pikir dan pola tindak kalangan elite dan masyarakat.

Akibatnya persatuan dan kesatuan hanya menjadi sebuah slogan kosong. Solidaritas dan kesetiakawanan sebagai sistem nilai tidak termanajemeni dengan baik, sehingga kehadirannya sebagai sistem kekerabatan dan sebagai perekat yang amat bermakna bagi tata kelola kehidupan yang mengedepankan rasa senasib sepenanggungan menjadi terdegradasi.

Syukur, tabiat yang baik ini masih dapat kita lihat, seperti saat Timnas sepakbola berlaga di GBK. Pun dapat kita lihat saat nonton acara “Kick Andy” hari Minggu, 31 Maret di Metro TV, sekelompok masyarakat di salah satu desa di Kabupaten Purwakarta berhasil membangun lima lapangan sepak bola hanya bermodalkan semangat solidaritas dan kesetiakawanan.

Kita percaya bahwa semangat semacam itu pasti masih banyak dijumpai di tengah masyarakat di berbagai daerah. Namun, ancaman dan tantangannya tidak ringan. Pemberitaan di media lebih banyak menyoroti hal-hal yang sebaliknya, atau banyak memberitakan tentang tawuran para elite, tawuran antarwarga, dan berbagai bentuk konflik sosial, sehingga opini publik terbentuk sedemikian rupa, seakan semangat solidaritas dan kesetiakawanan mengalami erosi yang mahadahsyat.

Barangkali, ada benarnya erosi itu terjadi. Dan hal ini terbentuk tidak bersifat alamiah. Gagalnya tata kelola dalam memanajemeni kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dapat menjadi salah satu sebab mengapa rasa solidaritas dan kesetiakawanan mengalami degradasi dan erosi. Padahal, fondasi utama kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya adalah ngguyub.

Proses Transformasi

Tampaknya, hidup dalam masyarakat yang terbuka dan demokratis, belum semuanya dapat memahaminya dengan benar. Proses transformasinya sepertinya berlangsung menggunakan pendekatan deret ukur atau melompat. Seharusnya liniar, gradual, dan berlangsung seperti deret hitung. Proses lompatan dengan energi yang kuat dengan semangat kebebasan telah mencabut akar kehidupan yang bersifat ngguyub. Sikap individualisme pelan, tapi pasti mengkristal dalam sanubari masyarakat dengan akibat kehidupannya menjadi terbiasa dikelola dengan semangat yang individualistis.

Kira-kira dalam bahasa olok-olok, orang akan lebih mudah mengatakan, siapa suruh miskin, siapa suruh bodoh, dan sebagainya. Ketika olok-olok itu ditanggapi dengan serius, ternyata dapat fatal akibatnya dan bisa memicu terjadinya konflik horizontal maupun vertikal. Faktor lain, uang telah menjadi “ideologi”, sehingga uang dianggap sebagai dewa penyelamat dalam kehidupan.Tidak ada uang, tidak ada solidaritas dan kesetiakawanan.

Makna hakiki dari solidaritas dan kesetiakawanan menjadi bergeser ke arah yang salah, yakni yang menjadi ukuran adalah nilai kebendaan. Sementara itu, nilai spiritualnya menjadi tergugugurkan dengan sendirinya. Runtuhnya rasa solidaritas dan kesetiakawanan tentu menjadi keprihatinan kita bersama. Sebagai bangsa, kita tidak boleh membiarkan solidaritas dan kesetiakawanan runtuh, karena hanya akan mendatangkan kerugian bagi bangsa dan negara.

Runtuh karena soal tata kelola yang salah dan runtuh hanya karena ideologi uang harus menjadi bahan renungan bersama dan kemudian menjadi sadar bahwa ada yang salah. Solidaritas dan kesetiakawanan sebagai nilai budaya genuine bangsa Indonesia harus kita bangkitkan kembali pada saat bangsa ini telah memasuki peradaban teknologi, informasi, dan globalisasi.

Solidaritas dan kesetiakawanan adalah pilar kekuatan ampuh untuk menempatkan posisi Indonesia menjadi diperhitungkan dalam pergaulan internasional. Gagal mewujudkannya, maka bangsa ini sangat mudah “dijajah” kembali, tidak dengan menggunakan kekuatan militer, tapi pengaruh kekuatan politik, ekonomi dan budaya. Oleh sebab itu, solidaritas dan kesetiakawanan tidak boleh runtuh. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS