Perdamaian Hanya Disepakati di Meja Perundingan

Loading

Konferensi-Meja-Bundar12.jp

Oleh: Fauzi Aziz

 

DENGAN kemajuan teknologi informasi, secara real time kita dapat mendengar dan melihat secara subyektif maupun obyektif berbagai peristiwa di dunia. Fenomena ini membuat kita mendapatkan kesempatan yang sama memberikan komentar, analisa atas berbagai peristiwa di dunia.

Di dunia yang makin terbuka kita bisa melihat banyak pikiran dan tindakan para pemimpin dunia untuk mengupayakan agar stabilitas di kawasan atau di tingkat global benar-benar terjaga.

Dengan demikian, kita dapat menarik kesimpulan dunia bergejolak  akibat perilaku yang bergejolak. Hal ini terjadi karena ada tabiat yang tidak bisa dinafikkan, yaitu manusia yang notabene ditakdirkan menjadi pemimpin di dunia memiliki beragam pikiran yang dasarnya subyektif.

Pikiran yang bersifat subyektif ini ketika dihantar ke ruang publik yang sifatnya terbuka, akan direspon secara subyektif oleh pihak lain yang juga.

Pikiran-pikiran yang berkembang akan bisa menjadi bernilai obyektif bilamana sudah “mengkristal” menjadi konsensus yang kemudian dijadikan norma yang menurut kaidah kepatutan dan kepatuhan harus dijaga, dipelihara dan dihormati bersama.

Perspektif pemikiran ini memberikan keyakinan bahwa dunia tidak akan pernah stabil sepanjang pikiran dan pandangan yang bersifat subyektif terus menguasai alam pikiran kita, kecuali bila sudah “mengkristal “ menjadi norma yang dibentuk melalui konsensus. Karena itu, nilai obyektifitas terlahir melalui sebuah pembelajaran.

Kondisi obyektif yang tertuang dalam norma akan menjadi acuan  sebagai best practice dalam setiap tatanan politik, ekonomi dan sosial budaya yang berlaku universal. Norma-norma spesifik tentu bisa dilahirkan melindungan kepentingan nasional dari sebuah bangsa.

Perdamaian adalah cita-cita yang hanya bisa terwujud bila kita sepakat untuk berdamai dan mampu menghormati subyektifitas secara ihlas dan jujur. Perdamaian adalah kepentingan bersama yang bersifat obyektif.

Namun hanya bisa terjadi jika pemegang hak subyektif mau berkorban untuk kepentingan bersama, yakni perdamaian. Tanpa ada kerelaan berkorban dan mampu menghormati bahwa subyektifitas adalah hak yang patut dihormati, perdamaian hanya akan menjadi impian kosong.

Bertahun-tahun para pemimpin dunia berbicara di berbagai forum resmi dan tidak resmi tentang perdamaian dunia yang abadi, tapi perdamaian  hanya terjadi di meja perundingan. Nyatanya invasi dan infiltrasi militer masih terjadi di beberapa titik dunia. Invasi dan infiltrasi politik, ekonomi dansosial budaya terjadi terus menerus yang berlin dung di balik isu globalisasi, demokratisasi dan digitalisasi.

Sepanjang di dunia masih saja terjadi perebutan pengaruh dan semangat untuk menguasai bangsa lain, dunia tidak akan berhenti bergejolak. Persoalan di Laut Tiongkok Selatan(LTS) sebagai contoh adalah bukti bahwa ada kekuatan bangsa besar yang merasa paling “berkuasa” di wilayah tersebut.

Sementara bangsa lain dinilai tidak berhak mempunyai sebagian wilayah di LTS, maka perdamaian di kawasan sengketa terse but akan sulit terwujud karena kepentingan subyektif muncul di antara para pihak yang terlibat. Bangsa di dunia selalu mengumandangkan cinta damai, tetapi pada kenyataannya bernafsu ingin melakukan tindakan invasi dan infiltrasi, baik bersifat idiologis, politis, sosiolgis kultural dan ekonomis.

Ini fakta yang tak terbantahkan. Realitas ini menjadi sebuah indikasi subyektifitas akan senantiasa berupaya menjadi lebih mengedepan ketimbang persoalan obyektifitas karena merasa dirinya lebih adidaya dan lebih pantas menjadi penguasa dunia.

Tekan menekan diantara berbagai kepentingan terus berlangsung hingga kini dan isu akan pentingnya perdamaian terus bergaung. Tapi faktanya dunia ini terus bergejolak akibat perilaku para penghuni dunia juga tidak pernah berhenti bergejolak karena berjuang untuk kepentingan subyektifnya.

Oleh sebab itu,perdamaian di dunia menja di bersifat relatif. Faktanya, dunia pernah mengalami perang dunia kesatu, kedua, perang dingin dan sekarang kita dikenalkan istilah perang proksi (proxy war). Inikah gambaran dunia yang sebenarnya, tak pernah stabil dan damai karena para penganut faham subyektifitas selalu membuat dunia bergejolak. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).

CATEGORIES
TAGS