Move On

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

SERING kali kalimat move on digunakan oleh sebagian masyarakat kita akhir-akhir ini. Apakah dia pebisnis maupun selebritis atau sosialita. Kalimatnya pendek dan enak dibaca. Move on, menjadi sesuatu yang “baru” dan pilihan katanya elegan, penuh harapan serta terkesan problem sudah terpecahkan, meskipun barangkali tidak seratus persen. Yang penting, pelan, tapi pasti barangkali satu per satu benang kusut sebuah masalah sudah dapat terurai.

Apakah bangsa Indonesia sudah move on untuk menyongsong hari depan? Menjawabnya tidak mudah, karena banyak sekali pikiran dan nalar yang berkembang. Ada yang mengatakan sudah move on, sebagian yang lain mengatakan belum. Mana yang benar dan mana yang salah di antara dua kutub pandangan tadi, barangkali tak begitu penting untuk diperdebatkan sampai harus memelototkan mata.

Pastinya kita kepingin Indonesia harus bisa move on. Move on just now. Kita songsong ke depan bagaimana. Terlalu lelah dan banyak energi terbuang percuma hanya sekadar berdebat tentang BLSM. Sinisme sarkasme tentang asap tebal. Skeptis tentang cara dan metode kerja mengurus negeri ini. Maunya apa dan seperti apa, serta bagaimana caranya, ujungnya tak jelas. Anak-anak kita bilang asbun (asal bunyi). Tong kosong nyaring bunyinya.

Tahun 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah hadir di tengah-tengah kita. Bendera ASEAN akan mulai berkibar di mana-mana di seluruh Tanah Air ibaratnya. Tapi, hingga saat ini, mana ada elite politik di negeri ini yang move on agar negeri ini bisa menjadi pemimpin angsa terbang (flying gees) untuk menjelajahi kawasan ASEAN melalui investasi dan perdagangan. Move on di bidang politik, move di bidang ekonomi, dan move di bidang sosial dan budaya, karena pilar MEA dibangun atas dasar pilar politik dan keamanan, ekonomi, serta sosial-budaya yang berbasis pada pusat-pusat kerakyatan yang damai.

Tampaknya memang harus terus saling mengingatkan di antara kita ini sebagai sesama bangsa, meskipun adakalanya “menyakitkan”, karena memang kebahasaan kita berbeda-beda satu sama lain. Ada yang suka menggunakan bahasa terang dan ada pula yang gemar memakai bahasa halus.

Ayolah duduk satu meja, berbicara dari hati ke hati penuh elan dan kesantunan. Habis itu move on. Di bidang polkam apa saja yang harus dilakukan dari soal asap, perbatasan hingga soal Laut China Selatan. Di bidang ekonomi, apa saja yang mendesak harus dibereskan dan dikeroyok rame-rame agar interkoneksitas antardaerah dan antarkawasan menjadi lancar, bebas hambatan, dan tak perlu antre berjam-jam, ketika harus masuk kapal di Pelabuhan Merak.

Di bidang ekonomi move on-nya harus cepat, karena sektor ini adalah penggerak utamanya. Di bidang sosial budaya, isunya juga banyak sekali. Kemiskinan dan pengangguran masih terus meronta-ronta, meminta perhatian. Akses ke pendidikan dan kesehatan bagi sebagian masyarakat yang masih memerlukan uluran tangan pemerintah juga perlu dibenahi lebih serius dan fokus kepada hal-hal bersifat strategis daripada sekadar kotak-katik kurikulum.

Membangun etos kerja, disiplin, mengarahkan masyarakat yang bertalenta menjadi manusia kreatif dan inovatif adalah bagian dari strategi budaya yang harus digarap dengan penuh semangat pengabdian. Di ASEAN, Indonesia harus berbuat banyak dan pantas menjadi pemimpin angsa terbang. Pengalaman hidupnya cukup panjang untuk dipelajari. Dijajah saja 350 tahun lamanya. Merdeka sudah lebih dari 65 tahun. Riak gelombang untuk membuat negeri ini supaya benar-benar berdaulat secara politik, ekonomi, dan budaya, banyak tantangan dan hambatan yang harus dihadapi.

Bersyukurlah, sampai hari ini Indonesia masih ada dan masih utuh.Tapi, untuk merawat dan memajukannya, kita perlu move on bareng-bareng. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS