Daya Saing Hanya Sebuah Nyanyian

Loading

Oleh : Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

SUARA hati ini terpaksa disampaikan lagi dan siapa pun berhak menyampaikannya untuk kepentingan yang lebih besar, yakni agar bangsa dan negara ini menjadi unggul dalam percaturan internasional. Pemerintah sebaiknya tidak termasuk salah satu yang harus ikut menyanyikan lagu “daya saing” meskipun tidak diharamkan, karena pemerintah yang seharusnya menciptakan daya saing sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya sebagai regulator dan fasilitator.kegiatan ekonomi di masyarakat.

Kegamangan, kegalauan, dan ketidakpastian bukan faktor penyumbang terciptanya daya saing, tetapi malah menjadi sebaliknya,yakni pencipta ketidakberdayaan alias mengurangi kemampuan daya saing. Contoh menaikkan harga BBM pada waktu yang tidak tepat, saat inflasi sedang tinggi, ikut mendistorsi daya saing.

Industri, meskipun hanya terkena dampak kurang dari 2% atas naiknya biaya produksi, tapi industri masih punya beban lain yang menekan daya saingnya. Antara lain, tingginya biaya logistik yang mencapai sekitar 17% dari biaya produksi. Atau kalau mau dibuat ke arah yang lebih makro, yang bersifat agregat angkanya mencapai sekitar 24% dari PDB.

Kemampuan ekspor negeri ini juga relatif di bawah kemampuan ekspor beberapa negara ASEAN lainnya. Ekspor barang dan jasa dari Indonesia ke mancanegara diukur dengan nisbah terhadap PDB hanya di bawah 30%. Sementara itu, Singapura bisa mencapai rata-rata 200% dari PDB negara yang bersangkutan. Malaysia rata-rata sekitar 100% dan Thailand angkanya di sekitar 75% dari PDB-nya. Angka-angka tersebut diolah dari data BPS selama delapan tahun terakhir (2005-2011).

Akibat daya saing tertekan, meskipun pasar dalam negeri Indonesia cukup besar dan ditopang oleh pengeluaran belanja konsumsi rumah tangga yang besar (rata-rata 3 tahun terakhir di atas 50% dari PDB), pasarnya mengalami tekanan yang kuat akibat barang impor yang masuk. Semua pihak sudah meningatkan bahwa pemerintah tidak boleh lelah untuk melaksanakan tanggung jawab utamanya, yaitu menciptakan lingkungan yang kondusif, sehingga efisiensi dan produktivitas kegiatan ekonomi di dalam negeri terbantu.

Yang sudah bolak-balik disuarakan melalui dendang “daya saing” adalah persoalan disharmonisasi regulasi. Menjadi harmonis kalau pemerintah dan DPR bisa mengatasinya bersama-sama. Kalau dibiarkan atau hanya didendangkan menjadi tidak lucu, karena menjadi sengau bunyinya. Kalau sengau ditambah berisik, pasti siapa pun yang mendengarnya akan kabur, minimal menghindar.

Draf Keputusan

Tanpa berniat memuji Jokowi sebagai Gubernur DKI, harusnya pejabat pemerintah di pusat dan daerah melakukan hal yang seperti itu, untuk memecahkan masalah yang dianggap menghambat di lapangan. Koordinasi bukan hanya berdebat soal angka, tapi pembahasannya harus menukik kepada masalah pokok, yaitu mengatasi disharmonisasi regulasi.

Inilah yang dikerjakan oleh Tim Deregulasi dan Debirokratisasi Nasional pada zaman Pak Harto dan tim itu dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian.Yang dibawa ke presiden adalah seluruh draf keputusan penting yang akan diambil oleh pemerintah dari berupa PP, Perpres, Keppres, dan Kepmen yang merupakan produk hukum yang harus disempurnakan.Yang seperti itu tidak lagi dilakukan oleh pemerintah.

Akibatnya, pemerintah kena sasaran tembak bahwa pemerintah hanya omong doank (omdo). Ke depan, tentu harus lebih baik. Kantor Menko Perekonomian harus melakukan pekerjaan itu, bukan mengurusi MP3I, yang semestinya tanggung jawab Bappenas.

Kita harapkan daya saing bukan hanya dinyanyikan, tetapi dinyatakan dalam bentuk tindakan. Ingat nasihat para pinisepuh, yen nyambut gawe ojo kokehan ngomong, mengko mundak ora rampung-rampung sing dikerjake (kalau bekerja jangan banyak omong, nanti tidak selesai-selesai apa yang dikerjakannya). ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS