Kurangi Impor Kakao, Ganti Jadi Pengekspor Produk Cokelat

Loading

20150917-Menperin---pabrik-

YOGYAKARTA, (tubasmedia.com) – Kombinasi peningkatan produksi biji kakao dan pengembangan produk makanan minuman cokelat diyakini sanggup mendongkrak pengembangan industri berbasis pangan lokal ini.

“Jika dua strategi itu berjalan optimal, maka secara bertahap kita bisa atasi masalah kekurangan bahan baku dan mengurangi impor kakao. Bahkan kita balik hingga bisa menjadi pengekspor produk olahan kakao berupa cokelat,” kata Menteri Perindustrian Saleh Husin saat memimpin peringatan Hari Kakao Indonesia (Cocoa Day) ke-3 di Ambarukmo Plaza, Yogyakarta, Kamis silam.

Turut hadir Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Peringatan kali ini bertema “Bersama dari Jogja Istimewa membangun kakao dan cokelat Indonesia”.

Perhatian Pemerintah ini berangkat dari peringkat Indonesia di posisi ketiga produsen biji kakao terbesar dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Sepanjang 2014 produksi biji kakao mencapai 370 ribu ton jika merujuk data International Cocoa Organization (ICCO).

Meski demikian, impor biji kakao terus bertambah. Jika pada tahun 2013 volume impor hanya 30,7 ribu ton maka pada 2014 membengkak tiga kali lipat menjadi 109,4 ribu ton. Di sisi lain, ekspor kakao olahan terus melaju setiap tahun. Tahun 2013 kakao olahan Indonesia yang dikapalkan ke luar negeri sebanyak 196,3 ribu ton lalu bertambah menjadi 242,2 ribu ton pada 2014 alias meningkat 23,3%.

“Dari tiga data itu sangat jelas artinya. Yaitu kita memang produsen kakao kelas dunia tapi juga masih kekurangan kakao karena industri olahan kakao, yang lebih dikenal sebagai produk cokelat, sangat-sangat bergairah,” ujar Saleh Husin.

Guna mengamankan pasokan bahan baku, salah satu kebijakan pemerintah adalah pemberlakuan Bea Keluar (BK) Biji Kakao sejak 2010. Hasilnya ekspor biji kakao turun dari 188,4 ribu ton pada 2013 lalu menjadi hanya sepertiganya atau 63,3 ribu ton pada tahun berikutnya.

Pada tahun 2014, devisa yang disumbangkan dari komoditi kakao mencapai USD 1,24 miliar, dan memiliki potensi untuk terus ditingkatkan.

Pengembangan industri ini, lanjut Menperin, diharapkan makin meningkat seiring digulirkannya paket kebijakan ekonomi oleh Presiden RI Joko Widodo. “Semangat paket kebijakan itu adalah deregulasi agar motor kegiatan ekonomi terus bergerak dan menambah lapangan kerja. Juga agar investasi, termasuk kakao dan cokelat terus masuk dan menciptakan nilai tambah,” paparnya.

Masih minimnya konsumsi cokelat di Indonesia, menurut Menperin justru menunjukkan masih adanya ruang bagi pengembangan industri ini.

Salah satu upaya untuk peningkatan konsumsi cokelat adalah melalui sosialisasi maupun gerakan seperti Peringatan Hari Kakao Indonesia yang berlangsung dari 17-20 September 2015. Acara yang siap digelar diantaranya pameran, penjualan produk, workshop, pemahatan patung cokelat, kompetisi pembuatan kue berbasis cokelat untuk para siswa/siswi SMK, yang ditujukan dalam rangka mengetahui pengetahuan dan kemampuan para siswa tentang pembuatan makanan berbasis cokelat.

Khusus tentang sosialisasi, Menperin mengusulkan perlunya penyebaran pengetahuan tentang istilah kakao dan cokelat. “Perlu disampaikan pula bahwa produk makanan dan minuman yang lazim disebut sebagai cokelat diolah dari bahan baku yang berasal dari tanaman kakao yang banyak ditanam di Indonesia,” ujarnya.

Meski berupa pengenalan istilah dan asal-usul komoditi pangan tetapi Saleh yakin hal itu memperkuat pemahaman masyarakat tentang produk dalam negeri. “Dari tahu lebih detail, kenal lebih dekat, selanjutnya kan menjadi cinta. Tahu tentang kakao dan cokelat, kemudian rutin mengonsumsi cokelat dalam negeri,” selorohnya.

”Brand” Cokelat Indonesia
Di Yogyakarta, Menperin juga menyambangi sentra industri olahan kakao. Terletak di kawasan Kotagede, cokelat yang diproduksi PT Anugerah Mulia Indobel ini terkenal dengan merek ”Cokelat Monggo.”

”Langkah branding seperti ini menjadi contoh konkret bagaimana memasarkan dan mengenalkan produk. Ada unsur pendekatan budaya, ketimuran, lokalitas, tapi tetap bermutu,” ujar Saleh Husin memberi apresiasi.

Menurut pemilik dan direktur Monggo, Thierry Detournay, pihaknya memasarkan produk di dalam negeri. Meski belum ekspor, namun produksinya terus meningkat hingga sekitar 300 kg per hari.

“Untuk teman-teman IKM cokelat yang mengembangkan di daerah, branding yang dapat dilakukan adalah memposisikan produk sebagai oleh-oleh sehingga meningkatkan nilai produk,” ujarnya berbagi ilmu, sembari mengingatkan pentingnya kualitas, hieginitas proses produksi dan kemasan (packaging).

Selain Monggo, merek cokelat yang telah dikembangkan secara kreatif oleh para pelaku industri di berbagai daerah antara lain Chocodot, Ndalem, Cokelat Rasa Sayang, Mie Cokelat, Soklate dan Cholata.

Industri serupa juga berkembang di daerah penghasil seperti cokelat Baruga di Makassar, cokelat Tadulako di Palu Sulawesi Tengah dan cokelat Bali.

Ke depan, imbuh Menteri, unsur –unsur pemerintah pusat dan daerah perlu mempertajam promosi dengan langsung menyebut merek cokelat yang dikembangkan di daerah.

”Ini langkah sederhana tapi mengena. Kita jadikan diri kita sebagai duta merek, jadi tidak hanya mengatakan bahwa ’kami memiliki produk cokelat dari daerah sendiri’ tetapi langsung saja misalnya mengatakan ’kami punya oleh-oleh cokelat merek Monggo, Ndalem, Baruga, Sakulati dan lain-lain. Ini agar keluarga dan anak-anak kita juga mengenal cokelat dalam negeri dan tidak hanya hafal merek cokelat luar negeri,” tandasnya.

Senada, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mendukung peningkatan produktivitas tanaman kakao dari 500 kg per hektare menjadi berlipat sampai 2 ton per hektare.

Hal ini bakal meningkatkan pendapatan petani seiring pengembangan industri olahan makanan minuman cokelat. Apalagi, DIY tengah mengembangkan Desa Kakao di Gunungkidul dan Kulon Progo.

“Pengusaha industri kecil dan menengah cokelat juga perlu memperbaiki tampilan kemasannya. Sentuhan kreativitas pasti menambah daya tarik produk,” ujarnya saat meninjau stan IKM cokelat bersama Menperin di tempat yang sama.

Secara nasional, menurut data Kemenperin, perusahaan pengolah kakao telah bertambah. Pada 2010 tercatat ada 15 perusahaan, lantas berbiak menjadi 19 perusahaan pada 2015 ini.

Kemenperin juga mencatat, kapasitas produksi juga berlipat ganda dari 345 ribu ton menjadi 765 ribu ton. Nilai investasi juga berlipat hingga 140 persen dari USD 250 juta pada 2010, menjadi USD 600 juta pada 2014. (ril/sabar)

CATEGORIES
TAGS