Jakarta Tetap Macet Koq

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

Ilustrasi

HARUS diakui, suhu politik menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Jakarta 20 September 2012 semakin memanas. Masing-masing pendukung calon gubernur dan wakil gubernur ibukota Republik Indonesia itu memasang strategi untuk memenangkan figur yang dijagokan. Ada yang melalui opini, ada juga melalui selebaran, spanduk dan banyak lagi. Sah-sah saja sih, tidak ada yang salah. Namanya saja ‘’bertanding’’.

Semua cara pasti dilakukan agar pertandingan tersebut dimenangkan. Mau spandung sege apa, selebaran sebanyak dan semewah apa-pun dicetak dan opini sehebat apa yang disebarkan, silakan saja. Yang penting masih berada dalam koridor.

Misalnya tidak menyinggung perasaan pihak lawan. Tidak mengarang kelemahan lawan dan tidak menjelek-jelekkan rival, apalagi merambat ke isu yang berbau SARA. Tidak etis rasanya jika di alam demokrasi dalam negara berdasarkan Pancasila, diembus-embuskan isu SARA untuk merebut tahta kekuasaan yakni kursi gubernur.

Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti, pernah mengatakan bahwa beredarnya selebaran berbau SARA yang melarang memilih pemimpin kafir adalah sebagai bentuk upaya agar warga Jakarta lupa akan track record pemimpin yang bersih dalam memimpin, dengan menyinggung agamanya.

Rasanya benar apa yang diutaran Ray Rangkuti. Kenapa ? Isu bernada SARA akan segera melucuti kebutuhan warga Jakarta yang mengharapkan kesejahteraannya meningkat dan Jakarta bebas dari sejumlah masalah. Kalau hanya pertimbangan agama digunakan untuk memilih pemimpin, masyarakat pemilih diajak untuk melupakan pertimbangan apakah calon itu bersih atau tidak, punya solusi atau keahlian menyelesaikan persoalan Jakarta atau tidak?

Karena sebenarnya pemimpin yang dibutuhkan sebuah negara, khususnya sebuah negara seperti Indonesia yang sangat demokratis, adalah pemimpin yang dapat melakukan apa yang dibutuhkan masyarakat jika menjabat selama satu periode bukan apa agamanya selama memimpin.

Sebagai catatan saja barangkali kepada seluruh warga DKI Jakarta, bahwa Jakarta sangat membutuhkan pemimpin yang mampu dan bisa mengatasi berbagai masalah Jakarta. Kita semua tahu kalau Jakarta dililit berbagai masalah seperti kebakaran, membludaknya pendatang baru, kekerasan antar preman, tawuran pelajar, sampai masalah kemacetan dan banjir.

Jika kita semua sepakat bahwa pemimpin yang kita butuhkan adalah pemimpin yang mampu dan mau menyelesaikan beragam masalah tersebut, maka pertimbangan yang harus kita lakukan adalah kemampuan figur yang akan kita pilih.

Jika pertimbangan agama menjadi utama, terlalu besar resiko dan terlalu mahal ongkosnya yang harus kita tanggung bersama. Keutuhan dan kedamaian serta kebersamaan yang sudah tercipta selama ini, janganlah dibiarkan tercerai-berai hanya untuk merebut kursi gubernur.

Rakyat Indonesia umumnya dan warga Jakarta khususnya jangan mau terprovokasi oleh keinginan seseorang yang ambisi jadi pemimpin dengan cara membentur-benturkan kepercayaan.

Apapun yang terjadi, siapa-pun yang terpilih jadi pemimpin, posisi rakyat tetap jadi rakyat di mata pemimpin dan Jakarta rasanya tetap macet Bahkan ada orang bijak mengatakan bahwa sekali dalam lima tahun, penguasa kembali menghitung jumlah warga. Sekali lagi, menghitung jumlah warga dan bukan memperhitungkan.

Artinya, jumlah warganya dihitung-hitung kembali hanya untuk memenangkan pemilihan tersebut. Karena ambisi yang membabi-buta itu, calon pemimpin menjadi tidak peduli, apapun yang terjadi di tengah masyarakat, yang penting dia dipilih dan setelah dia terpilih, dia lupa bahkan melupakan rakyat.

Karena itu, kita warga DKI Jakarta tetaplah bersatu, apapun agamanya, apapun kepercayaannya dan apapun latar belakangnya mari kita pilih calon pemimpin yang menurut kita mampu memperbaiki Jakarta. Selamat memilih.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS