Jadikan BKT Ikon Jakarta

Loading

Oleh: Anthon P. Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

BANJIR Kanal Timur (BKT) sepanjang lebih dari 30 kilometer dari mulai daerah Cipinang (Jakarta Timur) sampai Cilicing (Jakarta Utara) dapat dijadikan ikon atau penanda Jakarta dengan berbagai fasilitas yang terbangun sepanjang kanal buatan tersebut. Hal ini akan dikenang sebagai buah tangan karya bangsa di era kemerdekaan dengan teknologi maju sekarang ini. Berbeda dengan pembangunan Banjir Kanal Barat dari Manggarai (Jakarta Pusat) hingga Pluit (Jakarta Utara) yang dibangun pada zaman kolonial Belanda, yang dimaksudkan untuk mengamankan istana dan kepentingan bisnis kompeni dari banjir dengan membendung sungai-sungai ke pusat kota.

Sekitar 10 tahun lalu, saat pembangunan BKT ini digagas, selain untuk membendung sejumlah sungai yang mengalir di bagian timur guna mengatasi banjir Ibu kota, kanal ini juga dirancang akan dijadikan sebagai sarana transportasi air dari laut pantai utara ke daratan kota dan sebaliknya. Sudah tentu tidak hanya sarana angkutan umum, tetapi juga bisa dijadikan sebagai angkutan wisata dengan kapal-kapal pesiar atau restoran-restoran terapung. Betapa menguntungkan, apabila kanal buatan di tengah kota ini bisa dijadikan lahan bisnis baru yang bisa jadi ikon Jakarta.

Sekarang ini, dalam proses pembanguan BKT sudah terlihat pembangunan jalan-jalan semen beton yang akan dikhususkan bagi lintasan pesepeda. Saat ini memang masih terlihat gersang, karena pohon-pohon pelindung yang baru ditanam belum bertumbuh dengan baik. Lintasan pesepeda ini pun, kelak bisa menjadi daya tarik atau menjadi ikon Jakarta. Kawasan hijau dan bebas polusi karbon dioksida ini, tentu akan menarik peminat, tidak hanya warga kota, tetapi juga dari luar kota. Hal ini tentu memerlukan fasilitas-fasilitas penunjang yang harus diantisipasi mulai sekarang.

Jarak tempuh pesepeda lebih dari 30 kilometer itu, tentu membutuhkan berbagai fasilitas penunjang, seperti tempat beristirahat, tempat makan dan minum, tempat penjual alat-alat kelengkapan sepeda, pakaian, aksesoris dan berbagai cendera mata.

Larangan Gubernur Fauzi Bowo baru-baru ini agar tidak ada yang membangun kios-kios atau tempat usaha sepanjang lahan BKT, sangat tepat dan kebijakan ini harus diawasi ketat oleh Satuan Polisi Pamong Praja sampai aparat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terbawah. Fasilitas penunjang tersebut, serahkan saja kepada masyarakat atau kelompok pebisnis swasta yang jeli melihat pasar, dan membangun di luar proyek BKT. Hal ini sudah terlihat dengan tumbuhnya usaha-usaha baru, maupun meningkatnya niat transaksi jual-beli lahan sepanjang areal BKT tersebut.

Pemerintah Provinsi DKI mulai sekarang sudah harus mengarahkan bentuk pembangunan dan fasilitas apa yang boleh dibangun serta persyaratan lainnya yang mendukung program BKT sebagai ikon Jakarta. Pada akhirnya, semua kebijakan ini akan menambah isi pundi-pundi Pemprov DKI dari tambahan pendapatan pajak dan retribusi dari berbagai fasilitas atau jenis usaha baru tersebut.

Inovasi Baru

Sudah waktunya Gubernur dan para petinggi Pemprov DKI Jakarta sekarang ini berusaha menciptakan inovasi baru berupa proyek monumental yang akan dikenang generasi mendatang. Ciptakanlah karya fisik yang legendaris dan monumental pada masa kepemimpinan sekarang ini.

Pemimpin Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Gubernur dan DPRD) adalah pejabat publik, bukan direksi dan komisaris perusahaan atau yang hanya memikirkan untung-rugi pendapatan daerah secara finansial. Ia juga perlu menanamkan kebanggaan bagi warganya, dan hasil karyanya mendorong kreatifitas yang tinggi bagi masyarakat untuk membangun kotanya. Masyarakat juga perlu didorong untuk membangun.

Alangkah lebih baik apabila Pemeritah Provinsi DKI Jakarta bertindak sebagai fasilitator, ketimbang terjun sebagai pengusaha mencari dana sendiri untuk membiayai pembangunan. Seperti rencana Gubernur DKI Jakarta akan menjual obligasi sebesar Rp 1,7 triliun kepada masyarakat, untuk membangun empat proyek besar. Yakni akan menjual obligasi Rp 185 miliar untuk membangun RSUD Pasar Rebo, dana obligasi Rp 253 miliar untuk Pengelolan Air Limbah Casablanca, dana obligasi Rp 500 miliar untuk membangun rumah susun Penjaringan, serta dana obligasi Rp 757 miliar untuk proyek Terminal Pulo Gebang.

Kebijakan seperti ini perlu dipertimbangkan DPRD DKI Jakarta untuk menyetujuinya, sekalipun penerbitan obligasi ini mengacu kepada Undang-Undang dan Peraturan Menteri Keuangan. Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) DKI Jakarta saat ini berkisar antara Rp 25 triliun hingga Rp 30 triliun per tahun. Proyek yang menghasilkan profit dan tidak perlu dibiayai APBD, serahkan saja kepada swasta, jangan dimonopoli sendiri. ***

CATEGORIES
TAGS