Hidup Bahagia
Oleh: T. Dewi
SEMUA orang yang hidup di dunia pada dasarnya selalu mengejar kebahagian hidup. Akan tetapi ‘Hidup Bahagia’ seperti apa yang dimaksud? Umumnya orang mengejar bahagia yang diartikan keuntungan yang tergantung pada keadaan di luar atau bahagia lahir saja, yang dapat dinikmati oleh pancaindra manusia, yang hanya bersifat sementara tidak kekal.
Oleh karena keuntungan yang dapat ditangkap oleh pancaindra atau bersifat keduniawian akan segera berubah menjadi kesedihan, apabila sesuatu yang didapat yang dianggapnya sebagai keberuntungannya itu telah tidak lagi membuatnya puas karena bosan, rusak, hilang dan sebagainya. Sesungguhnya, setiap pribadi tanpa sadar hakikatnya juga ingin memperoleh bahagia sejati yang kekal abadi, yang terdapat di belakang layar barang-barang yang fana itu. Di manakah harus dicari ‘Hidup Bahagia Sejati’ itu?
‘Bahagia Sejati’ bukanlah sesuatu yang bersifat obyektif, yang masih dapat musnah. Bahagia Sejati adalah bahagia yang bersifat subyektif, artinya bahagia yang tidak terdapat di luar, tetapi di dalam pusat batinnya atau hatinya sendiri. Untuk dapat menyaksikan kebenarannya yang bersifat subyektif ini, terlebih dahulu orang harus mengalami seribu satu macam keberuntungan yang fana dalam kehidupannya.
Sebab jika orang belum banyak pengalamanan tentang suka dan duka atau pahit-getirnya mengejar keberuntungan di luar yang bersifat duniawi yang selalu berubah berganti, yang selalu menarik hatinya karena gemerlap keindahan dunia yang bersifat sementara, pastilah orang tersebut belum memiliki kesadaran dan belum kuasa untuk kembali ke dalam dirinya sendiri, dan menemukan Sumber Bahagia yang terletak di dalam batinnya atau hatinya sendiri.
Jadi, bahagia yang bersumber dari dalam batin atau hati seseorang adalah bahagia yang kekal abadi, ialah raja dari semua pengalaman, yang sudah berada di atas semua pengalaman. Pribadi yang telah mencapainya tidak lagi silau pada gemerlap keindahan dunia, walaupun ia berada di atas limpahan kegemerlapan dunia.
Dalam hatinya telah putus tali-tali yang mengikatnya pada keadaan fana yang dapat mengikat hatinya, pikirannya atau jiwanya. Ia telah bebas dari segala keadaan di dunia yang dapat membuat senang-susah, gembira-sedih, sehat-sakit dan sebagainya. Hal ini dapat terjadi karena ia telah melewati jalan dari segala pengalaman mencari keberuntungan yang tidak kekal. Ia telah sadar bahwa yang dicarinya bukan lagi bahagia yang bersifat sementara, tetapi kebahagiaan sejati yang berada dalam batinnya sendiri.
Itulah yang disebut dengan ‘Hidup Bahagia Sejati’ ialah ‘Kemerdekaan Hidup’ yang telah terbebas dari hukum Tuhan yang abadi; barang siapa yang berbuat buruk akan mendapat balasan kesulitan, dan siapa yang berbuat benar akan mendapat balasan keberuntungan. Orang yang mencapai ‘Hidup Bahagia Sejati’ telah dapat berbuat yang tidak menumbuhkan pembalasan. Inilah yang sebenarnya dicari setiap pribadi dari kemanusiaannya di dunia ini, yang awalnya dicari di sepanjang keberuntungan lahir yang selalu berubah/berganti dalam perjalananan menempuh kehidupan di dunia.
Bahagia Sebagai Tujuan
Seperti yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa ‘Hidup Bahagia Sejati’ adalah sikap positif yang telah tumbuh di dalam hati dan pikiran seseorang. Berarti orang yang hati dan pikirannya tidak lagi berubah-rubah senang dan susah atas kejadian yang dihadapi dalam menjalani kehiduan dunia. Tetapi hatinya telah tenteram dan pikirannya telah tenang. Bahagia yang demikian inilah yang sebenarnya diinginkan setiap orang, bukan keberuntungan yang fana dan selalu berubah.
Orang yang telah sadar pada ‘Hidup Bahagia Sejati’ yang telah berada dalam lubuk hatinya yang suci murni adalah orang yang telah dewasa jiwanya. Ia telah dalam kesadaran yang dalam sebagai hamba Tuhan yang selalu melaksanakan kehidupan di dunia karena baktinya kepada Tuhan sebagai Sumber Hidupnya, karena ia sadari juga bahwa, ia berasal dari Tuhan dan kepada Tuhanlah ia akan kembali.
Kesadaran hidup yang demikian telah ia laksanakan dengan kepercayaan yang dalam pada Sumber Hidupnya, Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga ia telah menyadari bahwa semua kuasa yang ada pada dirinya sebenarnya hanyalah pinjaman Tuhan kepadanya, dan bukan miliknya. Oleh karena semua kekuasaan yang tergelar di dunia ini, telah ia rasakan sebagai kuasa Tuhan, dan dengan patuh ia melaksanakan semua pekerjaan yang ada dihadapannya dengan penuh kasih kepada sesama.
Akan tetapi bukan berarti ia menjauhi diri dari kehidupan di dunia, dengan menyendiri, menghindari keramaian dunia. Ia tetap berkarya sesuai dengan tugasnya dan kekuatannya, seperti yang kita jalani sekarang dengan tetap membutuhkan makan, pakaian, rumah, kendaraan dan barang-barang lain yang menjadi keperluan hidup, tetapi hatinya tidak lagi terikat, melekat pada barang-barang dunia itu. Demikianlah pada hakikatnya yang disebut melepas keduniawian, yang berguna untuk mencapai kemerdekaan jiwa.
Mencapai Hidup Bahagia
Mencapai ‘Hidup Bahagia Sejati’, jiwa yang selalu positif, perlu menegakkan dahulu tujuan hidup sejati di dalam hati sanubari, yaitu menegakkan keyakinan hanya Tuhanlah sembahan sejati manusia, tiada yang lain. Keyakinan yang kuat kepada Tuhan menjadi kompas ketika melaksanakan kehidupan di dunia ini.
Kompas ini terpenting, oleh karena apabila tidak ada kompas itu, bagaikan perahu yang berlayar tanpa kompas, tidak mengetahui arah yang akan dituju, terombang-ambing dilautan lepas dan akan terdampar tanpa tujuan yang jelas. Setelah kompas dipegang erat-erat, perahu harus berjalan dengan baik agar tidak kandas diterjang angin, gelombang besar yang dapat saja datang tiba-tiba di tengah lajunya mengarungi lautan.
Perahu dapat selalu berlayar stabil apabila penumpang selalu sadar dengan tekun berbakti kepada Sembahannya yang sejati, ialah Tuhan YME, kebaktiannya didasari kesucian hati. Kesucian hati diperoleh karena selalu kasih sayang kepada sesama dengan tanpa pamrih dan paksaan, hal ini pun diperoleh karena telah selalu mengendalikan pikiran dan keinginan sesuai arah kompas.
Akhirnya perahu berbekal kejujuran menempuh rute yang ditetapkan, tidak lari dari kenyataan yang telah ditetapkan, tetapi dengan sungguh-sungguh menjalani setiap peri kehidupan yang harus dihadapi. Kemudian bekal berikut adalah selalu mau menerima kenyataan hidup yang dijalani, senang atau susah semua diterima dengan rasa syukur kepada Tuhan atas segala rahmat-Nya.
Ketika seseorang telah memiliki rasa menerima dengan baik atau selalu bersyukur pada nikmat Tuhan, maka ia dapat dengan sabar menghadapi berbagai kesulitan hidup. Ia tidak akan terpengaruh dengan beratnya jalan yang dilalui, dengan berwatak sabar seseorang akan kuat hati sampai cita-citanya tercapai.
Berbekal kesabaran, maka dengan ketulusan hati (iklas) ia melaksanakan perjalanan kehidupan di dunia. Apabila sarana dan prasarana, teman hidup yang dimiliki selama menempuh kehidupan di dunia ini rusak atau hilang dengan rela ia serahkan kembali pada kuasa Tuhan.
Begitu pula dengan badan yang saat mudanya kuat setelah tua banyak yang lemah dan rusak, semua dengan ikhlas/rela dengan penuh kesadaran diserahkan kembali dalam kekuasaan Tuhan. Orang yang telah sampai pada sikap tulus ikhlas atau rela tidak lagi terpengaruh oleh gemerlapnya keindahan dunia.
Hidupnya sederhana, hal ini yang membuat seseorang berani berkorban apa pun, kepada siapa pun tanpa membeda-bedakan jenis, bangsa dan golongan, apakah ia tua atau muda agar kesejahteraan bersama terwujud, atau disebut dengan sikap budi luhur.
Apa yang telah diuraikan di atas adalah bekal dalam mencari ‘Hidup Bahagia Sejati’. Memang tidak semua orang dapat melaksanakannya, tetapi apabila ada satu saja diantara seribu orang telah dapat mencapai ‘Hidup Bahagia Sejati’, maka aura kebahagiaannya akan memancar dan menerangi orang yang masih mencari kebahagiaan apakah kebahagiaan yang berarti keberuntungan duniawi atau bahagianya jiwa yang merdeka. Alangkah indahnya hidup ini apabila dapat mencapai ‘Kebahagian Hidup Sejati’. ***
Penulis tinggal di Jakarta