Hak Keperdataan Bisa Ditindas Hanya Pada Pemerintahan Otoriter

Loading

Oleh: Marto Tobing

Marto Tobing

Marto Tobing

KEMUNGKINAN hak keperdataan seseorang itu bisa ditindas hanya terjadi pada suatu pemerintahan jika garis haluan politik ketatanegaraan sudah bergeser menjadi negara otoriter Maka di era demokrasi yang berpedoman pada Pancasila sebagai filosofi karakter kebangsaan, sehingga tak terpisahnya dari UUD’1945 sebagai landasan konstitusi, adalah hak setiap subyek hukum untuk mendapatkan rasa keadilan atas harkat nilai otoritas kodrati keperdataan itu sendiri.

Tak perduli, sekali pun berulang kali para terpidana mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) sepanjang ada temuan novum (bukti baru) adalah menjadi hak mutlak bagi terpidana terbukanya ruang untuk mendapatkan rasa keadilan sekali pun harus bersusah payah. Katakan saja sekali pun harus berkali lipat ganda mengajukan PK sepanjang memiliki novum mengapa tidak ?

Kita harus berusaha melawan lupa atas penindasan legalitas hukum sekedar berpedoman pada kebenaran formal yang menimpa terpidana Sengkon beberapa tahun silam. Ditengah menjalani kehidupan di penjara selama 7 tahun dari hukuman 20 tahun atas kasus pembunuhan, tiba-tiba seorang pria sesama tahanan bertemu Sengkon.

Keduanya saling Curhat (mencurahkan isi hati). Mendengar cerita Sengkon atas kasus pembunuhan itu harus menerima hukuman, rasa kemanusiaan temannya sesama tahanan itu “menggugat” nuraninya. Singkat kisah, teman Sengkon itu akhirnya menuding bahwa aparat penegak hukum mulai dari Polisi, Jaksa dan lebih-lebih hakim yang mengadili Sengkon telah melakukan kesalahan yang cukup fatal.

Pria itu mengaku bukan Sengkon yang membunuh korban tapi adalah dirinya sendiri. Pengakuan ini dinyatakan secara terbuka ke media massa dan beberapa hari kemudian Sengkon pun dibebaskan dari penjara. Karena hanya sekedar menemukan kebenaran formal dan bukan kebenaran material palu hakim menjadi salah gedor dan Sengkon menjadi korban.

Benar ada sejumlah pakar hukum yang berpendapat jika upaya berulang kali mengajukan PK, itu berarti sama saja tak ada lagi kepastian hukum. Namun pakar hukum itu rupanya lupa bahwa hukuman para terpidana yang sudah dikuatkan di tingkat Kasasi MA itu adalah telah berkekuatan hukum tetap (inckracht) dan pemenjaraan pun sedang dijalani terpidana. Eksekusi atas terpidana itu membuktikan sudah ada kepastian hukum kendati masih sebatas pembuktian atas bingkai kebenaran formal.

Padahal esensi hukum pidana adalah capaian kebenaran material sebagai realita wujud rasa keadilan. Nah, titik tolak ketimpangan capaian rasa keadilan inilah yang terus menggerogoti keteduhan hati seorang Antasari Azhar (AA) hingga terus berjuang dari balik teralis besi harus mendapatkan haknya atas rasa keadilan sebagai wujud fakta kebenaran material. Sebab ada pun capaian kebenaran formal hanya sebatas layaknya hukum perdata yang pembuktian faktualnya hanya sebatas legalitas akta atau dokumen para pihak yang bersengketa.

Sehingga kebenaran yang dicapai adalah kebenaran formal bukan kebenaran material sebagaimana dirindukan seorang terpidana AA. Sudah lima tahun terpidana AA menghabiskan waktunya di penjara Tangerang dari hukuman 18 tahun atas kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen. Hukuman sedang dijalani, itu berarti kepastian hukum sudah diterapkan.

Namun selama itu pula pria berkumis ini terus berjuang karena merasa diperlakukan secara tidak adil. Untuk mendapatkan rasa keadilan itulah akhirnya mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu boleh bernafas lega ketika permohonan (gugatan) uji materi Pasal 286 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Maka dampak ikutannya peluang Peninjauan Kembali (PK) untuk yang kedua kalinya dapat dilakukan. Sebelumnya segala upaya hukum dari tingkat banding hingga PK terpidana AA selalu kandas. Itulah sebabnya Ajeng Oktarifka Antasari, putri tunggal AA itu yang mendampingi ayahnya ketika sidang putusan di MK, awalnya bersikap pasrah jika MK tidak mengabulkan gugatan ayahnya itu.

Namun saat mengetahui permohonan uji materi itu dikabulkan Ajeng merasa bersyukur dan tak dapat berkata-kata. “Kita malah mikirnya sudah deh. Berkali-kali ditolak pasrah saja. Tapi pas dikabulkan itu benar-benar rasanya luar biasa banget Alhamdulillah…,” ujar Ajeng usai sidang di gedung MK Jakarta Kamis (6/3). ***

CATEGORIES

COMMENTS