Gibran itu Aslinya Negatif, Tak Layak Jadi Pemimpin
Oleh: Edi Hardum
USAI debat Cawapres 2024, Jumat (22/12/2023), bermunculan berbagai komentar dari semua kalangan kepada Cawapres Gibran Rakabuming Raka. Ada yang bernada positif dan tidak sedikit yang bernada negatif.
Sudah barang tentu, nada positif muncul dari pendukung pasangan Prabowo-Gibran (PS-GR) sementara komentar negatif datang tidak hanya dari pendukung lawan pasangan PS-GR, tapi juga dari orang-orang independen seperti para sarjana dan kaum intelektual yang hidupnya tidak hanya cari makan, tapi juga peduli terhadap nasib bangsa dan negara.
Komentar positif ada yang secara jujur diucapkan sesuai fakta, seperti bersuara lantang, artikulasi jelas, sistematis dan tidak terlihat perasaan gugup. Namun, ada juga komentar yang amat berlebihan. Seperti misalnya Gibran disebut lebih cerdas dari Cawapres Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD. Komentar ini jelas mengada-ada. Masa sih anak yang tidak punya pengalaman disebut lebih cerdas dari seorang doktor dan professor. Yang benar saja….
Penulis adalah orang yang kontra terhadap pasangan PS-GR dan sama sekali tidak berafiliasi kepada Parpol manapun atau Timses Paslon tertentu. Penulis hanya teken kontrak demi Merah Putih dan kemajuan NKRI.
Prabowo Penculik
Tapi terus terang, penulis selalu dan selalu mengimbau kepada siapa pun pemilih, untuk tidak dan jangan memilih pasangan Prabowo-Gibran. Penulis tentu punya alasan ilmiah dan sesuai fakta hukum dan fakta sejarah, jadi bukan karena benci secara pribadi.
Alasan pertama. Prabowo sendiri terbukti sebagai pelaku pelanggaran HAM dengan menghilangkan 13 orang aktivis pada tahun 1999. Sungguh miris citra NKRI dipimpin seorang penculik. Atas tindakan pelanggaran HAM tersebut, Prabowo sudah dihukum Dewan Perwira Militer dengan memecatnya dengan tidak hormat dari TNI.
Kedua. Gibran maju sebagai calon Presiden dengan menerabas Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pamannya Anwar Usman. Anwar Usman sendiri telah dipecat dari Ketua MK karena terbukti melanggar Kode Etik mengabulkan uji materi yang memuluskan Gibran maju sebagai Cawapres.
Ketiga. Gibran adalah seorang pembohong dan pengkhiat. Ia berbohong kepada PDIP dan masyarakat Indonesia, dimana ketika dipanggil DPP PDIP atas pertemuannya dengan Prabowo saat lebaran 2023, Gibran mengatakan, itu pertemuan biasa sebagai seorang Menteri dan Wali Kota.
Gibran saat itu menegaskan, ia tetap tegak lurus kepada PDIP dan Ketua Umum PDIP. Bahkan sempat ditayang di Tiktok, Gibran menyerukan agar memilih Ganjar sebagai Presiden RI pada 14 Februari 2023.
Gibran berkhianat kepada PDIP. Padahal ia maju secara by pass menjadi Wali Kota Solo karena tiket dari PDIP serta massa PDIP di Solo. Kalau Gibran merasa banyak pendukung, mengapa ia tidak mau melalui jalur perseorangan ketika mau menjadi Wali Kota Solo ? Tapi ia maju melalui PDIP. Dalam konteks inilah Gibran masuk dalam golongan manusia yang tidak beretika dan tidak bermoral.
Seekor Raja Hutan
Orang yang tidak beretika seperti ini, mau memberi teladan apa kepada anak muda Indonesia ? Apa Gibran berdalih bahwa dalam politik tidak perlu beretika dan dibenarkan berkhianat ? Hemat penulis, politikus tanpa etika, isi otaknya pasti hanya ingin merusak bangsa dan negara. Pemimpin yang tidak beretika tidak lebih dari seekor raja hutan. Negara pasti hancur lebur di tangan dia.
Keempat. Gibran sendiri belum banyak pengalaman dalam berpolitik bahkan tidak punya etika. Gibran baru dua tahun menjadi Wali Kota Solo. Itu pun tanpa melalui proses yang benar. Gibran dalam perjalanan pendidikannya tidak terlihat berpengalaman dalam berorganisasi seperti Senat/BEM Mahasiswa, HMI atau GMNI, dll.
Hal ini terlihat, setiap kali Gibran sebagai Wali Kota Solo diwawancarai wartawan, tidak pernah ada jawaban Gibran yang menunjukkan kalau Gibran itu seorang anak terpelajar, pembaca buku/literature ilmiah atau bisnis atau orang yang berpengalaman dalam berorganisasi.
Saat Debat Cawapres Jumat (23/11/2023) penulis tidak mengikuti penuh, hanya sebagian acara debat. Namun kemudian, setelah menonton ulang semuanya melalui youtube, penulis mencoba menenangkan diri agar fair menilainya karena untuk menilai tampilan dan substansi debat tidak boleh pakai perasaan, tapi harus pakai ratio, otak.
Hasil penilaian, pertam. Gibran tampil penuh percaya diri. Ia berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Kedua. Gibran tidak menguasai masalah dan banyak tidak tahu materi debat.
Gibran tidak tahu masalah, antara lain, pertama, terlihat ketika ia menanyakan aturan untuk emisi karbon kepada Prof. Mahfud MD. Mahfud MD menjawab standar yakni kalau membuat sebuah aturan atau undang-undang harus didahului dengan naskah akademis (NA).
NA ini sangat penting untuk melihat dari sisi ekonomi, sosial kemasyarakatan, hukum, bahkan agama, dll. Atas jawaban Mahfud MD, Gibran tanpa segan menghardik Mahfud dengan mengatakan, “Jangan ngelantur kemana-mana, jawab pertanyaan, bagaimana aturannya ?”. Bagi orang yang tidak paham soal membuat aturan atau undang-undang memuji Gibran dengan mengatakan,”Gibran hebat bisa skak Prof Mahfud MD”. Padahal yang diucapkan Gibran laksana suara orang mabuk yang tidak bermakna.
Kesalahan Gibran kedua adalah Gibran mengatakan, jumlah kunjungan wisatawan ke Solo lebih banyak dibanding ke Yogyakarta pada momen lebaran tahun 2023.
Padahal, berdasarkan data dari Dinas Pariwisata DIY(Daerah Istimewa Yogyakarta) jumlah kunjungan wisatawan di Yogyakarta 1.655.814 orang, sedangkan wisawatan ke Solo hanya 396.280 orang. Data tersebut pada periode 19 April-25 April 2023. Puyra mahkota Presiden Jokowi itu blunder dan salah besar. Apa sengaja menipu masyarakat ?
Tidak Mengerti Ekonomi
Kesalahan Gibran ketiga adalah dalam visi-misi. Target rasio pajak akan dinaikkan menjadi 23%. Target ini tidak masuk di akal karena sangat tinggi, sebagaimana dikatakan Mahfud MD. Target seperti itu tidak masuk akal karena pertumbuhan ekonomi bisa sampai 10% untuk memenuhi target rasio pajak ke level itu. Padahal selama ini pertumbuhan ekonomi 5-6%.
Sementara saat ini pemerintah Presiden Joko Widodo sendiri menargetkan tax ratio (rasio pajak) tahun 2023 berada di level 10%. Sementara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu membukukan tax ratio pada 2022 mencapai 10,39%.
Artinya, ada penurunan rasio pajak tersebut. Ketika ditanya balik oleh Mahfud MD, Gibran malah menganologikannya dengan mengatakan bukan berburu hewan di kebun binatang. Jawaban Gibran hanya sekadar membuat kagum manusia Indonesia tidak paham soal pajak dan ekonomi. Cukup banyak yang kagum dengan jawaban Gibran ini. Miris !
Sejumlah pengamat pajak mengkritisi jawaban Gibran. Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, rencana kebijakan Prabowo-Gibran itu malah berpotensi melemahkan tax ratio yang saat ini di kisaran 9% meski sempat ke level 10,39% pada 2022 atau tertinggi selama 7 tahun terakhir.
Ia mengingatkan, kinerja PPh 21 selama ini pun masih sangat baik, tercermin dari realisasi kinerja penerimaan pajak periode Januari-September 2023 yang baru diumumkan Kementerian Keuangan beberapa hari lalu. Dengan kontribusi 11,2% terhadap total penerimaan, setoran PPh 21 masih tumbuh 17,2%, sedikit turun dari periode yang sama tahun lalu 21,4%.
Kritikan serupa disampaikan, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis, Fajry Akbar. Ia mengatakan, visi misi Prabowo-Gibran ini tak sejalan dengan apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi, yakni ingin menaikkan kontribusi PPh 21.
Dalam struktur penerimaan pajak yang ideal, ia mengingatkan, penerimaan pajaknya bergantung pada penerimaan PPh 21. Dengan begitu, ia menganggap, visi misi Prabowo-Gibran dengan menaikkan batas PTKP dan menurunkan tarif PPh malah akan menurunkan tax ratio.
Kesalahan Gibran keempat adalah Gibran menyebut sudah banyak investor berinvestasi di IKN. Padahal kenyataannya belum ada investor yang masuk ke sana. Hal ini terafirmasi dengan pernyataan Presiden Jokowi sendiri.
Kesalahan Gibran kelima adalah saat Gibran menyatakan, ”Bagaimana langkah Gus Muhaimin menaikkan SGIE (cara baca Gibran: S G I E) ?”.
Atas pertanyaan ini Muhaimin menjawab tidak tahu apa kepanjangan SGIE. Karena Muhaimin menjawab seperti itu, Gibran menyampaikan konteks pertanyaannya dan kepanjangan SGIE yakni State of the Global Islamic Economy.
Tidak Layak Jadi Cawapres
Kalau Gibran benar-benar paham bahasa Inggris, maka SGIE cara membacanya adalah S JI AI I. Selain itu, sebuah pertanyaan yang bagus adalah mengangkat konteksnya dulu serta singkatan itu disebut kepanjangannya. Kalau sebut singkatan saja ya harus lafalnya dan harus sesuai ketentuan bahasa Inggris.
Namun yang Gibran lakukan tidak demikian. Lucunya, pendukung Gibran bahkan ada yang bergelar doktor pun kagum sama Gibran. Miris !
Dengan fakta-fakta lapangan, Gibran tidak layak menjadi Cawapres, selain kurang berpengalaman dan kurang berpengetahuan serta abaikan etika dalam berpolitik, Gibran banyak bohongnya demi meraih kuasa. (Penulis adalah advokat dan dosen S2 Ilmu Hukum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta)