Dimana Polantas Kita
Oleh: Sabar Hutasoit
ENTAH dari mana dan kapan dimulainya, kehadiran ‘’polisi’’ tanpa baju seragam atau lebih dikenal dengan sebutan Pak Ogah untuk ikut serta mengatur lalulintas di ibukota Jakarta, sulit menelusurinya. Namun, fakta di jalan raya menyebut, kalau kehadiran Pak Ogah, seolah sudah ‘resmi’ menggantikan posisi bapak-bapak kita dari jajaran polisi lalulintas (Polantas).
Hampir di setiap perlintasan atau belokan, peran Pak Ogah lebih dominan dibanding Polantas. Bahkan di beberapa perlintasan yang disana juga ada pos Polantas, yang terlihat mengatur belokan adalah Pak Ogah. Polantasnya dimana? Kita tidak tahu.
Istilah Pak Ogah atau polisi cepek tentu tidak asing bagi kita, bahkan menemukan mereka tidaklah sulit, apalagi di tengah kemacetan lalulintas. Mereka yang biasanya terdiri dari anak-anak muda, tampil bergerombol, dua tiga orang atau lebih, bergegas membantu pengemudi kendaraan roda empat untuk berbelok di setiap pemutaran dengan harapan si pengemudi memberi uang receh.
Sudah pasti keberadaan mereka di persimpangan jalan menimbulkan pro dan kontra, kadang menyenangkan dan kadang menyebalkan. Menyenangkan manakala pada saat macet, kendaraan kita dituntun hingga bisa keluar dari jebakan macet tapi menyebalkan saat Pak Ogah memberi waktu lebih lama kepada kendaraan yang datang dari satu arah. Tidak jarang pula saking banyaknya gerombolan Pak Ogah, membuat jalan menjadi macet.
Namun apa-pun peranan Pak Ogah di jalan raya, apakah itu membantu pengemudi kendaraan roda empat menjadi lebih mudah berbelok, atau Pak Ogah bisa mengurai kemacetan menjadi lancar atau Pak Ogah menimbulkan kejengkelan, posisi Pak Ogah yang ikut mengatur lalulintas, patut dipertanyakan.
Dipertanyakan karena akhir-akhir ini, seperti kita sebut di atas, kehadiran Pak Ogah di perlintasan atau di persimpangan jalan, sudah lebih dominan dibanding anggota Polantas. Malah tidak jarang terjadi di sejumlah perempatan jalan, jika seorang anggota Polantas terlihat mengatur lalulintas, di badan jalan yang sama ada pula Pak Ogah yang ikut-ikutan membunyikan sempritan sembari melambai-lambaikan tangan bak seorang Polantas asli yang sedang mengatur arus lalulintas.
Yang paling ideal sebenarnya, jika terjadi kemacetan, anggota Polantas yang bertugas yang bertanggungjawab mengatur dan mengurai kemacetan tersebut. Kan tetapi kenyataannya, sering yang kita temukan malahan polisi tak berseragam itu yang sibuk mengatur jalan. Bahkan tidak jarang ada oknum Polisi atau Polantas yang memilih duduk di posnya dan membiarkan tugasnya ‘diambil alih’ oleh Pak Ogah.
Bahkan kabar miring mengatakan, bahwa Pak Ogah sudah ada kerjasama dengan oknum-oknum Polantas dalam bentuk bagi hasil. Kalaulah kabar miring ini benar adanya, tampaknya pimpinan Polri sudah harus turun tangan membenahi seluruh aparatnya.
Jika hal itu benar, selain sudah melacurkan tugas mulianya, oknum-oknum Polantas sudah tidak bermoral lagi, tega ‘’mempekerjakan’’’ masyarakat mengutip recehan demi recehan dari pengemudi untuk dikumpulkan kemudian dibagi-bagi.
Sebenarnya, menjadi Pak Ogah saat ini sudah menjadi pilihan teman-teman kita yang tidak punya pekerjaan sebab menurut mereka pekerjaan Pak Ogah merupakan sektor informal yang amat menjanjikan. Tanpa modal, Pak Ogah setiap saat bisa mendapatkan uang yang tidak sedikit jumlahnya.
Dalam satu jam saja misalnya, satu belokan bisa dilalui paling sedikit 100 kendaraan dan jika dikalikan seribu rupiah, maka dalam satu jam di satu belokan terkumpul uang Rp 100.0000. Kalau satu hari 15 jam (06.00-21.00), maka uang yang terkumpul di satu belokan mencapai Rp 1,5 juta. Sebuah angka yang sangat fantastik dan teramat cukup untuk dibagi-bagi.
Namun akankah kita akan tetap biarkan dunia perlalulintasan kita berada dalam eupora yang tidak jelas. Apakah akan kita biarkan pula wajah perlalulintasan kita yang sudah semrawut ini seperti tidak bertuan? ***