Demand, King Of The King

Loading

Oleh : Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

MESKIPUN konjungtur ekonomi suka naik turun, kadang ramai, tumbuh dan berkembang, tetapi adakalanya karena berbagai faktor jalannya roda perekonomian sering sepi, melambat atau menurun kinerjanya karena mungkin kelelahan seperti badan kita kalau terus bergerak tanpa henti.

Tapi elanvita kegiatan ekonomi jarang terjadi benar-benar mati. Paling banter “mati suri” seperti yang dialami oleh Yunani di Zona Eropa. Dia akan bertenaga kembali setelah disuntik energi baru, yakni para ekonom menyebutnya diberi suntikan stimulus fiskal atau moneter.

Cuci darahnya pasti tidak cukup sekali saja tetapi bisa berkali-kali hingga akhirnya pulih. Kalau roda perekonomian melambat maka pasti semua menjadi susah. Pengangguran terjadi dimana-mana dan keresahan sosial melanda di seluruh dunia. Daya beli merosot tajam, permintaan terhadap barang dan jasa menurun, akibatnya kapasitas produksi pabrik-pabrik mengalami penurunan juga. Itulah gambaran sederhana siklus ekonomi jika dalam posisi melambat atau terjadi krisis akan terjadi keadaan yang seperti itu.

Namun jika terjadi sebaliknya maka aktivitas ekonomi akan bergairah kembali. Inilah para guru ekonomi kita mengajarkan bahwa geliat ekonomi pada dasarnya ditentukan oleh faktor permintaan dan penawaran. Banyak ahli ekonomi pula yang mengatakan bahwa realitas ekonomi dewasa ini sudah makin di drive oleh faktor permintaan dan tidak lagi di drive oleh faktor penawaran. Karena itu, judul tulisan ini secara provokatif mengambil tema itu, yakni “Demand, King Of King”.

Ayo kita buktikan di dunia nyata. Dulu para produsen minyak dunia yang tergabung dalam OPEC dengan kekuatan kartelnya bisa mendikte pasar. Sekarang OPEC tidak ada suaranya lagi. Dia tidak lagi sanggup memerankan fungsinya sebagai kartel minyak dunia karena permintaan minyak sebagai energi yang dibutuhkan masyarakat sedunia volumenya makin bertambah seperti deret ukur, sementara itu pertumbuhan produksinya tidak bisa tumbuh secepat permintaannya.

Faktor permintaan pada dasarnya sulit untuk dikendalikan sepanjang daya beli masyarakatnya masih kuat. Kita di Indonesia juga mengalami sendiri, yaitu permintaan BBM terus meningkat tajam dan pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk mengerem laju naiknya permintaan BBM. Produksi kilang minyak di dalam negeri mengalami stagnasi. Karena harga BBMnya disubsidi akibatnya beban subsidinya di APBN bertambah dan solusinya pemerintah menaikkan harga BBM.

Padahal yang harus dinaikkan semestinya produksi kilang minyaknya. Lagi-lagi inilah fakta membuktikan bahwa demand is king of the king. Jika fenomena ekonominya seperti itu, maka dalam kondisi cetiris paribus, para produsen dan para calon produsen bersahabat dan bergaullah dengan pasar sebagai pencipta permintaan barang/jasa.

Ibaratnya dalam tempo 24 jam mata dan telinga kita harus melek dan mendengar fenomena yang sedang terjadi di pasar. Pasar bergerak dinamis seiring naik turunnya permintaan. Lengah sekejap saja kita bisa tidak kebagian apa-apa dan selalu ketinggalan kereta. Dilihat dari aspek dinamika permintaan ini, maka hidup matinya Karya Indonesia akan banyak ditentukan oleh apakah Karya Indonesia mampu merespon dengan cepat dan tepat pasar yang sedang tumbuh.

Karya Indonesia dalam posisi seperti ini tidak bisa bersifat egois bahwa tanpa “aku”, anda akan klepek-klepek. Ego yang seperti malah bisa membuat anda yang klepek-klepek karena permintaan masyatakat yang tumbuh sudah diisi oleh barang impor. Karya Indonesia boleh kita banggakan dan masyarkat pada dasarnya tidak terlalu rewel untuk menggunakannya, tetapi ketika realitas pasar tidak bisa direspon dengan baik, maka pilihan lain yang akan menggantikannya, apakah digantikan oleh Karya Indonesia lainnya yang tanggap sasmito dengan realitas pasar atau digantikan oleh produk impor.

Karena itu, orang bijak sering mengatakan bahwa ego, kreatifititas sebaiknya harus bisa dikompromikan dengan realitas pasar. Permintaan dan realitas pasar tidak mau menunggu datangnya pasokan. Permintaan dan realitas pasar selalu menghendaki just in time dan real time. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya para pengguna berharap barang yang dibelinya sudah ada di depan rumahnya atau alamari-almari yang ada dirumah kita.

Karya Indonesia memiliki peluang dan sekaligus tantangan yang besar untuk bisa merespon dinamika permintaan yang ada di pasar yang sebenarnya.Faktor permintaan barang dan jasa di dalam negeri tumbuh mengesankan. Orang luar memandang Indonesia bak gadis cantik yang menawan. Semua tertarik untuk menjadi “pacarnya”, bahkan ada yang tega mengajaknya “selingkuh” agar bisa mengambil manfaat hadir di Indonesia.

Daya tariknya itu terletak pada dua hal, yaitu investasi dan pasar. Investasi akan memperbesar produksi dan kapasitas produksinya. Karya Indonesia ada di area ini. Pasar adalah sumber permintaan terhadap barang/jasa tercipta. Karya Indonesia harus mengambil manfaat yang sebesar-besarnya terhadap fenomena pasar yang digerakkan oleh faktor permintaan ini. Lengah, akan diambil oleh barang/jasa dari impor.

Impor pada dasarnya tidak bisa dilarang karena dengan alasan apapun dan dalam kondisi apapun tetap diperlukan terutama untuk barang dan bahan yang belum/tidak diproduksi di dalam negeri. Impor pada dasarnya hanya bisa dikendalikan untuk mengamankan posisi neraca pembayaran Indonesia. Dalam kondisi perekonomian yang makin digerakkan oleh faktor permintaan, maka Karya Indonesia harus bersikap realistis, tidak cengeng dan harus mampu melakukan adaptasi atau penyesuaian mengikuti ritme dan gerak pasar yang adakalanya tidak terlalu bersahabat dengan kepentingan produksi.

Contohnya adalah gangguan karena banyaknya penyelundupan dan unfair bisnis. Oleh karena itu, Karya Indonesia harus bisa hadir dari NAD sampai Papua untuk merespon dinamika ekonomi yang digerakkan oleh faktor permintaan. Karya Indonesia harus bisa hadir setiap saat di tengah-tengah masyarakat kapan saja dan dimana saja untuk menjawab realitas pasar. ***

CATEGORIES

COMMENTS