Hutang Budi
Oleh: Soediyono
SEMUA orang dipastikan dalam hidupnya pernah berhutang budi kepada orang lain. Entah itu kepada paman atau bibi, saudara dekat atau jauh, calon mertua, atasan, sahabat atau teman, atau bahkan kepada orang yang sebelumnya tidak dikenal, oleh karena berbagai macam sebab dan alasan masing-masing.
Pada umumnya hutang budi tersebut dirasakan oleh pihak yang berhutang. Bukan pihak pemberi. Bahkan sering terjadi si pemberi tidak tahu dan tidak menyadari, bahwa ternyata si A berhutang budi kepadanya.
Hutang budi terjadi manakala suatu kebaikan, bantuan atau pertolongan yang diterima oleh seseorang, memiliki nilai dan bobot yang luar biasa besar sehingga orang yang menerima bantuan atau pertolongan tersebut merasa diselamatkan dari risiko/beban/bahaya yang mengancam hidupnya.
Bukan besar dan jumlah (kuantita) bantuan, tetapi nilai keselamatan dari risiko yang menentukan besar kecilnya hutang budi seseorang kepada si pemberi pertolongan. Hanya si penerimalah yang tahu dan merasakan seberapa besar arti bantuan dan pertolongan yang diterimanya tersebut terhadap kehidupannya dan seberapa besar dia berhutang budi kepada si pemberi bantuan. Semakin besar nilai dan arti pertolongan yang telah diterima maka semakin besar pula rasa hutang budinya kepada si pemberi.
Rasa hutang budi, pada umumnya berakibat pihak yang berhutang budi merasa segan dan sangat hormat serta bersikap tunduk dan patuh kepada pemberi. Juga menimbulkan niat yang kuat untuk melakukan balas budi terhadap pihak pemberi dengan bersedia berkorban apa saja, sampai ada yang mempertaruhkan nyawanya.
Hutang Budi
Merasa berhutang budi kepada siapa pun yang telah memberikan pertolongan dan berbaik hati kepada kita disaat-saat kita benar-benar membutuhkan pertolongan dan berniat membalas kebaikan tersebut kepada yang memberi adalah suatu kebajikan. Dalam kumpulan Sabda Khusus tertera kalimat indah yang harus dilaksanakan manusia yang memiliki budi pekerti yang baik, yaitu:
“Apabila engkau menerima pemberian kebaikan atau diperlakukan baik oleh siapa saja, catatlah dalam hatimu, yaitu ingatlah selama-lamanya dan hendaklah mempunyai niat (kemauan) membalas kebaikan kepada yang memberi.”
Marilah kita sama-sama merenung sejenak, betapa selama hidup di dunia ini kita masing-masing tidak pernah putus menerima bukan saja kebaikan, tetapi juga sih, tuntunan, penerangan dan perlindungan dari Tuhan, sehingga sampai saat ini kita masih dapat menikmati kehidupan di dunia.
Pertanyaannya adalah pernahkah terbersit dalam ingatan kita bahwa, sesungguhnya kita ini hidup hanya karena dihidupi oleh Tuhan. Sayangnya tidak banyak orang yang menyadari bahwa sesungguhnya kita berhutang budi kepada Tuhan. Bahkan sesungguhnya lebih dari sekedar hutang budi, karena Tuhan telah memberikan segala yang kita butuhkan di dunia ini. Seperti: kehidupan, keselamatan, ketenteraman, kesejahteraan, pertolongan dan bantuan, penghiburan, pengharapan serta banyak hal yang tidak mungkin untuk dituliskan satu persatu.
Balas Budi
Sebagai manusia yang sadar sebagai hamba Tuhan, sudah semestinya kita harus berusaha sedikit demi sedikit secara tetap dan berkelanjutan membangun kesadaran sehingga penuh dan utuh, bahwa kita sesungguhnya dihidupi dan menjadi tempat bersemayamnya Hidup Sejati. Sebab dengan memiliki kesadaran seperti itu berarti telah mendekati kepercayaan yang benar.
Menumbuhkan rasa hutang budi kepada Tuhan, karena kita telah dihidupi dan dilimpahkan kasih, tuntunan, dan perlindungan merupakan salah satu metode rasional manusiawi agar kita para hamba dapat mendekat kepada-Nya. Dimilikinya kesadaran bahwa sesungguhnya kita hutang budi kepada Tuhan atas kasih, tuntunan, dan lindungan serta segala kemurahan yang diberikan-Nya dalam hidup kita ini, akan menggugah dan menumbuhkan niat untuk membalas budi kepada-Nya sebagaimana yang akan dilakukan jika kita berhutang budi kepada orang lain.
Balas budi kepada Tuhan yang dimaksud tidak perlu mempersembahkan sejumlah harta di tempat yang dikeramatkan dan lain sebagainya perbuatan yang irrasional, akan tetapi hanya dengan mematuhi dan melaksanakan semua perintah serta menghindari larangan-Nya sebagaimana yang telah tertera dalam kitab-kitab suci. Tuhan sebenarnya tidak minta disanjung puji oleh para hamba-Nya, oleh karena Tuhan memang sudah Mahaluhur, Mahasuci, Mahabesar, Mahakuasa dan sebagainya. Tuhan hanya minta supaya para hamba taat pada perintah-Nya, agar para hamba senantiasa berada dalam lindungan dan kasih-Nya.
Guyonnya (secara berkelakar), kalau mau balas budi kepada Tuhan, maka buatlah Dia “Tersenyum” oleh karena Dia berkenan atas apa yang kita perbuat dan kita lakukan serta atas ketaatan kita kepada-Nya. ***