Berfikir dan Bertindak Pada Tataran Realitas

Loading

images1

Oleh: Fauzi Aziz

DI dalam kehidupan ini banyak hal yang harus dipikirkan, dikerjakan untuk mencapai suatu keadaan tertentu dalam satu kurun waktu. Dalam dunia nyata, tidak semua yang idial selalu dapat dikerjakan karena yang serba idial itu boleh jadi dianggap muluk-muluk. Tetapi  bersikap dan berflkir idial tetap diperlukan karena idialisme itu sendiri hakekatnya adalah rumusan cita-cita yang dituangkan dalam pikiran atau gagasan seseorang atau institusi untuk menuju kehidupan yang lebih baik.

Namun,kita tidak perlu kecewa mana kala gagasan besar tersebut tidak dapat diwujudkan karena lingkungannya memang tidak memungkinkan. Oleh sebab itu, seseorang atau institusi dipaksa oleh keadaan harus melakukan pilihan, apakah tetap akan berpegang pada idialisme tetapi tidak akan dapat dieksekusi, atau harus memilih pada realitas bahwa idialisme harus diturunkan derajatnya, tetapi eksekusinya lebih memungkinkan dilaksanakan.

Pada konteks yang demikian, pengambil keputusan harus bijaksana dalam proses berfikir dan bertindak karena kebijaksanaan itu memang diperlukan agar dalam kehidupan nyata harus ada beragam kegiatan yang tetap harus dijalankan. Fenomena ini memberikan pembelajaran bahwa kebijaksanaan itu adalah jalan tengah.

Kebijaksanaan itu adalah win-win situation. Artinya sekumpulan gagasan yang kita buat tidak harus dinafikkan secara total, tetapi hanya perlu disesuaikan pelaksanaannya karena realitas kehidupan pada kondisi tertentu belum memungkinkan yang idial dapat dilaksanakan. Karena itu, tugas pemimpin yang paling berat sejatinya bukan dalam hal membuat kebijakan, tetapi justru paling berat adalah ketika sang pemimpin harus menentukan pilihan berfikir dan bertindak bijaksana tanpa harus mengorbankan idialisme tetapi bisa memahami kondisi realitas yang ada.

Disitulah keputusan harus segera diambil. Kata segera, penting digarisbawahi karena disitu ada faktor momentum. Disitu ada faktor keterbatasan sumber daya dan disitu pula ada realita. Sikap keluhuran yang bernama kebijaksanaan itu harus dimiliki setiap pemimpin dari lapisan tertinggi sampai lapisan paling bawah.

Kebijakan hakekatnya adalah bagian dari berfikir pada kerangka yang bersifat idial karena disitu tersurat dan tersirat sejumlah gagasan besar. Sedangkan kebijaksanaan adalah merupakan cara berfikir dan bertindak untuk menjawab kebutuhan yang bersifat realistik guna bisa menjawab masalah kekinian.

Dari segi kebahasaan, berfikir idial selalu dibingkai dalam bahasa yang ibarat ngukir langit, yang acapkali para pihak yang merumuskannyapun menjadi bingung sendiri. Sementara itu, bagi para realis, lebih suka menggunakan bahasa dalam kosa kata yang sederhana agar bisa difahami dan ketika dieksekusi kalau terjadi bias tidak melebar.

Contoh bahasa idial misalnya adalah “Menjadi Negara Industri Tangguh”. Ini adalah kalimat yang mengandung pesan gagasan besar dan ini dibingkai dalam bahasa kebijakan. Presiden Jokowi tidak menolak gagasan tersebut. Namun karena dia adalah pemimpin, maka dengan sikap kebijaksanaannya selalu berusaha menggunakan pilihan kata yang lebih bisa dimengerti bahwa menjadi negara industri tangguh adalah penting. Tetapi Jokowi selama lima tahun menjadi Presiden RI bersikap realistik, yakni Indonesia akan meningkatkan investasi dan produksi manufaktur, karena dengan adanya investasi akan bisa menambah produksi.

Kalau ada investasi dan penambahan produksi berarti industrialisasi berjalan. Dalam setiap berpidato, Jokowi selalu berusaha menggunakan kerangka berfikir dan bertindak secara realistik. Padahal sejatinya Jokowi pada saat yang sama sedang berfikir dan bertindak untuk mewujudkan gagasan besar menjadikan Indonesia sebagai negara industri tangguh yang kompetitif.

Akhirnya sebagai kesimpulan umum dapat diberikan catatan bahwa baik berfikir idial pada tataran gagasan maupun pada tataran realitas keduanya penting dan diperlukan. Karena itu, pada tataran idial selalu dinyatakan dalam dokumen perencanaan dan dokumen kebijakan. Pada tataran realitas siapapun pada organisasi apapun, apakah dalam lingkungan organisasi publik, bisnis dan nirlaba harus bisa berfikir realistik karena kondisi di lapangan memerlukan penyikapan itu. (penulis adalah pemerhati masalah sosial,ekonomi dan industri).

 

CATEGORIES
TAGS