Antara Emosi dan Fakta
Oleh: Fauzi Aziz
OPINI kali ini mencoba mengungkap sebuah realitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Sejak Orde Reformasi bekerja hingga sekarang, proses demokrasi secara prosedural sudah berjalan. Kebebasan telah terekpresikan sedemikian rupa dalam realitas kehidupan dan semua pihak menikmatinya.
Saking bebasnya, kebebasan itu menjadi tidak terkendali. Etika dilanggar, aturan ditabrak atas nama demokrasi dan ada nuansa mau menang sendiri dan mau benar sendiri serta hilang rasa cinta kasih antar sesama. Pendek kata, campur aduk antara emosi dan fakta bahwa cara hidup bangsa ini dalam berdemokrasi seperti itu gambarannya.
Yang seperti ini tidak boleh diendapkan, dibiarkan dan apalagi sampai mengkristal menjadi gaya hidup berdemokrasi yang emosional. Fakta ini tidak sehat dan membahayakan bagi keperluan membangun masa depan Indonesia yang lebih bermartabat dan beradab. Elit tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.
Realitas yang seperti itu menjadi fakta sehari-hari kita lihat. Demokrasi yang sudah kita bangun sudah satu dasawarsa lebih ini, sepertinya sedang diuji coba terus dalam laboratorium kehidupan berbangsa dan bernegara dalam ruang terbuka yang hampa. Konflk secara fisik dan sosial yang terjadi sekarang ini boleh jadi dianggapnya merupakan bentuk luberan dari hasil ekperimental yang dilakukan oleh elit politik yang sedang asyik sendiri menikmati cara hidup berdemokrasi ala mereka.
Tapi efoporia politik yang glamour seperti itu berbahaya kalau praktek penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dilandasi oleh pragmatisme sempit dan praktek politik dagang sapi. Budaya politiknya yang terbentuk menjadi “budaya” waton njeplak.
Berdebat, berwacana tanpa ada landasan konsepsi yang akan ditawarkan sebagai bentuk solusi untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersifat struktural dan fondamental. Emosi dan fakta yang realitasnya masih seperti itu memang sah-sah saja, tapi tidak bisa berkepanjangan dibiarkan terus berlangsung.
Elit pemimpin bangsa harus hadir dan berani mengatakan bahwa mari kita berhenti bereksperimen dalam laboratorium di ruang terbuka tanpa manajemen politik yang sehat dan bisa menyesatkan. Juga harus berani mengajak seluruh komponen bangsa duduk bersama membangun sebuah konsensus dan kesepakatan untuk mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh berkah bagi rakyat,bangsa dan negara.
Tentu harus didahului oleh niatan yang tulus untuk melakukan rekonsiliasi nasional. Tanpa melakukan rekonsiliasi lebih dahulu rasanya sulit untuk mewujudkan cita-cita itu. Karena berdasarkan realitas yang ad,a emosi dan faktanya elit politik bangsa di negeri ini masih terbelenggu keadaan masa lalu yang kelam.
Kelam kelabu ini sebagian dijadikan kartu as untuk mengganjal lawannya, sehingga karena itu proses rekonsiliasi harus ditempuh. MPR harus bisa mengambil prakarsa ini, kendati secara tupoksi sekarang nyaris tidak mungkin dilakukan. Namun dengan menyandang nama besar ini, rakyat berharap dengan sangat agar MPR secara institusional men-takeover untuk melakukan sesuatu yang baik dan mulia demi masa depan negeri ini.
Hadirkan seluruh pemimpin bangsa dan elit bangsa, libatkan para cerdik pandai dan kalangan generasi muda tunas bangsa dalam forum majelis untuk melakukan rembug nasional. Lepaskan baju dan simbol politik lebih dahulu agar rembuk nasionalnya berlangsung dalam suasana keakraban penuh kedewasaan dan kedamaian. MPR yang memaparkan konsepsinya secara komprehensif dan ujungnya harus bermuara pada tercapainya konsensus dan kemukafakatan.
MPR harus kita jadikan kembali sebagai satu-satunya laboratorium mewujudkan cita-cita membangun masa depan republik ini dalam konteks berbangsa dan bernegara. Landasannya sudah benar, yakni demokrasi. ***