Who’s The Boss In The Global Economy

Loading

Transformasi uang img01

Oleh: Fauzi Aziz

SUDAH tahu koq bertanya. Inilah pertanyaan yang terkesan diada-adakan sekedar mencari sensasi atas judul opini Who’s the boss in the global economy. Penulis mempunyai jawaban sederhana. Pertama, yang menjadi boss ekonomi global adalah pasar, berikutnya juga pasar dan berikutnya lagi adalah tetap pasar.

Institusi pasar sudah menjadi driver dan telah menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi global. Inilah gambaran bahwa bandul ekonomi telah mengalami pergeseran. Yang semula bersifat supply driven, kini berubah menjadi demand driven atau market driven. Oleh sebab itu, para produsen dan pembuat kebijakan ekonomi “dipaksa” menyesuaikan diri.

Kedua, setelah disebut sampai tiga kali bahwa pasar adalah is the boss, maka ada boss berikutnya yang tak kalah garang perilakunya, yakni pemilik modal (para kapitalis). Merekalah yang mengendalikan pasar sejatinya. Pasar bisa dibuat menarik karena ulahnya dan pasar bisa dibuat limbung juga karena kelakuannya.

Merekalah sejatinya sosok asli “invisible hand“. Mereka pula sebenarnya yang bisa disebut sebagai para aktor “casino capitalism yang suka berbuat “onar” di pasar dengan berbagai cara. Para pemodal di pasar uang dan pasar modal mempunyai tiga wajah, yakni sebagai investor, sebagai trader dan sebagai spekulan.

Mereka yang gemar melakukan aksi ambil untung (profit taking). Mereka pula yang mampu melakukan window dressing, rekayasa finansial dan gemar menggoreng harga saham demi keuntungannya. Di pasar barang dan jasa, mereka bisa bertindak monopoli/oligopoli atau menjadi pengendali harga barang dan jasa dengan melakukan kartel, demi keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka dan kroni-kroninya yang umumnya adalah para petinggi negara.

Mereka bisa ngatur apa yang perlu diatur dan apa yang tidak perlu diatur. Kodenya hanya kedipan mata dan upah yang ditawarkan kepada pembuat aturan di republik ini. Mereka pula sesungguhnya yang menciptakan inflasi karena mereka haus keuntungan. Di saat deflasi, mereka melakukan aksi operasi pasar untuk memborong barang yang harganya lagi turun dan kemudian ditimbun sampai harga bisa naik kembali.

Mereka hakekatnya melaksanakan praktek ekonomi lintah darat di negeri ini. Ketiga, bos dalam ekonomi global adalah para pemilik teknologi. Dengan menguasai teknologi, mereka bisa menguasai kedudukan monopoli. Mereka berhak mendapatkan perlindungan atas hak kekayaan intelektual sebagai pemilik paten. Mereka mampu menekan lawan bisnisnya dengan bertindak sebagai pemegang monopoli.

Bila lawannya menyerah dan tak berdaya, perusahaan lawan bisnisnya akan diakuisisi olehnya sehingga kedudukan monopoli yang dimilikinya semakin kuat. Kuku-kukunya bisa tertancap di berbagai perusahaan di berbagai negara. Para pemakai teknologi harus membayar royalty kepada pemilik teknologi sepanjang deadline-nya belum berakhir sampai teknologi itu dikatakan sebagai public domine.

Keempat, adalah “Inovator”. Mereka ini adalah aktor intelektual yang mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya. Sekarang mereka yang mampu melakukan breaktrough dalam sistem ekonomi pasar. Kelesuan bisa disulapnya menjadi kebangkitan. Di era ekonomi digital mereka banyak menjadi start-up company yang sukses dan mampu melakukan kapitalisasi pasar secara menakjubkan.

Mereka yang membuat limbung para pelaku bisnis konvesional sampai harus “dimusuhi” karena dianggap merusak tatanan bisnis yang selama bertahun-ta hun ditekuni. Nama Bill Gate dulu tidak dikenal. Kini dia menjadi sosok kaya raya di dunia sebagai pebisnis IT yang berhasil. Dulu kita tidak kenal Ali Baba dari Tiongkok dan Amazon di AS sebagai pemain besar bisnis online global yang kapitalisasi pasarnya juga sangat besar. Harga sahamnya di bursa selalu menjadi salah satu top ginner karena perannya sebagai emiten kelas dunia pencetak laba besar di bursa saham.

Itulah gambaran mudah dan sederhana untuk mengetahui dan mengenali siapa bos-bos besar dalam ekonomi global. Menurut penulis itulah mereka, yakni pasar, pemilik modal, pemilik teknologi dan para inovator. Tiga yang pertama yang aturan bisnisnya diatur oleh WTO. Sayangnya WTO lebih cenderung melindungi kepentingan mereka, khususnya dari negara-negara maju di barat.

IMF sebagai arsitek moneter yang selalu mendorong liberalisasi dan perdagangan bebas yang setting kebijakannya mereka namai sebagai “Washington Consencus” yang selalu menganjurkan deregulasi, privatisasi BUMN, liberalisasi pasar barang dan jasa, serta pasar modal dan pasar finansial.

Invasi pasar dan modal adalah sah dan legal karena norma persaingan yang dijadikan instrumennya. Ketika globalisasi, demokratisasi dan digitalisasi berjalan hingga kini dan Indonesia berada secara aktif di dalam pusaran tersebut, maka ibarat dalam pergaulan, kita dihadapkan pada dua pilihan, yakni terus ikut bergabung atau menarik diri dan keluar dari pusaran.

Pilihan kedua hampir sulit dilakukan karena dampak dari tiga pilar tadi, ekonomi global sudah sangat terbuka, meskipun banyak yang nakal melakukan agenda tersembunyi melakukan proteksi. Pakai pendekatan logika yang cenderung akal-akalan karena dimana-mana proteksi sejatinya tetap diperlukan.

Pilihan pertama terpaksa harus diikuti dan akhirnya Indonesia tetap harus tunduk dan patuh pada sistem ekonomi liberal dan melaksanakan perdagangan bebas. Karena itu akhirnya memilih melakukan deregulasi secara masih dan eskalasinya seperti ingin bertindak sebagai “Good Boy“. (penulis adalah pemerhati masalah ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS