Vonis Mati “ES” Selamatkan Generasi Bangsa

Loading

Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi

Ilustrasi

TUNTUTAN Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ny. Endang SH agar Eko Sanjaya (ES) divonis mati ternyata dikabulkan. Ketua majelis hakim Sulistyo SH di ruang sidang PN Jakut dalam amar putusannya Rabu lalu (28/9) menyatakan, ES terbukti sebagai pemasok dan pengedar dengan barang bukti 6 kilogram narkoba jenis sabu-sabu dengan nilai transaksi seharga Rp 4 miliar lebih, seadilnya dihukum mati. Barang haram ini diproduksi di kawasan permukiman mewah Kelapa Gading Jakut untuk dipasarkan tanpa batas bagi jutaan generasi muda.

Tuntutan dan hukuman mati yang dikenakan itu menggambarkan bahwa jaksa dengan hakim lebih mengedepankan keselamatan generasi penerus bangsa sebagai wujud rasa keadilan yang lebih mendasar. “Saya menilai keduanya telah lebih dulu menjadi manusia sebelum menjadi jaksa atau menjadi hakim, sehingga paham betul wujud rasa keadilan,” ujar Widodo Dwi Saputra (WDS) merespons keberanian hakim.

Menurut WDS, dosen Universitas Mataram juga penulis buku “Rimba Keadilan” ini mengatakan, kepekaan atas rasa keadilan tidak akan pernah ada jika penegak hukum itu sendiri belum menjadi “manusia”. “Rasa keadilan yang hanya berpatokan pada undang-undang, itu hanya sekedar keadilan formal yang tentu saja tidak mengerucut pada substansi hakikat rasa keadilan itu sendiri. Akibatnya para pesakitan selalu diposisikan sebagai objek bukan sebagai subyek di hadapan hukum,” jelasnya.

Hamdani contoh korban sekedar keadilan formal berdasarkan undang-undang. Tanpa menyentuh substansi hakikat rasa keadilan, hakim menghukum Hamdani 9 bulan penjara dalam kasus pencurian sepasang sandal yang sudah bolong. Merasa dizalimi keadilan formal, Hamdani mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun selama 9 tahun sejak tahun 2002 rasa keadilan itu masih dalam penantian Hamdani, hingga kini belum direspons para hakim agung di peradilan kasasi. “Status saya masih jadi terpidana, padahal sandal itu bukan saya curi tapi hanya saya pakai sholat, pihak perusahaan melaporkan saya mencuri sandal,” ujar Hamdani masih berharap putusan lebih adil lewat kasasinya.

Menanggapi nasib Hamdani, kriminolog WDS itu menasihatkan sebelum jadi Hakim Agung sebaiknya lebih dulu jadi “manusia” agar lebih peka akan rasa keadilan yang menjadi hak Hamdani kasus pencurian sepasang sandal bolong.

Terkait vonis mati ES, menurut WDS bahwa jaksa dengan hakim lebih melihat rasa keadilan yang lebih luas yakni melihat akibat atau dampak yang ditimbulkan pengedar narkoba sedemikian berbahaya bagi kehidupan generasi muda sebagai penerus bangsa. Berhadapan dengan kejahatan yang satu ini, jaksa dan majelis hakim sadar bahwa bisnis haram jadah milik pemasok ES itu secara meluas akan membunuh baik secara fisik mau pun moral termasuk merusak mentalitas generasi muda bangsa, sehingga bagi majelis hakim ini, tak ada kompromi bagi penjahat narkoba selain vonis mati.

Adakalanya hakim lebih mengedepankan kepentingan pribadi berupa nilai subjektivitas materi yang tentu saja sangat besar jumlahnya, terutama bila si pesakitan dituntut hukuman mati. Pihak pesakitan akan berupaya merubahnya menjadi hukuman badan, apa dan bagaimana pun pintas caranya. “Persoalan nyawa, apa pun akan dipertaruhkan asal nyawanya diselamatkan hakim untuk tidak mengabulkan tuntutan jaksa,” ujar aktivis supremasi hukum, Johnson Panjaitan SH (JP) memprediksi, kemungkinan upaya cara pintas itu juga dilakukan pihak ES, namun ditampik majelis hakim bersangkutan. Bagi jaksa dan majelis hakim vonis mati ES itu lebih mengedepankan nilai kemanusiaan dan rasa keadilan bagi masa depan generasi bangsa yang terancam rusak akibat narkoba. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS