UU MK Pintu Masuk Intervensi Hakim Konstitusi

Loading

Oleh : Angga Afriansha AR

Ilustrasi

Ilustrasi

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU-MK) terbaru yang segera diberlakukan berpotensi sebagai pintu masuk untuk mengintervensi para hakim konstitusi. Sebab UU yang telah disahkan pada 21 Juni 2011, mengandung berbagai kontroversi. Majelis kehormatan hakim yang berasal dari unsur DPR, Pemerintah dan Mahkamah Agung (MA) untuk penegakan kode etik hakim konstitusi, kemudian larangan terhadap MK membuat keputusan Ultra Petita.

Langkah mundur ini telah dilakukan oleh para founding fathers. Legislasi negeri ini, bukannya mencari rumusan untuk lebih memperkuat kemurnian MK, yang terjadi malah menyeret MK ke pusaran politis dengan alasan pengawasan.

Setidaknya terdapat dua alasan mengapa kekuasaan MK harus tetap murni. Pertama, MK merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi peradilan berdasarkan UUD 1945. Jelas termaktub dalam UUD 1945 bahwa MK menjalankan kekuasaan kehakiman yang memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran parpol dan sengketa hasil pemilu.

Kekuasaan kehakiman bersifat merdeka dalam menjalankan peradilan. Terlepas akhir-akhir ini MK digoyang dengan bencana integritas hakim “Arsyad Sanusi” yang dinilai melanggar kode etik. Kedua, MK merupakan lembaga hukum yang berperan menjaga kemurnian UUD 1945. MK dinilai sebagai The Guardian Of Constitution, berperan sentral dalam menjaga asas hukum Lex Superior Derogat Lege Inferior.

Kehadiran MK di Indonesia dengan segala kewenangannya ibarat sebuah minuman pelepas dahaga diberikan pada rakyat yang haus akan keadilan. MK yang dipandang sebagai ikon hukum baru dan masih murni ternyata disusupi kepentingan-kepentingan politis, terseret dalam pusaran drama negara dengan segala kepentingannya.

Politik Kekuasaan

Dangkal, lumrah dan pula biasa politik bercerita tentang kekuasaan. Sebagai sebuah seni politik jelas sudah berisikan kepentingan-kepentingan penguasa dan tidak juga melepas satu pun lembaga dari kepentingannya.

Seperti halnya hukum yang digunakan untuk merekayasa kepentingan masyarakat, politik pun memanfaatkan hukum sebagai alat pelanggengan kekuasaan pihak penguasa yang berwenang. Hukum tidak lagi berperan sebagai panglima melainkan pemegang otoritas kekuasaan rakyatlah yang menjadi panglima dengan instrumen legislasinya.

Meminjam istilah supremasi hukum, agaknya kurang tepat untuk mengatakan revisi UU MK sebagai langkah konkrit penegakan supremasi konstitusi. Seperti sebuah klub sepakbola yang berada di zona awas degradasi, kualitas para legislator pun juga sama, sangat memprihatinkan.

Tercermin dalam Pasal 33 A UU No 8/2011 menerbitkan kewajiban kepada MK untuk menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari. Satu pertanyaan dalam kaitan dengan wewenang MK menguji UU dengan UUD adalah; Dalam kapasitas apa MK harus menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden?

Sejak zaman Locke hingga Motesqieue, sejak UUD 1945 belum diamandemen hingga sekarang UUD 1945 telah diamandemen empat kali, setiap orang tahu dan setiap warga masyarakat selalu mencitakan keadilan, kesejahteraan, dan ketertiban.

Keadaan ini dimahfumi akan terjadi jikalau hukum memang dijalankan secara murni. Pula demikian kekuasaan digunakan untuk kepentingan bersama seluruh masyarakat. Sekurangnya memang masih terdapat aspek politis dalam hukum utamanya lembaga negara sekelas MK, hanya saja harus ditempatkan dalam kondisi proporsional yaitu separahnya pada saat pemilihan.

Tidak bisa dipungkiri dalam konsep pemilihan hakim MK akan ada permainan politis, namun apakah akan terus seperti demikian hingga saat menjabat? Dalam kajian trias politika, MK dan hakim-hakimnya berkedudukan sebagai pengemban kekuasaan yudikatif yang merdeka dan berdaulat demikian tidaklah perlu DPR dan Presiden ikut campur. (Sekretaris Majelis BANI Perwakilan Palembang)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS