Sejatinya, Indonesia Hingga Kini tidak Lagi Memiliki Presiden, Jokowi Sudah tidak Memenuhi Syarat

Loading

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Sesungguhnya hingga hari ini Indonesia tidak lagi memiliki Presiden tapi hanya punya Wakil Presiden menyusul lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90 yang meloloskan Gibran menjadi calon wakil presiden.

‘’Apalagi undang-undang Dasar 45 menyatakan bahwa seorang Presiden bisa diberhentikan karena tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden,’’ kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus kepada wartawan di Jakarta, Sabtu.

Menurut Petrus, sejak MK mengeluarkan putusan no 90 yang menyatakan Gibran lolos jadi cawapres 2024, sejak itu, Jokowi, tidak lagi memenuhi syarat sebagai seorang Presiden

‘’Jadi saat ini kita tidak lagi punya Presiden tetapi kita hanya punya Wakil Presiden. Kalau perlu besok ada deklarasi menyatakan bahwa Presiden kita adalah Pak Maruf Amin dari Wakil Presiden menjadi Presiden,’’ tegas Petrus.

‘’Tinggal sekarang kita menguji kekuatan di Parlemen. Beranikah mereka bersikap tegas menyatakan bahwa Jokowi berada dalam posisi tidak lagi memenuhi syarat sebagai seorang Presiden Indonesia  ?,’’ lanjut Petrus.

Jokowi kata Petrus, telah membangun nepotisme yang tampil sebagai monster yang menakutkan bagi semua rakyat pencari keadilan dan hingga kini monster itu masih melekat di Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemilu kali ini, menurut Petrus bisa menimbulkan perpecahan antar anak bangsa dan jika Sirekap ini terbukti sebagai kejahatan korupsi, maka kasus ini harus diproses secara hukum yang berlaku di negeri ini.

Untuk diketahui, melalui putusan MK nomor  90 yang akhirnya masyarakat menyebut terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Jokowi seb agai Presiden Indonesia.

Terkontaminasi

Atas ulah Jokowi, KPU tidak bisa menjaga kemandiriannya. Tidak hanya KPU, Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri pun tidak bisa menjaga kemandirian dan kemerdekaan lembaganya sesuai dengan jaminan yang diberikan oleh undang-undang Dasar 45 di mana MK terkontaminasi nepotisme.

Kita bisa menunjukkan fakta-fakta bahwa MK ketika menghadapi beberapa persidangan terkait dengan perkara uji undang-undang terutama undang-undang yang menyangkut uji undang-undang tentang Pemilu 2024, nampak sekali MK berada dalam cengkraman nepotisme.

Siapa nepotisme yang ada di MK ? Kita lihat Ketua MK saat itu adalah Anwar Usman yang ternyata adalah ipar kandung dari Presiden Jokowi dan ketika perkara nomor 90 diajukan ke persidangan, pemohon perkara 90 itu sesungguhnya memperjuangkan Gibran untuk menjadi calon wakil presiden.

Kenapa kita katakan perkara itu merupakan perkara yang memperjuangkan Gibran untuk menjadi calon wakil presiden, karena di dalam permohonan itu nama Gibran disebut-sebut beberapa kali oleh si pemohon.

Kepentingan Jokowi

Kemudian setelah perkara itu diputus16 Oktober 2023, masyarakat memberi reaksi yang luar biasa. Dari berbagai pihak dari aktivis, Guru Besar dari berbagai Perguruan Tinggi dan juga tokoh masyarakat, tokoh agama. Semua bersatupadu mempersoalkan putusan MK tentang keberanian hakim konstitusi mengubah pasal 169 huruf q tentang batas usia  minimum seorang calon wakil  presiden.

Mengapa ini dipersoalkan ? Karena putusan itu tidak memberikan jaminan dan tidak memberikan suatu kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Putusan nomor 90 itu lebih memfokuskan kepada kepentingan Presiden Jokowi dalam membangun nepotisme di dalam pemerintahan dengan memasukkan anaknya agar menjadi calon wakil presiden agar

bisa meneruskan kepemimpinannya.

Padahal nepotisme, kolusi atau korupsi itu satu paket yang oleh undang-undang dan TAP MPR dilarang. Apalagi dalam TAP MPR nomor 11 tahun 1998 tegas menyatakan bahwa nepotis sebagai suatu perbuatan yang dilarang, kemudian diperkuat lagi dengan undang-undang nomor 28 tahun 99 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN di mana nepotisme itu sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana penjara.

Kesembronoan

Artinya ketika terjadi nepotisme di MK di mana Presiden Jokowi setiap uji undang-undang adalah merupakan salah satu pihak di dalam perkara uji undang-undang dimaksud, tetapi mengapa ketika perkara nomor 90 disidangkan oleh MK, Presiden Jokowi sebagai pihak, tidak pernah menyampaikan keberatan kepada konstitusi ?

Padahal Anwar Usman tahu perkara yang dia sidangkan adalah perkara tentang ponakannya bernama Gibran Raka Buming Raka untuk bisa diloloskan dari calon wakil presiden.

Nah akibat kesembronoan dalam proses perkara 90 semata-mata karena Presiden Jokowi yang sedang membangun nepotisme pada lintas lembaga tinggi negara yaitu dari lembaga Kepresidenan sebagai lembaga eksekutif masuk ke lembaga yudikatif, dalam hal ini MK, maka ini merupakan ancaman serius terhadap demokrasi itu sendiri, terhadap kedaulatan rakyat. ‘’Bahkan terhadap konstitusi itu sendiri,’’ kata Petrus.

Mengapa ini ancaman terhadap demokrasi ? Karena dengan masuknya nepotisme ke lembaga tinggi negara lintas lembaga tinggi dalam hal ini MK sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, maka sebetulnya ada upaya dari Presiden Jokowi untuk menjadikan MK sebagai sarana kedaulatan rakyat karena apa ? Karena setiap hasil pemilu, masyarakat selalu membawa persoalan sengketa Pemilu atau sengketa Pilpres ke MK sehingga ratusan triliun rupiah biayai yang dikeluarkan negara untuk Pemilu, ujung-ujungnya bukan lagi kedaulatan rakyat yang menentukan, tetapi oleh hakim konstitusi di MK yang setiap saat bisa dikendalikan, bisa diorder dan bisa pula diintimidasi dengan berbagai macam cara.

Karena itu faktanya sekarang apakah hakim konstitusi yang sekarang menyidangkan sengketa Pilpres2024 , mereka itu dalam keadaan bebas ? Apakah mereka dalam keadaan merdeka, dalam keadaan secara leluasa dalam menyikapi perkara Pilpres 2024 ?

Cengkraman Nepotisme

Sengketa Pilpres yang sekarang ada di tangan mereka, dari fakta-fakta yang diperlihatkan di dalam persidangan oleh pemohon 01, pemohon nampak sekali bahwa sembilan hakim konstitusi sekarang terutama yang delapan hakim konstitusi yang menyidangkan perkara ini, berada dalam cengkeraman nepotisme. Karena apa ? Karena yang disebut-sebut nama Anwar Usman sampai sekarang masih bercokol di MK sebagai hakim konstitusi.

‘’Sekalipun dia tidak ikut menyidangkan perkara sengketa Pilpres 2024, tetapi sebagai hakim konstitusi, dalam perkara ini Anwar Usman tetap punya peranan yang bisa mempengaruhi kedelapan hakim konstitusi yang lain,’’ kata Petrus.

Seharusnya dalam rangka pengamanan terhadap sengketa Pilpres 2024 dan demi menjaga netralitas dan kemandirian MK, berikut kebebasan hakim-hakim konstitusi, maka Anwar Usman  seharusnya diisolasi di suatu tempat sehingga dia tidak boleh berhubungan dengan cara apapun dengan delapan hakim konstitusi yang rekannya sendiri sekarang menyidangkan perkara di MK.

‘’Kita tidak melihat kebijakan dari MK untuk mengisolasi hakim konstitusi Anwar Usman sehingga potensi Anwar Usman  bisa melakukan sejumlah tindakan. Katakanlah mempengaruhi delapan hakim konstitusi agar dalam menyidangkan atau memutus perkara gugatan sengketa Pilpres tidak boleh lari dari putusan 90 yang sekarang dinyatakan sebagai final dan mengikat,’’ lanjutnya.

Mengikat Kepala

Karena itu dalam menyikapi perkara gugatan sengketa Pilpres saat ini delapan  hakim konstitusi harus memenuhi rasa keadilan 270 juta-an rakyat Indonesia yang saat ini masuk pada detik-detik menanti keadilan dari MK dimana delapan hakim konstitusi saat ini dianggap sebagai negarawan yang betul-betul memenuhi harapan rakyat.

Tetapi jika saja hakim konstitusi yang 8 orang ini masih dicengkeram oleh putusan nomor 90 yang juga menjadi salah satu objek perdebatan di dalam persidangan Pilpres, maka ini juga secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kebebasan dan kemandirian hakim-hakim konstitusi tersebut.

Karena pada dasarnya begitu putusan MK dalam perkara nomor 90 yang meloloskan Gibran, maka sejak saat itu hakim konstitusi berada dalam cengkeraman nepotisme. Karena itu apakah kita masih bisa berharap besok ini hakim konstitusi bisa memutus perkara ini secara adil, sementara integritas mereka diragukan ?

‘’Mengapa kita ragu karena kejujuran mereka, kepakaran mereka, kemampuan mereka sedang terancam. Pasalnya, putusan 90 ini suka tidak suka secara langsung atau tidak langsung, sudah mengikat kaki tangan dan kepala delapan hakim konstitusi itu. Tinggal sekarang ini apakah kedepalan hakim konstitusi itu memiliki keberanian untuk keluar dari cengkerama putusan 90 itu ?

Putusan 90 Dikesampingkan

Misalnya hakim konstitusi itu berani menyatakan bahwa putusan 90 meskipun merupakan putusan yang final dan mengikat, tetapi putusan itu adalah putusan yang non-eksekutabel, putusan yang tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Jadi walaupun kita tetap menghargai putusan itu, tetapi putusan itu dalam aspek sengketa Pilpres putusan itu harus  dikesampingkan.

Dengan mengenyampingkan putusan 90 itu, maka hakim konstitusi memiliki keleluasaan, ada ruang yang cukup, ruang tentang kemerdekaan bertindak, kebebasan dalam memilih pasal-pasal yang mengambil pertimbangan-pertimbangan yang parameternya adalah rasa keadilan rakyat.

Disebutkan bahwa majelis konstitusi hingga hari ini berada dalam ketakutan dalam intimidasi apalagi intimidasi yang dilakukan karenadosa-dosanya diketahui dan di tangan eksekutif yang setiap saat bisa digunakan untuk menakut-nakuti mereka. (sabar)

 

CATEGORIES
TAGS