Rumpun Kebijakan Industri

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

INDUSTRI dalam negeri kembali dihantui oleh de-industrialisasi, karena pertumbuhan melambat dan kontribusi terhadap PDB ekonomi kian menurun, yang pada 2013 hanya mencapai 20% lebih. Dengan demikian berarti, total output produksi menurun, total input cenderung relatif mahal, karena faktor-faktor ongkos logistik yang tidak kompetitif dan faktor inflasi serta nilai tukar rupiah.

Hal ini yang menyebabkan total faktor produktivitas industri menurun dan akibatnya pertumbuhan industry menurun. Oleh sebab itu, Indonesia sangat membutuhkan struktur kebijakan industri yang lengkap, tidak saling membuat trade off agar setiap produk kebijakan dan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah dapat menjadi faktor pendorong sekaligus penarik yang dapat memengaruhi pelaksanaan pembangunan industri di Indonesia.

Konsep dasar kebijakan pembangunan industri pada dasarnya tidak sekadar memfasilitasi pembangunan pabrik, tetapi dilaksanakan dalam kerangka untuk mendorong bekerjanya sistem industri yang efisien, produktivitas tinggi, sehingga produk dan jasa yang dihasilkan mempunyai daya saing internasional.

Oleh sebab itu, pemerintah harus membuat “rumpun kebijakan” yang serasi, selaras, dan seimbang supaya prosesnya dapat berlangsung efisien dan efektif. Isu ini sengaja diangkat karena Indonesia memiliki hambatan dan tantangan di bidang kebijakan yang hingga kini belum berhasil direspons dengan baik oleh pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, baik di pusat maupun daerah. Fregmentasi kebijakan terjadi sedemikian rupa, sehingga akhirnya menimbulkan hambatan bagi para pengembang industri di dalam negeri.

Dalam perspektif budaya, ekonomi, dan politik, pelaksanaan pembangunan industri yang dianggap berhasil bila seluruh output akan mampu memperbesar kekayaan nasional, baik yang bersifat tangible maupun intangible, dan pada sisi yang lain akan dapat menjadi pendorong terwujudnya Indonesia sebagai bangsa yang unggul di dunia, karena semakin inovatif sebagai salah satu syarat untuk membangun daya saing.

Pemerintah dan DPR, baru-baru ini, telah berhasil mengundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Momennya sangat tepat. Undang-undang ini diterbitkan di saat pertumbuhan industri pengolahan sedang mengalami pelambatan. Paling tidak, para pengembang industri di Indonesia, saat ini, sudah memiliki landasan hukum baru untuk mewujudkan proyek-proyek industri yang akan dibangun di masa mendatang.

Penguatan Struktur

Industrialisasi di Indonesia tidak cukup hanya memerlukan pemulihan pertumbuhan, tetapi lebih dari itu, yaitu butuh penguatan struktur dan perlu meningkat produktivitas agar nilai tambah yang dihasilkan makin besar dan berkualitas. Lahirnya UU 3/2014 tentang Perindustrian sudah barang tentu bukan satu- satunya produk hukum yang akan dapat mampu menstimulasi kebangkitan industri nasional. Banyak faktor yang tetap harus diperhitungkan agar para investor di bidang industri dan seluruh pemangku kepentingan terkait tidak mengambil posisi wait and see untuk merealisasikan proyek-proyek industry.

Ada tiga variabel penting yang harus disikapi oleh pemerintah untuk menyelamatkan jalannya roda pembangunan industri di Tanah Air. Pertama, komitmen politik pemerintah dan DPR untuk memberikan dukungan penuh terhadap pembangunan industri nasional sebagai penggerak utama sektor ekonomi.Termasuk dalam bagian ini adalah terkait dengan kebijakan politik anggaran untuk mendukung pelaksanaan sistem industri yang pola pendekatannya dilakukan melalui penumbuhan rumpun industri yang terintegrasi dalam mata rantai pertambahan nilai.

Kedua, pembangunan industri pada dasarnya tidak bisa dilaksanakan dengan pendekatan mekanisme pasar, karena itu diperlukan kebijakan pemerintah yang bersifat afirmatif. Artinya, secara selektif tetap diperlukan adanya intervensi pemerintah. Misalnya, dalam hal pengembangan industri berbasis sumber daya alam, pengembangan industri kecil dan industri menengah, pengembangan SDM dan teknologi industri.

Ketiga, rumpun kebijakan yang dibuat selaras agar sistem industri dapat berjalan. Antara lain: a). Kebijakan makro ekonomi, yaitu di bidang moneter dan fiskal. b).Kebijakan investasi dan perdagangan. c). Kebijakan infrastruktur. d). Kebijakan yang berkaitan dengan aspek kelembagaan. e). Kebijakan otonomi daerah. f). Kebijakan industri itu sendiri. Keenamnya harus berada pada satu sistem pengendalian kebijakan yang dipimpin langsung oleh presiden agar terjadi sinkronisasi yang baik dan efektif. ***

CATEGORIES

COMMENTS