Quo Vadis Istana dan DPR

Loading

Oleh : Sabar Hutasoit

Ilustrasi

Ilustrasi

MEMILUKAN. Inilah kalimat singkat padat yang saat ini patut dilontarkan kepada kinerja eksekutif dan legislatif khususnya kepada mereka para petinggi yang menghuni Istana dan DPR. Kenapa tidak? Paras kekuasan eksekutif dan legislatif akhir-akhir ini tidak mulus lagi, akan tetapi sudah penuh dengan jamur. Ibarat kepala, sudah ketombean, parah lagi.

Coba kita simak. Istana Presiden sebagai rumah yang paling terhormat dan dihormati di negeri ini dihinggapi tudingan mafia narkoba. Sementara parlemen, tempat para wakil rakyat yang dimuliakan sangat akrab dengan dugaan mafia anggaran, alias koruptor.

Dua lembaga negara yang amat termuliakan ini, kinerjanya belakangan ini menjadi tidak mulia tapi penuh dengan kemaksiatan. Grasi Presiden SBY yang diberikan kepada terpidana narkoba Meiriska Franola alias Ola, ternyata bermasalah. Pasalnya, belakangan diketahui bahwa Ola adalah pengedar, sementara Istana menilainya hanya sebagai kurir sehingga patut diberikan grasi.

Adalah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyebut adanya mafia narkoba yang bermain dalam pemberian grasi dari Istana. Menurut Mahfud, tidak mungkin Presiden SBY bisa kecolongan memberi grasi jika tidak ada mafia narkoba bermain-main di Istana Negara.

Mafia narkoba tersebut, kata Mahfud berperan mempengaruhi seluruh pembantu Presiden SBY agar para pembantu itu memberi masukan sesat kepada SBY. Dan terbukti, grasi Ola menuai masalah.

Namun pernyataan Mahfud direspons secara reaktif oleh lingkar dalam Istana. Tidak kurang dari Mensesneg Sudi Silalahi dan Staf Khusus Presiden Heru Lelono yang melontarkan reaksi.

Tidak menyelesaikan masalah Ola, Istana malah sibuk berpolemik dengan Mahfud sehingga muncul ocehan agar Istana tidak perlu kebakaran kumis. “Sebagai salah satu pimpinan lembaga negara, Mahfud seharusnya memikirkan dampak dari pernyataannya,” itulah kata-kata Julian di Jakarta.

Persoalan mafia narkoba di Istana belum tuntas benar, dari Istana kemudian dilemparkan persoalan baru. Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengungkapkan modus operandi dalam kongkalingkong anggaran negara.

Tidak tanggung-tanggung, Dipo menuduh peran Ketua Fraksi tertentu dari oknum DPR yang sengaja ‘bertugas’ menciptakan program dan kegiatan serta mengamankan agar alokasi anggaran yang sudah digelembungkan dapat disetujui DPR.

Sudah pasti tudingan ini mendapat respon dari kalangan DPR, mereka saling membela diri dan saling mempertontonkan kebenaran mereka. Maka tidak ayal, yang terjadi adalah hiruk pikuk yang jelas juntrungannya.

Kalangan Istana membela diri alias bertahan dan menyerang. Demikian juga para pemain politik di DPR, terus melakukan serangna sambil menyembunyikan kebobrokannya. Padahal kedua lembaga ini seharusnya fokus membenahi diri masing-masing, bukan pencitraan. Harus diingat, pencitraan tidak perlu dibuat-buat sebab jika benar bercitra, tanpa dibuat-buat-pun, rakyat pasti tahu.

Dugaan adanya mafia narkoba bermain dalam pemberian grasi Ola seharusnya dijelaskan secara terbuka kepada rakyat. Demikian juga dugaan mafia anggaran di DPR, partai politik harus membuka diri untuk membenahi diri secara internal.

Membanhi diri masing-masing baik Istana Negara maupun DPR Senayan, teramat penting dilakukan bahkan jika perlu tidak ada salahnya kedua lembaga ini mengakui kesalahannya untuk kemudian tidak berbuat salah lagi.

Tanpa ada pengakuan salah, tidak mungkin ada perbaikan. Harus dijaga pula agar kedua lembaga itu tidak seperti batu nisan yang jika dilihat dari luar, bersih mengkilat tapi di dalamnya sudah penuh dengan ulat dan jangan pula karut-marut itu menjadikan negeri ini dituduh sebagai negara tempat para mafia narkoba dan mafia anggaran. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS