Turunkan Jokowi, Tidak Lagi Memenuhi Syarat Sebagai Presiden dan Batalkan Hasil Pilpres 2024

Loading

Oleh; Petrus Selestinus

NEGERI kita tercinta Indonesia  saat ini sesungguhnya tengah dipimpin oleh seorang Presiden yang diduga melanggar hukum dan tidak lagi memenuhi syarat konstitusi sebagai Presiden.

Berdasarkan ketentuan pasal 7A dan 7B UUD 1945, maka DPR seharusnya menggunakan hak menyatakan pendapat bahwa Presiden Jokowi telah melanggar hukum dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.

Oleh karena itu terdapat urgensi bagi DPR untuk memproses pemakzulan terhadap Presiden Jokowi sesuai ketentuan pasal 7A dan 7B UUD 1945.

Jika DPR tidak menyatakan pendapat dan tidak memproses pemakzulan itu, maka  setidak-tidaknya rakyat menggunakan kedaulatannya untuk memaksa Presiden Jokowi mundur dari jabatan Presiden, sebagaimana rakyat pernah berhasil menuntut Soeharto mundur dari jabatan Presiden pada Mei 1998.

Untuk itu DPR harus diberi batas waktu oleh rakyat agar dalam tempo sesingkat-singkatnya menyikapi berbagai bentuk pelanganggaran hukum yang diduga dilakukan oleh Presiden dan menunjukkan bahwa Presiden Jokowi sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden untuk segera dilakukan pemakzulan.

Segala bentuk pelanggaran hukum yang terjadi dan kondisi dimana Presiden sudah tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden, hal itu berimplikasi kepada keabsahan hasil Pemilu dan/atau Pilpres 2024.

Dari fakta-fakta yang terungkap ke publik dan sudah menjadi notoire feiten, maka tidak terdapat alasan hukum bagi DPR dan bagi Rakyat Indonesia untuk mempertahankan jabatan Presiden Jokowi sampai akhir (Oktober 2024).

Mana Suara DPR

Penting bagi demokrasi yang lebih baik jika DPR segera menyatakan pendapat bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum yaitu soal dinasti politik dan nepotisme dll serta posisi Presiden Jokowi sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden menurut ketentuan pasal 7A dan 7B UUD 1945.

Jika saja DPR mengabaikan atau tidak melaksanakan tugas konstitusionalnya yaitu memakzulkan Presiden Jokowi, maka kedaulatan berada di tangan rakyat, Presiden Jokowi boleh didesak untuk mundur seperti halnya dengan apa yang terjadi pada diri Presiden Soeharto pada Mei 1998, ketika rakyat atas nama kedaulatan berada di tangan rakyat didesak mundur oleh para pejuang reformasi.

Dalam hal nepotisme dan dinasti politik, dua predikat itu melekat dalam diri Jokowi, sebagaimana terbukti dari Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, tanggal 6 Oktober 2023, karena terdapat fakta bahwa Gibran R. Raka, putra sulung Jokowi secara instan menjadi Walikota Surakarta kemudian mendadak menjadi cawapres melalui peran ipar Presiden Jokowi, Anwar Usman, Hakim Konstitusi dan Ketua MK.

Pada titik ini, dinasti politik dan nepotisme jelas merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana penjara bagi setiap penyelenggara negara, yang melalukan perbuatan yang menguntungkan bangsa dan negara, terbukti secara nyata.

Dinasti politik dan nepotisme Presiden Jokowi saat ini secara nyata telah terbukti melalui Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang secara nyata merusak asas-asas Pemilu yang luber dan jurdil, padahal pemilu merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota DPR RI, DPD RI, Presiden dan Wakil Presiden RI, Anggota DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Musuh Negara

Oleh karena dinasti politik dan nepotisme merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hakekat demokrasi dan kedaulatan rakyat, maka ia harus ditempatkan sebagai musuh bersama rakyat dalam setiap pemilu termasuk pemilu 2024.

Karena itulah ketika pada saat ini Presiden Jokowi diperhadapkan pada pro kontra publik akibat dinasti politik dan nepotisme, maka pilihannya adalah apakah dimakzulkan atau didesak mundur bahkan ada pihak yang secara ekstrim menyatakan lebih baik digulingkan sebelum masa jabatan berakhir pada Oktober 2024, karena nepotisme dan dinasti politik itu merupakan bahaya laten reformasi yang mengancam kedaulatan rakyat dan kelanjutan reformasi.

Apapun pilihan cara mengakhiri jabatan Jokowi, kini terdapat enam fakta yang menempatkan posisi Jokowi patut diduga telah melanggar hukum dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, karenanya beralasan hukum untuk diberhentikan sesuai ketentuan pasal 7A UUD 1945 atau didesak mundur.

Enam Pelanggaran Jokowi

  1. Jokowi dinilai sering berbohong kepada Rakyat tentang netralitas dirinya dan aparaturnya, termasuk perilakunya tidak melibatkan diri dalam persoalan pilihan politik anak-anaknya (Gibran R. Raka (GRR) dan Kaesang).
  2. Jokowi menyatakan Presiden boleh ikut berkampanye dan memihak Paslon tertentu, sementara ketentuan UU Pemilu melarang Presiden memihak pasangan calon peserta pemilu, ini jelas melanggar asas pemilu yang luber dan jurdil yang diatur dalam pasal 22E UUD 1945.
  3. Jokowi menggunakan iparnya Anwar Usman ketika menjabat sebagai Ketua MK membukakan jalan bagi GRR menjadi Cawapres. Di sini terjadi pelanggaran terhadap pasal 24 UUD 1944 karena membuat MK kehilangan kemerdekaan dan kemandirian.
  4. Jokowi menempatkan anaknya (GRR) menjadi Walikota Surakarta dan menantunya (M. Boby Afif Nasution) menjadi Walikota Medan, adalah bagian dari membangun dinasti politik dan nepotisme, serta melahirkan konflik kepentingan dalam pengelolaan keuangan negara dan daerah serta tugas-tugas pemerintahan lainnya.
  5. Presiden Jokowi dinilai sudah tidak punya urat malu sebagai manusia normal, karena meskipun telah berkali-kali dihina oleh banyak pihak dengan pernyataan yang menistakan, akan tetapi Jokowi tidak pernah merasa dinistakan sedikitpun bahkan menganggap sebagai soal kecil. Padahal soal dinistakan terus menerus itu berdampak buruk pada aspek etika bernegara. Artinya ketika Jokowi membiarkan dirinya dihina maka pada saat yang sama Jokowi merusak etika bernegara dan berbangsa.
  6. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pembina ASN, maka pernyataan Presiden Jokowi bahwa Presiden bisa turun kampanye tanpa menggunakan fasilitas negara bahkan boleh memihak pada pasangan calon tertentu, sebagai isyarat bahwa Presiden dengan kekuatan penuh ASN dan aparatur negara lainnya akan berkampanye untuk Paslon 02, karena di dalamnya ada Gibran. (Penulis adalah Koordinator TPDI dan Perekat Nusantara, tinggal di Jakarta)
CATEGORIES
TAGS